Mohon tunggu...
Ovic Gleichen
Ovic Gleichen Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Selain suka membuat komik, saya juga suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sah kah Tarawih "Ngebut" kita?

2 Juli 2014   10:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:52 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_345788" align="aligncenter" width="330" caption="gambar. koleksi pribadi"][/caption]

Menjelang bulan ramadhan seperti saat ini, umat Islam di seluruh dunia pasti tidak asing dengan yang namanya tarawih. Dari anak kecil yang sekedar ikut-ikutan menambah keramaian, hingga pemuda yang tidak melaksanakan ibadah tersebut pun tahu, termasuk bilangan raka’atnya.

Di beberapa masjid hingga mushalla, kadang tingkat keramaian jama’ah bisa ditentukan dengan “kecepatan gerak” sang imam. Semakin imam tersebut cepat dalam melewati tiap rakaat, maka akan semakin ramai pula jama’ah alias makmumnya.

Beberapa alasan yang mendasari sistem ngebut tersebut disebabkan karena untuk menyingkat waktu agar tidak termakan sholat karena rakaatnya (untuk beberapa orang) memang ekstrim. Disisi lain, faktor kepentingan, dari yang urgen hingga yang bersifat profesi kadang menjadi alasan tersendiri.

Soal mau cepat selesai atau tidaknya, yang lebih penting dan patut dipertanyakan adalah: Sahkah solat kita? Apakah dua tipe rukun (qauli=ucapan dan fi’li=gerakan) sudah terpenuhi atau justru dilewati atau dilakukan setengah-setengah? Dari dua “tipe” rukun tersebut, yang umum “dicampakkan” adalah dalam hal bacaan fatihah (ucapan) dan tuma’ninah (gerakan). Jika kedua syarat tersebut tidak mampu dipenuhi, maka otomatis dan secara absolut ibadah kita nihil. Tidak sah.

Soal letak kesalahan pada pembacaan surah al-Fatihah umumnya terletak pada akhir ayat. Ayat yang seharusnya waqof (berhenti) umumnya diwasol (dilanjut/tidakberhenti). Sebetulnya ini bukan masalah dan boleh-boleh saja. Hanya saja masalahnya, cara melanjutkan bacaannya tidak memakai tata-cara pembacaan menurut ilmu tajwid yang berlaku. Sebagai contoh:

·Akhir ayat pertama dihubungkan (di wasol) dengan ayat ke-2. “….nirrohim-Alhamdulillah…” Yang betul adalah, “…nirrohimilhamdulillah…”

·Akhir ayat ke-2 dihubungkan dengan ayat ke-3. “…’alamiin-arrahmanirrahiim…” Yang betul adalah, “…’alamiinarrahmanirrahim…”

·Pada akhir ayat ke-3 dan ke-4, jika di lanjutkan maka kasroh pada huruf mim (pada ayat ke-3) dan nun (pada ayat ke-4) tidak boleh dibaca sukun (mati).

·Pada ayat ke-5, umumnya kesalahan sangat sering terjadi. Baik pada saat tarawih atau pada solat diluar tarawih yang tidak butuh “ritme” cepat. Ketika menyambung akhir ayat ini (5) ke awal ayat berikutnya (6), umumnya orang akan membaca seperti ini, “…wa’iyyaakanasta’iin-ihdinasshirathal…” Padahal menurut kaidah yang berlaku harusnya, “wa’iyyaakanasta’iinuhdinasshirathal…”

·Dan yang terakhir, pada akhir ayat ke-6, jika mau disambung ayat ke-7, maka huruf mim-nya harus tetap dibaca fathah. Tidak boleh di-sukunkan (matikan).

Berhubung fatihah itu bacaan wajib, maka sudah sepantasnya kita mau belajar lagi agar bacaan tersebut benar-benar tepat dan tidak salah, apalagi asal-asalan mengikuti bacaan orang yang belum bisa membaca dengan benar tanpa tahu ilmunya. Bukankah itu yang disebut dengan taqlid buta? Asal mengikuti, tapi tidak mengerti.

Soal tuma’ninah. Dalam gerakan solat yang cepat memang sangat rentan ditinggalkan. Tuma’ninah adalah berhenti sesaat setelah bergerak (pada rukun fi’li) untuk menuju pada gerakan selanjutnya. Kadar berhenti sesaat (tuma’ninah) hanya sebatas ucapan subhanallah. Tidak ada satu detik.

Letak tuma’ninah:

1. Saat ruku’.

2. Bangun dari ruku’.

3. Saat sujud.

4. Saat bangun dari sujud pertama (duduk diantara dua sujud).

Semoga tulisan ini menambah pengetahuan kita agar ibadah yang kita lakukan benar-benar memenuhi syarat dan bisa diterima oleh Allah… Sholat adalah ibadah wajib yang harus kita lakukan setiap hari. Karena itu kewajiban dan merupakan ibadah harian, maka sudah selayaknya kita tahu tata-caranya agar ibadah yang kita lakukan tidak sia-sia. Bukankah “Ibadah yang tidak didasari ilmu adalah sia-sia”? Betapa banyak orang yang bersusah payah beribadah, tapi dimata Allah tidak ada artinya? Bahkan malah mendapat dosa?

wallahua’lam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun