Mohon tunggu...
mafhulmutaaly
mafhulmutaaly Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membangun Toleransi Beragama di Indonesia: Belajar dari Kasus Desa Babat

6 Januari 2025   17:35 Diperbarui: 6 Januari 2025   17:33 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq bersabda, "Ibuku datang kepadaku ketika dia masih seorang musyrik, jadi aku bertanya kepada Rasulullah, 'Ibuku, telah datang mengunjungiku dan dia mengharapkan (kebaikanku). Haruskah saya menjaga hubungan baik dengannya?' Dia (damai dan berkah besertanya) menjawab, 'Ya, menjaga hubungan baik dengan ibumu'." (HR Bukhari dan Muslim)

Secara etimologis, toleran berasal dari bahasa Inggris yaitu toleration yang berarti toleransi. Dalam bahasa Arab yaitu altassamuh yang berarti sikap tenggang rasa, dan sikap membiarkan. Sedangkan secara istilah, toleransi ialah memperbolehkan orang lain dalam melakukan sesuatu yang sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Toleransi beragama masih menjadi tantangan besar dalam kehidupan berbangsa di Indonesia. Meski negara kita dibangun di atas fondasi "Bhinneka Tunggal Ika" 'berbeda-beda tetapi tetap satu jua' dan dijamin oleh konstitusi, kasus-kasus intoleransi masih kerap terjadi di berbagai daerah. Fenomena ini menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan antara nilai-nilai luhur yang kita anut dengan kejadian di lapangan. Salah satu contoh yang menarik perhatian adalah peristiwa yang terjadi di Desa Babat, Kecamatan Legok, Tangerang, yang memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya komunikasi dan musyawarah dalam menyelesaikan konflik antar umat beragama.

Kasus tersebut bermula ketika warga setempat menolak kegiatan keagamaan dan tebar ikan yang direncanakan oleh umat Buddha di sebuah danau bekas galian pasir. Mulyanto Nurhalim, seorang Biksu yang merupakan warga asli desa tersebut, menghadapi penolakan karena kecurigaan warga terhadap aktivitas keagamaan di rumahnya. Seringnya terjadi kunjungan umat Buddha dari luar daerah ke rumah Mulyanto, terutama pada akhir pekan, memicu kekhawatiran akan adanya kegiatan misionaris atau mengubah kepercayaan agama seseorang. Situasi ini mencerminkan bagaimana kesalahpahaman dan kurangnya komunikasi dapat memicu ketegangan dalam masyarakat.

Berkat inisiatif kepolisian yang dipimpin oleh Kapolres Tangerang Selatan AKBP Fadli Widiyanto, diadakan musyawarah yang melibatkan berbagai pihak, termasuk Kapolsek Legok, Camat Legok, Ketua MUI Legok, dan perwakilan umat Buddha. Dalam pertemuan yang dihadiri 16 orang perwakilan tersebut, terungkap bahwa kunjungan-kunjungan ke kediaman Mulyanto hanyalah bagian dari tradisi Buddha, di mana umat memberikan dana makanan kepada biksu yang dilarang memegang uang dan membeli makanan sendiri. Kesalahpahaman ini akhirnya dapat diselesaikan dengan kesepakatan yang menghormati kedua belah pihak.

Kasus serupa juga terjadi di Kampung Melayu Timur, Teluk Naga, Tangerang, di mana umat Kristiani dilarang beribadah di rumah oleh warga setempat. Mereka diusir dan diolok-olok, diminta untuk beribadah di gereja meskipun masa kontrak gereja mereka telah habis. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa kurangnya pemahaman dan komunikasi antarumat beragama masih menjadi akar permasalahan yang dapat memicu perpecahan dalam masyarakat.

Dalam Islam sendiri, Al-Quran telah mengajarkan pentingnya toleransi melalui Surah Al-Mumtahanah ayat 8 yang memerintahkan untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memusuhi dalam urusan agama. Nilai universal ini diperkuat pula dalam Surah Yunus ayat 40-41 yang mengajarkan bahwa perbedaan keyakinan adalah fitrah, dan setiap orang bertanggung jawab atas amal perbuatannya masing-masing. Sayangnya, sebagian umat Islam belum sepenuhnya memahami dan mengamalkan kandungan ayat-ayat ini, yang mengakibatkan masih terjadinya diskriminasi terhadap pemeluk agama lain.

Penyelesaian kasus-kasus intoleransi membutuhkan peran aktif berbagai pihak. Tokoh agama harus memberikan pemahaman yang benar kepada umatnya tentang pentingnya toleransi dan nilai-nilai universal yang diajarkan oleh setiap agama. Masyarakat umum perlu mengembangkan sikap saling menghormati dan berpartisipasi dalam kegiatan yang mempererat persatuan. Sementara itu, pemerintah bertanggung jawab untuk memperkuat regulasi, menegakkan hukum secara adil, dan menyelenggarakan program-program yang mempromosikan kerukunan antarumat beragama.

Pengalaman di Desa Babat membuktikan bahwa dialog dan musyawarah adalah kunci dalam menyelesaikan konflik antarumat beragama. Ketika semua pihak bersedia membuka diri dan berkomunikasi dengan baik, kesalahpahaman dapat diatasi dan kerukunan dapat terjaga. Tanpa adanya komunikasi yang baik, prasangka dan ketakutan dapat menimbulkan perpecahan yang mengancam persatuan bangsa. Ini menjadi pelajaran berharga bahwa toleransi bukanlah sekadar kata-kata, melainkan praktik nyata yang harus terus dipupuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi mewujudkan Indonesia yang damai dan bersatu dalam keberagaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun