Ketika kita mendengar istilah diskriminasi, maka tidak lepas dari konflik yang terjadi di salah satu komunitas besar di dunia, kisah dari The Kite Runner karya Khaled Hosseini ini mengungkap diskriminasi tersebut melalui sudut pandang Amir, seorang anak laki-laki dari Kabul, yang bergulat dengan hubungannya yang rumit dengan teman setianya, Hassan, yang juga merupakan anak dari pembantu ayahnya. Narasi cerita ini terungkap dengan latar belakang sejarah Afghanistan yang penuh gejolak, dimulai dari masa kecil Amir, yang ditandai dengan kompetisi menerbangkan layang-layang yang polos dan pengkhianatan yang dilakukan oleh Hassan karena meninggalkannya. Ketika kerusuhan politik melanda negara tersebut, dan juga invasi dari Uni Soviet pada tahun 1978, Amir dan ayahnya melarikan diri ke Amerika Serikat, namun rasa bersalah yang menghantui dari masa lalunya terus membentuk kehidupan Amir. Akhirnya, Amir kembali ke tanah airnya untuk menghadapi konsekuensi dari pengkhianatannya dan mencari penebusan. Kisah ini diakhiri dengan jalan tentatif Amir menuju pengampunan dan penerimaan diri atas kesalahannya di masa kecil karena meninggalkan kehidupan masa lalunya terhadap sahabatnya Hassan.
Membaca The Kite Runner adalah pengalaman yang sangat memperkaya, karena memadukan tema universal tentang persahabatan, pengkhianatan, dan penebusan dengan permadani budaya Afghanistan yang rumit. Penulis menemukan eksplorasi emosi yang sangat menarik, terutama melalui perjuangan internal Amir, yang terbenak di dalam hatinya. Hal ini tergambar dengan jelas ketika Amir merenung,
"I actually aspired to cowardice, because the alternative, the true reason I was running, was that Assef was right: Nothing was free in this world. Maybe Hassan was the price I had to pay, the lamb I had to slay, to win Baba." (Hosseini, 2003)
Kutipan ini menyoroti introspeksi Amir yang membangkitkan empati, membuat pembaca terhubung dengan perjalanan Amir dalam secara relatif dan emosional, di mana seseorang yang memiliki status lebih tinggi cenderung menindas orang yang lebih rendah, dalam hal ini Hassan yang berasal dari etnis yang berbeda yaitu Hazara.
Elemen-elemen naratif yang ditemukan dalam The Kite Runner memberikan wawasan baru tentang sifat rasa bersalah dan upaya penebusan. Eksplorasi isu-isu sosial, seperti diskriminasi yang dihadapi oleh minoritas Hazara dan dampak perang, memberikan konteks yang lebih dalam yang memperluas pemahaman penulis tentang lanskap sosial-politik Afghanistan. Meskipun penulis memiliki pengetahuan umum tentang isu-isu ini, salah satunya adalah diskriminasi yang ditemukan di banyak masyarakat di seluruh dunia. Digambarkan dengan kesetiaan Hassan yang tak tergoyahkan yang disandingkan dengan pengkhianatan Amir, menunjukkan konsekuensi tragis dari hirarki sosial yang mengakar, mendorong penulis untuk merefleksikan secara kritis isu-isu kelas dan kesetiaan di lingkungan kita di mana diskriminasi dan stereotip semakin dinormalisasi, seperti penggunaan elemen diskriminasi dalam lelucon, isolasi pada etnis tertentu, dan korban yang mengalami penindasan karena negaranya diserang.
Masalah sosial yang signifikan yang disajikan dalam novel ini adalah perlakuan brutal terhadap komunitas Hazara. Kekejaman yang dialami para tokohnya sangat mengerikan dan mungkin tampak aneh atau tidak menyenangkan bagi para pembaca yang tidak terbiasa dengan isu-isu sosial ini. Ketidaktahuan awal Amir tentang perjuangan Hassan berfungsi sebagai lensa yang dapat digunakan untuk melihat ketidakadilan sosial yang lebih luas. Salah satu isu utama dalam cerita ini menggambarkan diskriminasi, menurut Nadhir et.al (2023), diskriminasi adalah tindakan yang merugikan atau mengabaikan individu berdasarkan karakteristik yang melekat pada diri mereka, yang mengakibatkan ketidaksetaraan dan penindasan. Karakteristik dari isu ini mengarah pada masalah sosial dalam komunitas sosial di mana orang diperlakukan berbeda karena ras mereka. Isu ini digambarkan ketika Amir dan Hassan berhadapan dengan seorang tentara ketika pergi ke bioskop, seorang tentara berkata kepada Hassan “I knew your mother, did you know that? I knew her real good. I took her from behind by that creek over there.” (Hosseini, 2003) Hal ini menunjukkan penindasan terhadap etnis Hazara sebagai minoritas yang dihadapi oleh Hassan saat ia masih kecil. Penulis bergulat dengan perasaan tidak berdaya dan keinginan untuk mengadvokasi perubahan sosial, yang pada akhirnya menyadari bahwa sastra dapat menerangi sisi-sisi gelap masyarakat dan membangkitkan rasa tanggung jawab.
Lebih jauh, The Kite Runner sangat beresonansi dengan pengalaman kita tentang persahabatan dan beban pilihan moral. Perjuangan Amir mencerminkan tema universal tentang kesetiaan dan pengorbanan, membangkitkan kenangan yang meningkatkan kesadaran kita akan diskriminasi di sekitar lingkungan. Seperti contoh menurut artikel berita Universitas Bengkulu diskriminasi terhadap perempuan terindikasi lebih dari 347 kasus telah teridentifikasi, Diskriminasi terhadap perempuan menurut Ninik (2012) menyatakan bahwa isu ini mengalami peningkatan di daerah Bengkulu, diantaranya: kekerasan seksual seperti pemerkosaan beramai-ramai (gang rape) masih menduduki peringkat pertama, peringkat selanjutnya kekerasan terhadap perempuan disebabkan oleh kejahatan perkawinan oleh pejabat publik, buruh migran, kekerasan terhadap perempuan di lembaga pendidikan, intoleransi agama dan serangan terhadap kebebasan berekspresi, dan lain-lain. Hal ini menyoroti efek diskriminasi tidak hanya dalam bentuk sikap, namun bisa dalam bentuk perlakuan fisik yang dapat mengarah pada kekerasan baik terhadap gender, etnis, agama, dll. Hal ini juga digambarkan dalam cerita The Kite Runner karya Khaled Hosseini yang diwakili oleh tokoh Hassan yang mengambil sudut pandang Amir.
Secara keseluruhan, pesan tersirat dari The Kite Runner adalah tentang penebusan dan kekuatan cinta dan penebusan. Hosseini menekankan gagasan bahwa menghadapi masa lalu dan menerima tanggung jawab atas tindakan seseorang sangat penting untuk pertumbuhan pribadi. Seperti yang akhirnya dipelajari oleh Amir, “Ada cara untuk menjadi baik kembali” (Hosseini, 2003) kutipan menyoroti kemungkinan untuk memperbaiki pola pikir dan segera menjadi manusia yang lebih baik. Filosofi ini sangat beresonansi dengan penulis, memperkuat keyakinan bahwa meskipun masa lalu mungkin penuh dengan kesalahan, perjalanan menuju penebusan selalu dapat dicapai. Di dunia yang sering kali diwarnai dengan konflik dan perpecahan, The Kite Runner mengajak para pembaca untuk mempertimbangkan kemampuan empati dan penyembuhan yang mendalam dalam diri kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H