Ketika 32 biksu melakukan ritual thudong, yakni berjalan kaki -bak long march- dari Bangkok, Thailand ke Candi Borobudur di Magelang selama 71 hari dalam rangka turut merayakan puncak detik-detik Hari Raya Waisak menggambarkan bagaimana sebuah tekad laku ziarah sebagai wujud keimanan.
Praktik ziarah dalam keyakinan agama -terlepas apapun agamanya- mempunyai peran yang penting, krusial. Karena selain untuk meneguhkan keimanan, juga menjadi pengingat dan pengikat sekaligus terkandung pesan moral di dalamnya.
Tradisi ziarah sendiri sudah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Indonesia. Apakah itu berupa: ziarah ke makam keluarga, makam yang dianggap keramat, makam tokoh yang dihormati, tempat-tempat tertentu seperti petilasan, hingga berkunjung atau sowan ke tokoh-tokoh agama untuk ngalap berkah.
Lihat saja animo wisata ziarah yang kini begitu marak. Bagi kalangan Muslim biasanya wisata ziarah ke makam-makam para wali bahkan hingga ke Masjid Aya Sofia di Turki yang ditawarkan satu paket dengan ibadah umroh.
Pun dengan saudara Kristiani kita yang berziarah ke Sendangsono-Yogya hingga paket ke Lourdes, Prancis. Atau wisata ziarah -biasanya bersama pendeta- ke Gereja Makam Kudus (Church of The Holy Sepulchre) di Yerusalem.
***
Arti dan Dimensi Ziarah
Secara umum, kata ziarah kerap disandingkan atau disematkan dengan kata kuburan atau makam dan tempat-tempat yang dianggap sakral, suci.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ziarah diartikan sebagai kunjungan ke tempat yang dianggap mulia atau keramat (makam dan sebagainya).
Secara bahasa, kata ziarah terambil dari bahasa Arab yang merupakan isim masdar (akar kata) dari kata zara-yazuru-ziyarah, yang artinya berkunjung.