Di posko pengungsian, Bu Inah nampak tertekan pandangan matanya kosong, wajahnya lebam, matanya sembab dan sesekali ia menyakiti dirinya, seolah menanggung penyesalan yang besar. Di hari ke empat Ibu Bupati datang menengok, Bu Inah kembali histeris.
"Ibuuuu anak saya buuuu, tolong cari buuuu, saya bisa mati buuuuuu" rintihnya dalam tangisan.
"Yang sabar ya, sedang ibu usahakan. mudah-mudahan tim bisa menemukan" Ibu Bupati pun ikut menangis dan suasana menjadi sangat emosional.
Hari terus berselang, Bu Inah masih menaruh harapan untuk putra bungsunya. Ia masih sulit menerima keadaan, dan menanamkan keyakinan bahwa anaknya masih hidup. Sesekali bicaranya ngelantur, dan matanya tak berhenti meneteskan air mata.
Tiga hari menjadi seminggu, seminggu menjadi sebulan hingga akhirnya tim BPDB lelah dalam pencarian. Mereka pasrah dan mengumumkan 'Rizki meninggal tanpa jasad'. Bu Inah menjadi semakin histeris, ia berteriak jika ini semua hanya sebuah mimpi. Ia histeris ingin mengulang semua waktu bersama putra kecilnya. Putra yang soleh nan rupawan, putra yang baik yang Allah pilih untuk syahid dalam bencana.
Bulan pun berganti tahun. Sejauh sungai mengalir sejauh itu si kecil Rizki memebersamai arusnya yang deras. Untukmu, si kecil yang mengalun dalam keabadian, aku bingkai cerita tentang mu dalam narasi ini. Agar semua pembaca tahu, sampai detik terakhir mereka membaca cerita ini, sampai detik itu pula engkau mengalun dalam arus keabadian. Ragamu memang tak nampak, kuburanmu memang tak ada, tetapi ruh dan ceritamu tertulis indah di surga. Seandainya aku yang menjadi ibumu, belum tentu aku bisa hidup.
-Sekian-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H