Mohon tunggu...
Mafen DaGomez
Mafen DaGomez Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa yang menyukai novel

Selanjutnya

Tutup

Diary

Cemburuku Tuhan

4 Maret 2023   05:25 Diperbarui: 4 Maret 2023   06:07 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Hadir tanpa menyalami, pun tak diundang, pergi tanpa berpamitan, pun tak diizin, seperti si buta dan si tuli, itulah yang dapat ku lukiskan tentang waktu. Waktu bukan tentang jam dan hari bukan pula tentang tanggal, bulan, dan tahun, waktu itu tentang bahagia, prestasi, tentang doa yang terkabulkan serta mimpi yang terwujudkan. Waktu itu tentang bersama dia. Dia adalah sebagian waktuku yang telah hilang.

Malam ini aku tengah menyeruput kopi pahit kesukaanku. Aku duduk di kursi santai dalam ruangan kerjaku, sambil melihat ke luar jendela, melihat gedung-gedung yang kata orang di dalamnya memiliki pimpinan yang selalu sibuk memikirkan cara tuk membahagiakan masyarakat ini. Namun berbeda dengan cara pandangku, mereka hanya membuat kedok dengan berkata memikirkan cara tuk membuat masyarakat merasa bahagia namun nyatanya mereka sendiri tengah asik memainkan suatu bisnis yang dinamakan money politik. Mereka bukan mencari solusi melainkan mencari koalisi ditengah keterpurukan masyarakat saat ini.

Man..., Man..., Firman, ahh panggilan yang sudah lama ingin kudengar kembali hadir ditelingaku ini. Aku langsung berlari ke sumber suara, berharap dia yang kurindukan benar-benar hadir dan kembali kesisiku seperti dulu. Setelah mendekat ke sumber suara, aku langsung berlari ke balkon rumah tak berhuni, dimana aku dan dia sering menatap langit bersama. Sesampainya disana aku langsung meneriaki tuk melepas semua beban dan rasa rindu yang kutahan. Penuh pengharapan yang aku rasakan kala Serlin kakaku memanggilku seperti dia yang teramat kurindu. Keheningan kembali menyelimutiku malam ini. Masa-masa indah bersamanya kembali terlintas dalam ingatanku ini. Setiap malam seusai bekerja aku selalu ke balkon tuk memandangi langit dan berpikir mengapa dia harus meninggalkanku. 

Semenjak peninggalan dia, aku bagai orang yang tak tahu tujuan hidup ini. Sudah tujuh tahun, lima bulan dia pergi meninggalkanku. Tanpa dia, aku bagai pedang yang kurang kemampuannya. Tak ada hal baru dalam keseharianku. Hidupku terasa penuh arti ketika aku menjalin hubungan dengan dia. Dia segalanya bagiku. Semenjak dia pergi meninggalkanku tanpa alasan yang jelas aku tak tahu harus apakan hidupku ini.Tak ada warna yang mewarnai keseharianku ini. Tak ada canda tawa yang menghiasi kehidupanku ini. Dunia seakan ingin menghancurkan kehidupanku. Apa salah aku kepada Sang pencipta yang tidak dicipta itu? Sehingga Dia ingin aku dan dia berpisah. Ha! Pertanyaan itu seakan menyayat tubuh ini, semakin ku pikir semakin sakit pula tubuh ini akibat sayatan itu. Ahhhhhh Tuhan apa aku tidak boleh merasa bahagia? Apa aku tidak layak tuk menerima kebahagiaan yang Engkau janjikan kepada seluruh umat-Mu? Tuhan, aku hanya ingin bersama dia, dia yang mengerti tentang aku, dia yang mampu membuat aku tidak bisa jauh-jauh darinya, dia, dia, hanya dia, Tuhan.

Lama aku memainkan peran dalam sebuah film yang telah Engkau beri nama hidup. Tak terasa waktu pun cepat berlalu. Aku pun telah menyelesaikan secuil karanganku tantang secercah cahaya yang telah Engkau renggut dariku, dan ini sekaligus menutup kisahku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun