Di masa pandemi ini begitu terasa penurunan beberapa sektor kegiatan usaha, termasuk yang dialami oleh teman yang berprofesi sebagai seniman lepas. Dia yang menggantungkan usahanya dari menggambar mural atau backdrop di gedung-gedung komersial mengeluhkan juga perihal 'ribetnya' kontrak perjanjian dengan pengelola gedung yang selalu menanyakan 'bendera usaha'.Â
Hal ini mengingatkan penulis pada kisah teman lain yang bekerja pada kantor notaris. Suatu hari ada seorang klien yang hendak membuat CV.Â
Orang ini adalah tukang kusen yang mendapat proyek pengadaan kusen untuk perumahan, namun diminta oleh pihak pengembang untuk membuat CV sebagai syarat dari kontrak perjanjian kerja sama. Dengan lugu dan polosnya, tukang kusen itu benar-benar tidak mengerti terkait pendirian sebuah CV.
Kisah lain adalah pemilik sanggar tari yang mendapat job untuk tampil di acara pemerintah daerah. Namun penyelenggara yang notabene adalah pemda itu sendiri meminta pemilik sanggar untuk membuat yayasan terlebih dahulu sebagai persyaratan administratif pembayaran.
***
Dalam dunia usaha sering kita mendengar istilah pinjam bendera. Yang dilakukan untuk memuluskan sebuah kontrak perjanjian kerja sama. Bagi yang tidak mau pusing, mereka akan pinjam bendera dengan memberi fee rata-rata sebesar 5 % dari nominal transaksi.
Yang menjengkelkan bila 'diharuskan' bernaung di bawah vendor yang ditunjuk oleh si pemberi kontrak sendiri, yang kadang merupakan orang dalam juga. Para pelaku usaha kecil dan pekerja seni lepas ini hanya bisa pasrah meski tak sedikit pula yang tidak menyerah manakala 'dimainkan' para pemberi kontrak. Intinya ada pola permainan profit sharing antar mereka.
Memang ini bukan persoalan 'remeh' karena sebuah institusi atau lembaga butuh legalitas dalam transaksi sebagai bentuk pertanggungjawaban keuangan. Terutama kepastian hukum apabila terjadi wanprestasi. Tetapi di sisi lain membentuk sebuah badan hukum seperti CV atau yayasan mempunyai konsekuensi yang tidak semua pelaku usaha kecil ini mengerti.
Meminjam 'celotehan' Cak Nun perihal bedanya sudut pandang masyarakat di negara barat dengan di negeri sendiri. Kalau di barat sana kita akan ditanya: Kamu bisa apa? Sementara di sini yang ditanya adalah: Kamu siapa?
Menilik Badan Usaha dan Yayasan Sebagai Badan Hukum
Dalam sebuah perjanjian kerja sama seperti kasus di atas, mendirikan maupun meminjam bendera usaha menjadi sesuatu yang lazim alias lumrah. Lantas bagaimana 'kedua rechtspersoon' itu diatur dalam undang-undang?
CV adalah singkatan dari Commanditaire Vennootschap yaitu persekutuan komanditer, yang dasar hukumnya diatur dalam Pasal 19-21 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Secara ringkas dari pasal-pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam persekutuan itu ada modal yang harus disetor oleh persero komanditer, adanya pembagian tugas antara direksi dan persero komanditer, termasuk tanggung jawab yang meliputi hutang piutang maupun perjanjian.
Secara prinsip untuk pendirian persekutuan komanditer ini tidak ada batasan minimal modal. Sementara dalam Undang-Undang RI Nomor 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UKM) Pasal 6 Â mengatur tentang kriteria UKM secara rinci dan jelas:
- Usaha Mikro, memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan usaha; atau hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,00.
- Usaha Kecil, memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00-Rp 500.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00-Rp 2.500.000.000,00.
- Usaha menengah, memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00-10.000.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00-Rp 50.000.000.000,00.