Malam yang dingin di iringi gemerisik suara hujan seakan memetik keheningan, menjadikan langit seperti tak berdaya untuk memetik cahaya bulan. Kelam dan gelisah hati seperti di kendarai rasa sepi.
"Mah, buku hadiah Iki dari bu guru mana? Celoteh si pemuda kecil yang duduk di kelas 1 SD.
"Ada di lemari ganteng" Jawab ibunya dengan santai.
"Iki mau pasangin sampul ya mah" timpalnya.
"Nanti aja Dede, sekolahnya juga masih libur" balas ibunya.
"Biarin Mah, biar pas masuk sekolah Iki udah siap belajar" sahutnya.
Percakapan itu mereka kemas dalam beranda malam yang dingin. Sambil memperhatikan anak bungsunya yang memasangkan sampul buku, Bi Inah memainkan jemarinya di layar hand phone. Tiba-tiba Hp nya berdering keras menandakan suara panggilan telpon masuk.
"Assalamualaikum Mah, teteh besok gak bisa pulang ya. Teteh ada jadwal ada acara bareng temen kampus besok" Ujar anak gadisnya yang menelpon lewat video call.
"Lha teteh mah, besok tahun baru malah gak pulang" balas ibunya.
"De Rizky mana Mah?" sambungnya.
"De, teteh VC nih, sini dede nya?" Ajak ibunya ada si bungsu.
"Teteh, dede dapat rangking 1, di kasih hadiah sama Ibu guru. Hadiahnya 6 buku". Celotehnya dengan riang.
"Wah, selamat ya ganteng emang pinter dede mah. Nanti kalau teteh pulang, teteh beliin hadiah juga buat dede" Balas si kakanya.
"Teteh, terus mau pulang kapan tetehnya?" sahut ibunya.
"Teteh pulang lusa mah, tanggal 2 Januari".
Percakapan itu kemudian di sudahi oleh sinyal yang timbul tenggelam. Akhirnya setelah si kecil itu merapikan bukunya, kemudian ibunya mengajaknya berselfie berdua. Malam semakin larut hujan dan angin semakin risau.
"Ayo tidur mah" Ajak suami bu Inah yang satu jam sebelumnya sudah pulang dari pekerjaannya.
"Pa, kenapa ya mata kiri mamah berkedut terus, perasaan mamah juga gak enak" ujar bu Inah.
"Itu perasaan mamah saja, mungkin karena cuaca seperti ini mamah jadi terbawa suasana" jawabnya.
Detakan suara jam seakan berbalapan dengan hujan, malam semakin larut namun bu Inah sulit untuk terpejam, ada ruang resah yang menghimpit hatinya. Ia kemudian duduk di ranjang tidurnya sambil menatap jam yang menunjuk angka 1. Ia kemudian berjalan menuju kamar mandi dan memasahi wajahnya dengan air wudhu. Dia berserah diri atas segala perasaannya. Setelah merasa tenang, akhirnya Bu Inah tertidur dalam sejadahnya.
***
Pagi itu 1 Januari 2020, matahari seperti lelah untuk terbit. Hujan yang terus berlinang seakan menggantikan peran matahari menggantikan pagi. Di kamar yang mungil si kecil Rizky terbangun atas lantunan suara adzan. Ia kemudian bergegas menuju kamar ibunya.
"Mah, bangun! udah subuh. Mamah ko tidur di sejadah sih?" ujarnya.
"Astagfirullah, mamah ketiduran". sambungnya.
"Ayo kita solat mah" ajaknya, si kecil yang soleh.
Suasana itu tampak menawan, sebuah kebahagiaan bertahta dalam keluarga kecil yang bahagia. Jam di dinding semakin berangkat naik, tetapi hujan masih betah membasahi bumi. Ayah Rizki berpamitan untuk membantu saudaranya yang hendak hajatan. Setelah selesai membenahi rumah, Bu Inah dan Rizki bermain di teras rumah sembari ngopi hangat dengan tetangga samping rumah.
"Inah, kenapa si neng Riska gak pulang?" tanya Bu Sumi mertuanya Bu Inah, yang tiba-tiba mendatangi rumah menantunya dengan memegang payung"
"Si Neng mah ada acara sama temenya Mak. Tahun baruan di kota. Besok baru bisa pulang katanya"
"Mah, biasanya kita jalan-jalan ya kalau tahun baru. Sekarang mah hujan" celoteh Rizky menengahi percakapan itu.
"Iya dede, kalau sudah musim panas nanti kita liburan" jawab Bu Inah.
Suasana dingin seakan hangat dalam suasana pagi itu. Bi Inah dan tetangganya bergurau sambil menceritakan pengalaman pada tahun baru sebelumnya. Tiba-tiba suasana hangat itu berubah menjadi keheningan. Bu Inah, Bu Sumi dan tetangganya mendengar suara gemuruh air yang begitu kencang. Mereka panik dan berlari menuju rumah.
Di dalam rumah, gemuruh air terdengar amat keras setelah ia menengok dapurnya, ternyata dinding dapurnya jebol di hantam air bah yang bersumber dari solokan dekat dapurnya. Tak di sangka solokan yang begitu kecil menghadirkan air bah yang begitu besar. Bu Inah panik dan berteriak.
" Maaaaak, toloooong banjiiir" teriaknya keras.
Mendengar teriakan itu, Bu Sumi berlari keras menuju dapur. Bu Sumi kaget melihat air di dapur yang tampak sedada. Bu Sumi berusaha keras menarik tangan menantunya yang terseret arus. Rizki menghampiri berteriak dan menangis melihat pemandangan itu.
Rizki kemudian berusaha menyelamatkan ibunya yang hendak terbawa arus. Ia berusaha ikut menarik tangan ibunya yang bertarung dengan gelombang air. Karena tubuhnya yang masih mungil, ia terbawa arus menuju pelukan ibunya. Kemudian bu Inah melemparkan Rizki pada bu Sumi mertuanya. Bu Sumi menarik tangan keduanya. Namun gelombang air semakin deras dan kencang. Akhirnya mereka bertiga hanyut terbawa arus.
Tubuh Bu Inah terpental sejauh dua meter dan tertangkap oleh akar pohon. Betapa pohon itu mulia menyelamatkan nyawa manusia. Namun bu Sumi dan Rizki mengalun begitu jauh mengikuti arus yang amat deras. Semua warga panik, ada yang pingsan ada yang menjerit ada yang berlari dalam hujan menyelamatkan bu Inah.
Warga dengan sigap memberikan pertolongan. Setelah 1 jam terperangkap dalam akar pohon Bu Inah dapat di selamatkan warga. Mendengar kabar itu, suaminya berlari menuju rumah dan melihat keadaan begitu kacau. Ia berteriak histeris melihat istrinya yang biru lebam dalam dingin. Ia gemetar mendengar anaknya hanyut. Tubuhnya lunglai. Seketika suasana di kampung itu sangat gaduh dengan tangisan. Ada yang menangisi Bu Inah ada yang menangisi rumahnya yang porak poranda.
Tiga puluh menit berlalu, Bu inah membuka mata dari pingsannya. Kemudian ia berteriak histeris.
"Rizkiiiiiii, mana anakuuuuuu?, gak boleh, gak boleh pergi Rizkiiiiii" teriaknya penuh tangis. Seketika tangis suami dan warga yang menyaksikan ikut pecah.
"Cari anaku, aku ingin mati tanpa anaku. Emaaaaakk dimana Emaaaak??" teriaknya semakin menggila. Banyak warga yang memeluk menenangkannya.
Bu Inah kemudian kembali tak sabarkan diri. Betapa tidak, si mungil yang tadi pagi berceloteh, tiba-tiba hanyut dalam genggaman tangannya. Ia mengalun terlampau jauh dan lupa cara untuk kembali. Tubuh mungilnya terbawa arus bersenggolan dengan batu-batu besar, dengan lumpur dan pasir. Sang air bah seperti tak rela melepas tubuh mungil yang amat soleh. Ia seperti lekat menggenggamnya.
Satu hari berselang seluruh korban di evakuasi. Bu Inah masih belum siap menerima kenyataan. Ia meringis, ia menjerit, ia seakan gila.
"Kembalikan anaku ya Allah, kembalikan juga ibuku" teriaknya dalam tangis yang kencang. Kakanya Riska pulang menuju kampung ia mendengar seluruh warga di evakuasi, ia terkejut mendengar adik dan neneknya terbawa arus air bah. Ia lunglai dan pingsan.
Dua hari dari kejadian, tepatnya 3 Januari 2020, tim BPBD menemukan bu Sumi di sungai Ciujung. Sebuah sungai yang ada di kabupaten. Bu Sumi terpental arus sejauh 50 Km. Kondisi yang mengenaskan tanpa busana, serta badan yang menggelembung membuat keluarga Bu Inah semakin sesak. Lebih sesak lagi si kecil Rizky masih belum di temukan.
Di posko pengungsian, Bu Inah nampak tertekan pandangan matanya kosong, wajahnya lebam, matanya sembab dan sesekali ia menyakiti dirinya, seolah menanggung penyesalan yang besar. Di hari ke empat Ibu Bupati datang menengok, Bu Inah kembali histeris.
"Ibuuuu anak saya buuuu, tolong cari buuuu, saya bisa mati buuuuuu" rintihnya dalam tangisan.
"Yang sabar ya, sedang ibu usahakan. mudah-mudahan tim bisa menemukan" Ibu Bupati pun ikut menangis dan suasana menjadi sangat emosional.
Hari terus berselang, Bu Inah masih menaruh harapan untuk putra bungsunya. Ia masih sulit menerima keadaan, dan menanamkan keyakinan bahwa anaknya masih hidup. Sesekali bicaranya ngelantur, dan matanya tak berhenti meneteskan air mata.
Tiga hari menjadi seminggu, seminggu menjadi sebulan hingga akhirnya tim BPDB lelah dalam pencarian. Mereka pasrah dan mengumumkan 'Rizki meninggal tanpa jasad'. Bu Inah menjadi semakin histeris, ia berteriak jika ini semua hanya sebuah mimpi. Ia histeris ingin mengulang semua waktu bersama putra kecilnya. Putra yang soleh nan rupawan, putra yang baik yang Allah pilih untuk syahid dalam bencana.
Bulan pun berganti tahun. Sejauh sungai mengalir sejauh itu si kecil Rizki memebersamai arusnya yang deras. Untukmu, si kecil yang mengalun dalam keabadian, aku bingkai cerita tentang mu dalam narasi ini. Agar semua pembaca tahu, sampai detik terakhir mereka membaca cerita ini, sampai detik itu pula engkau mengalun dalam arus keabadian. Ragamu memang tak nampak, kuburanmu memang tak ada, tetapi ruh dan ceritamu tertulis indah di surga. Seandainya aku yang menjadi ibumu, belum tentu aku bisa hidup.
-Sekian-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H