;Ghost Writing
Banyak Peristiwa berdarah, yang menyelimuti bangsa dan negeri ini, yang tak pernah luput bagi ingatan kepala Soeparman -Manusia wereng, karena ia seperti Aburakago (ah-buh-rah-kah-goh) meski terbilang hantu yang tidak menakut nakuti, atau beralih rupa jelmaan lain. namun Aburakago selalu menteror kesehatan Ilusi terhadap orang-orang jahat, rakus dan tamak. tak jarang juga, ia menampakan diri dalam wujut Api, di sela sela cahya lampu -khususnya lampu minyak.
Darah bukan hanya menghiasi perjalanan perebutan kemerdekaan, namun juga dalam proses pengisian bahkan hingga pelaksanaan kemerdekaan -60 tahun an silam. Kemiskinan, kelaparan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), hingga tidak terlaksananya system yang kurang rapi. Ideologi bangsa yang dicabik cabik berbagai kalangan, melalui mosi tidak percaya dan transparansi sejarah masa silam -Jauh sebelum para Founding fathers menghargai mati pancasila. Merupakan panorama keberagaman alasan bagi kita untuk berteriak. Belum lagi, pada decade awal Orde Baru –transisi, pemandangan semakin liar. Dimana system benar – benar mendapat tuntutan, untuk dirubah secara total. Karena, kait paut terhadap borok dan bobroknya system lama (Orde Lama) yang dalam hal ini, dimainkan dan hanya menguntungkan sebagian kecil dari bagian bangsa ini.
Tak ayal, jika kemudian pada masa itu, 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa –yang turun kejalan.
Masih hangat dalam ingatan kita, peristiwa yang menimpa mahasiswa dan masyarakat sipil bergerak dan berjalan ke daerah salemba 11 November 1998 lalu, sehingga bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi pun tak dapat di elakan. Esok harinya, pada 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyarakat –jumlah ini teridentivikasi semakin banyak, bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya, masih di hari itu -12 November 1998, terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman, puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievekuasi ke kampus Atma Jaya.
Esok harinya Jumat tanggal 13 November 1998 mahasiswa dan masyarakat memiliki inisiatif untuk bergabung, dan berkumpul di Atma jaya dengan mahasiswa yang sudah ada. Kobar semangat dalam hati mereka, hanya dalam rangka menselaraskan fungsi, dari pemaknaan Ideologi demokrasi dalam arti sebenarnya. Dimana peran (aspirasi ) rakyat, sebagai bagian dari otoritas dalam penentuan kebijakan. Semenjak malam hari, mereka di kepung oleh kawanan TNI dengan jumlah yang semakin banyak dari segala arah. Tidak luput pula, kendaraan lapis baja di turunkan. Untuk alasan keamanan.
“Bagiku, rangkaian peristiwa itu bagaikan jatuhan bulir pasir, atau buih buih yang berserakan di pinggir pantai. Dan aku? Aku hanya mengendus, seperi angin, semilir melewatinya tanpa perduli”, lanjut Soeparman. Dengan isak tangin yang semakin keras.
Aku berfikir, mungkin setelah kejadian di 1998 itu. Aku akan bertaubat. Dan memohon ampun, karena perkiraanku saat itu keadaan mulai membaik. Dan kursi empuk yang di elu elu kan banyak pihak, sudah ku raih kembali. Maka, sangat cocok untuk waktuku bertaubat. Namun tidak !
Untuk kesekian kalinya, 24 September 1999, tentara kembali melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa yang turun kejalan, untuk mendesak pemerintah transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer.
Hingga kemudian, aku harus menyelamatkan diri dengan berbagai cara. Agar aku tetap berada “disini”. Berbagai upaya kulakukan, mulai pengaburan sejarah, hingga ku bungkam semua aparat dan media untuk tidak berteriak. meski Berbagai tudingan mulai berjejar ku kantongi, mata orang mulai mencari kambing hitam, tak terkecuali aku. Dalam upaya penutupan diri, kulebur segala penyelewengan, menggunakan propaganda gelap terbalik. Ku tutup semua lubang, hingga celah terkecil agar aku benar benar merasa aman, setidaknya untuk citraanku di kemudian hari.
"Mungkin inilah sebab, hari ini. Tak seorangpun mengenal sejatinya "aku" (Sebuah kesuksesan Soeparman ber-alibi, dan menyamarkan diri). Orang mengira, aku adalah seekor wereng yang kebetulan pernah berkicau di banyak media, dengan citraan baik. Padahal jauh hari sebelum kau mengenalku -kata seoparman kepadaku. Akulah sang aktor dibalik kerusuhan itu. Paling tidak, untuk kali ini. Aku tetaplah dikenal sebagai wereng", pangkas Soeparman mengakhiri ceritanya. Rokok ditanganya, tinggal separuh usia. Ku hitung jumlah puntung Rokok di asbak, 19 !. Maka pertanda, satu cepet rokok selesai kita lunaskan berdua. Masih di cafe yang sama.
Kompas (Minggu, 23 September 2012)- Kejaksaan Agung (Kejagung) dinilai tutup mata atas kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam peristiwa Semanggi II (23-24 September 1999). Selama 13 tahun berlalu, berkas hasil penyelidikan kasus tersebut belum juga ditindaklanjuti hingga tahap penyidikan oleh Kejaksaan Agung.