Mohon tunggu...
mafia kesehatan
mafia kesehatan Mohon Tunggu... -

Membongkar segala manipulasi kebohongan tentang dunia kesehatan yang dikuasai oleh dokter, asuransi dan industri farmasi...

Selanjutnya

Tutup

Politik

NKRI Harga Mati, FCTC Gak Boleh Jadi

23 Oktober 2015   18:19 Diperbarui: 23 Oktober 2015   18:19 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Isu pertembakauan selalu saja panas ditiap tahunnya, hal apa saja diperdebatkan dan digugat oleh mereka-mereka yang anti terhadap tembakau. Semua landasannya adalah kesehatan. Tak peduli asap knalpot yang menyengat hidung dan paru-paru warga kota atau asap kebakaran hutan yang telah memakan korban jiwa, itu seperti tak menjadi masalah. Yang penting satu, jangan ada asap rokok.

Berbagai regulasi yang mengekang tembakau dan produk hasil tembakau telah dihasilkan oleh para pejabat negeri ini. UU Kesehatan, Peraturan Pemerintah No. 109, Perda-Perda, Pergub, Perwali, dan lain sebagainya yang melarang rokok sudah ada. Namun Tulus Abadi dan kawan-kawan sepertinya belum puas karena Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diusung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum diaksesi atau ratifikasi oleh negeri ini.

Wajar saja kalau negeri ini belum mengaksesi atau ratifikasi konvensi tersebut, karena ada jutaan orang yang hidup dari pertembakauan. Sementara konvensi tersebut dengan ketat dan nyata akan melibas seluruh pemangku kepentingan dari pertembakauan nasional.

Hakim Sarimuda Pohan atau Tulus Abadi mungkin masih akan dapat hidup dengan gelimpangan dolarnya jika konvensi tersebut diundangkan di Indonesia. Namun tidak demikian dengan jutaan orang petani, buruh, industri, pedagang yang menggantungkan hidupnya dari produk hasil tembakau. Bahkan negara sekalipun akan kehilangan 140 triliun tiap tahunnya dari cukai yang akan sirna karena FCTC.

Mungkin bagi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, perlindungan terhadap jutaan orang dari ancaman FCTC adalah bagian dari sikap nasionalismenya, sikap NKRI Harga Mati yang selalu dikumandangkan oleh militer. Sehingga ia menyatakan menolak ratifikasi atau aksesi FCTC yang memang syarat dengan kepentingan modal asing itu.

Tegas ia sampaikan hal itu dalam acara dialog nasional Munas Kadin ke VIII di Jakarta. Ia katakan bahwa FCTC merupakan salah satu ancaman karena menjadi bagian proxy war lantaran dia bagian dari produk regulasi asing yang kemudian diadopsi sebagai kebijakan.

Proxy war atau perang proksi kata dia, merupakan sebuah perang yang terjadi ketika lawan kekuatan menggunakan pihak ketiga sebagai pengganti berkelahi satu sama lain secara langsung. Siapakah yang dimaksud pihak ketiga itu? Tak lain tentu adalah komperador-komperador sejenis Tulus Abadi atau Hakim Sarimuda Pohan.

Dalam sebuah perang, pihak ketiga memang selalu ada. Ia tak berpihak pada kepentingan nasional, ia hanya mementingkan apa yang dimintakan oleh pemberi dana, para milyuner seperti Michael Bloomberg. Tak terkecuali dengan perang yang terjadi saat ini.

Jenderal bintang empat itu menyebut bahwa dalam FCTC itu jelas diminta hanya rokok putih. Padahal di dalam negeri ada 6,1 juta yang bergantung terhadap industri tembakau atau industri kretek. Belum lagi ada aturan larangan rokok aromatik. Jadi alasan kesehatan hanya menjadi sebuah dalil agar publik mendukung, karena sejatinya FCTC akan membuat produsen perusahaan-perusahaan MNC besar akan terkekeh riang.

FCTC juga mengatur terlalu dalam karena mengatur pengalihan tanaman temabakau ke tanaman lain. Adakah produk pertanian yang nilai ekonominya sama dengan tembakau? Kenapa petani yang sejahtera harus berganti tanaman? Apakah FCTC ini sebenarnya bertujuan untuk memiskinkan petani tembakau yang cukup sejahtera?

Militer yang saat ini mendengang-dengungkan program Bela Negara, melalui Panglima tertingginya menyatakan bahwa menolak FCTC juga merupakan bagian dari sebuah sikap nyata membela negara. Membela negara dari serangan kepentingan modal asing untuk menguasai emas hijau nusantara memang wajib hukumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun