Mohon tunggu...
Mae Purple
Mae Purple Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Teacher | Goweser | Nice Mom | Dreamer | Creative/ Smile

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibuku Pahlawanku

22 Desember 2014   12:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:44 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mungkin kebanyakan orang sependapat dengan pendapat saya, bisa mencapai 90 -99% mungkin saja. Kedudukan Ibu bagi saya adalah diatas segalanya setelah Sang Pencipta.

Ketika saya masih kecil jujur saya belum mempunyai perasaan sebesar saat ini, entah karena Ibu yang sudah lebih dulu meninggalkan saya untuk menghadap Illahi atau karena saya sudah merasakan menjadi seorang Ibu saat ini.

Saya jadi ingat ketika saya masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar, saat itu saya sedang asik bermain dengan teman-teman sebaya, sebut saja mainan jual- beli, ketika saya terjatuh saat naik mobil-mobilan yang di gunakan adalah pohon yang sudah tumbang. Saat terjatuh rasa sakit itu belum terasa, jadi saya belum mengungkapkannya dengan senjata menangisku, tapi Ibu yang menangis lebih dulu karena rasa khawatirnya yang tak terhingga, karena buah hatinya terluka. Justeru saya menangis karena merasa terharu melihat Ibu yang terlihat begitu sedih, barulah rasa sakit itu datang.

Setelah saya menangis, ada rasa nyeri pada bagian siku tangan kananku, dan tak bias saya gerakan, “ya Tuhan tangan ini seperti lepas dari tubuhnya” saat itu saya ingin mengungkapkan rasa sakit itu dengan tangisanku yang terkeras. Anehnya sebelum saya katakana naluri Ibu sudah ikut merasakan.

“Ayo pa! kita bawa ke tukang urut, sepertinya tangan Mae patah!” ibu setengah berteriak sambil terus menangis.

“ya bu sini Bapak gendong” Bapak tanpa berfikir panjang langsung menggendong saya setengah berlari, kebetulan hanya jarak 300M rumah nek Uyut si tukang urut yang sudah kondang namanya di kampung saya.

“Assalamualaikum! Nek!..nek!..”Ibu terus mengetuk pintu agar segera di bukakan pintu.

“Walaikumsalam!” suara nek Uyut yang sudah mulai parau.

Nek Uyut membukakan pintu sambil tersenyum “aya naon?” nek Uyut menanyakan ada apa dengan bahasa sunda yang biasa di pakai sebagai bahasa sehari-hari.

“iyeu nek, si mae tadi geubis ti tangkal jambu, cobi nek di parios panangana!” Ibu memperlihatkan tangan saya dan memimta nek Uyut untuk memeriksa.

“nya ieu mah kudu di urut, cobi kedieu!” nek Uyut menarik tangan saya perlahan karena saya masih menangis kesakitan. “Tahan nya Mae nyeuri sakedik!”

“Auuww sakit! Sakit!” saya terus menahan sakit yang amat sangat karena ternyata sendi bagian sikut tangan saya terpelintir. Saya terus menangis menahan sakitnya di urut, Ibu terus menenangkan saya dengan mengelus-elus kepala saya “cep..cep..tahan sayang!”

“sakiit bu”

“iya ibu tau, tahan ya sebentar lagi”

Setelah selesai di urut dan pulang, banyak teman, saudara dan bu Guruyang menjenguk.

Satu bulan berlalu, sakit pada tangan saya mulai berkurang, kekuatan yang bertumpu di tangan saya juga mulai pulih, setelah pengurutan terakhir, mulailah di buka perban yang sudah sebulan menutupi sikut lengan saya. Betapa Ibu kaget setelah di buka perban tersebut.

“Mae ! kenapa tanganmu jadi begini?” ibu bicara sambil setengah berteriak, sayapun ikut kaget

“emang kenapa bu?” saya masih bingung belum paham apa yang salah dengan tanganku?

“coba tanganmu begini!” Ibu memintaku untuk mengikuti yang dicontohkan Ibu.

“tuh kan? Begini” Ibu sambil kecewa, “ayo mae kita ke rumah nek Uyut lagi biar di betulkan lagi!”

Saya di tuntunIbu menuju rumah nek Uyut, tapi Ibu merasa heran kenapa rumah nek Uyut sangat rame orang dan ada bendera kuning?.

“maaf pak RT ada apa ya?”

“nek Uyut meninggal bu, tadi pagi”

“apa? Nek Uyut meninggal? Sore masih sehat waktu ngurut Mae”. Ibu terlihat kecewa

“ya bu kami semua juga kaget, setelah sholat subuh nek Uyut pengen tidur lagi katanya, eh..malah bablas “ kata salah satu tetangga dekat nek Uyut.

“ya pak terima kasih, saya turut berduka ya semoga amal ibadah nek Uyut di terima Allah SWT, aamiin”

“aamin”

Ibu pulang dengan wajah kecewa, saya ikut pulang tak bersuara, saya mengerti perasaan ibu .

Sejak itu ibu mencari-cari tukang urut yang cocok, saya di bawa kesana-kesini, sampai suatu hari, bapak memberikan solusi, “bu gi mana kalau mae kita bawa ke rumah sakit aja, biar di apain gitu..”

“emang anaknya mau?” nanti kalau udah ke dokter tangannya mae di apain pak?"

“udah tenang aja nanti di sambung pake semen” bapak menjawab sambil nyengir

“hah? Di tembok pak?”

“he euh” bapak menjawab dengan anggukan kepala masih sambil tersenyum karena melihat wajahku yang lucu karena ketakutan.

“ga ah aku takut masa tangan orang di semen?”

“udah tenang aja” ibu coba menenangkan saya, tapi sambil melotot ke arah bapak, sepertinya isyarat kalau bapak tidak boleh menakut-nakuti.

Senin pagiibu sudah mulai menyiapkan sarapan dan sekalian untuk makan siang, “mae..cepat mandi ! siap-aiap kita jadi ke Dokter ya ?”

“aah…emang jadi bu? Aku takut”

“eeeh…ayo anak pinter ga boleh takut, ga papa kok!” ibu coba meyakinkan setengah berteriak dari dapur. Saya bangun menuju kamar mandi dengan kaki berat dan malas.

Perasaan deg-degan jantung saya selama dalam perjalanan menuju Rumah Sakit, saya membayangkan sesuatu yang mengerikan.

“maemunah!” seorang suster memanggil nama saya, ibu bergegas masuk ke ruangan Dokter sambil menggandeng tangan saya, bapak mengikuti dibelakang.

“kenapa Maemunah?”

“ini Dok, sudah hamper dua minggu terjatuh, dan tangannya begini” ibu menjawab pertanyaan Dokter.

“coba sini periksa dulu!” Dokter meminta saya mendekat

“oh..tulangnya patah”

“ya Dok, tadinya diurut”

“ini harus diopersi bu”

“gimana Dok?”

“nanti saya pasang pen ya?” sambil melirik kesaya minta persetujuan.

“dipasang pen apa Dok?” saya ikut bicara

“ya di smen mae!” bapak ikut menjawab

“apa? Disemen? Masa daging disemen?” saya merasa heran dan takut, akhirnya saya berlari keluar ruangan. “ ga mau…”

“ha..ha..sepertinya lucu untuk dibayangkan tapi..itulah salah satu kelucuan anak-anak, walau saya berlari dengan ketakutan, ibu selalu membuatku merasa nyaman, ibu tidak mau memaksakan kehendak anak-anaknya, ibu selalu memahami perasaan kami sebagai seorang anak. Itulah sebabnya saya selalu mengingat semua kabaikan, kasih saying ibu dalam setiap waktu dimana kubutuhkan ibu selalu ada. Ibu adalah pahlawanku yang selalu ada tertanam dalam hati

Ibu I Love You

Selamat Hari Ibu…semoga engkau dialam sana selalu bahagia bersama sang Khaliq aamiin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun