Menyusuri kolong Bumi terpanjang di Nusantara. Â
Selepas luhur, kami menyusuri jalan Karaenta yang berkelok-kelok. Tepat di penghujung hutan karst Karaenta, kami berhenti. "Kita akan ke bawah," ujar Muhamad Yunus, pemandu gua Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, sambil menunjuk ke sisi kiri jalan yang berjurang.
Kami bersiap. Memakai baju gua, memasang peralatan keamanan masing-masing. Melingkarkan chest harnes, mengaitkan foot loop, kemudian menguncinya dengan delta tepat di pinggang. Setiap orang lantas memasang jumar dan auto stop. Menyilangkan tali weibing di punggung, menguncinya pas di dada kiri. Tali ini sebagai penyeimbang saat memanjat tali. Tahap akhir memasang helm berlampu senter.
Tak lupa taklimat persiapan sebelum memasuki hutan yang dihuni makaka endemik Sulawesi, Macaca maura. "Jangan takabur," Iskandar, penelusur gua asal Jakarta, Â mengingatkan.Â
Kami menuruni jalan terjal itu. Tak ada tanda-tanda seperti jalan setapak. Tak ada yang ingat betul jalan yang sering dilewati menuju gua. Meski beberapa di antara kami telah memasuki mulut gua ini untuk ke sekian kalinya. Tim berjalan hati-hati, menyibak ranting dan semak. Jalan licin. Hujan semalam masih menyisakan  lantai hutan yang basah.
Tak lama kemudian kami sampai di kaki tebing karst. Air mengalir deras dari celahnya. Saya menelisik ke mata air itu, nampak sabun mandi batangan yang menipis. Sepertinya masyarakat desa terdekat kadang memanfaatkan sumber air ini.
Anggota tim lain mencari jalan menuju gua. Seorang di antara kami kemudian memastikan aliran air dari karst itu adalah jalan menuju mulut gua K3. Tim pun mengikuti aliran air. Aliran air seperti parit ini membuat batu diselimuti lumut. Licin. Belum lagi jalannya masih terbilang terjal.
Hampir satu kilometer kami mengikuti jalan air, yang kemudian alirannya menghilang, masuk ke liang berdiameter satu meteran. "Alirannya saya kira akan masuk ke Gua Salukang Kallang," ujar Indra Pradana, staf taman nasional.
SATU KILOMETER terakhir tim disuguhi hutan perawan. Pepohonan begitu rapat, hanya sedikit cahaya yang menembus lantai hutan. Tak jarang saya menjumpai beringin yang tak bisa dipeluk seorang saja. Akar banir yang kekar dan lebar menandakan ia sudah berumur puluhan tahun.
Kami berjalan di setapak yang samar-samar menjadi panduan menerabas belantara. Langkah saya terhenti melihat batang pohon yang berdiri tegak nan lurus. Berwarna kelam, hitam. Tak memiliki banyak cabang.
Pohon ini tak lain adalah jenis kayu hitam (Diospiros celebica) yang endemik Sulawesi dan dilindungi undang-undang. "Pohon ini memiliki kelas kuat satu dan kelas awet satu," celetuk Ayu Tyas Purwanti, mahasiswa pecinta alam Universitas Gajah Mada.