Mohon tunggu...
Muhammad Abdur Rahman
Muhammad Abdur Rahman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Muslim selamanya. Pembelajar selamanya. Alumni Akuntansi FEB UGM. Ayahnya Maryama.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kabar Duka Siang Sabtu; Sebuah Renungan

2 Februari 2014   06:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:14 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

###

Siang sabtu. Di tengah banyak canda, di tengah banyak senyum, beredarlah kabar duka itu. Tidak terlalu kuperdulikan selain berucap kalimat innaalillaahi wa inna ilaihi raaji’uun. Aku tidak mengenalnya.

Sampai ba’da isya kabar itu masih terus beredar dengan pesan-pesan kesedihan yang menyertai. Ya, seorang kakak yang hebat telah dipanggil olehNya. Sudah sedemikian rindu kah Dia sehingga memanggil kakak itu ke hadiratNya secepat ini? Atau justru sang kakak lah yang teramat merindukan sang Pencipta, sehingga ini adalah kabar gembira baginya karena Allah mengabulkan keinginannya untuk bertemu? Allaahu a’lam bish shawwab.

Siapalah kakak itu dan siapalah aku. Bahkan mengingat wajahnya pun tidak. Bahkan merasa pernah hafal namanya pun tidak. Tapi malam itu, ketika aku kembali mendengar kabar itu air mata ini mengucur deras, mencegah raga ini beristirahat dengan segera padahal kondisinya sedang lelah. Semalaman ku mengadu kepada Tuhanku, akan kesedihan-kesedihanku mendengar kabar kepulangannya. Di sisi lain, aku pun tidak mengenalnya dan sebaliknya. Ah tidak, kenal bisa saja, mungkin hanya sebatas tahu walaupun tidak ingat.

Air mata ini terus bercucuran, deraaaasss sangat. Sampai lewat tengah malam. Kesedihan ini begitu menyiksa, di tengahnya ada kebingungan. Kenapa aku begitu sedih atas kepergiannya? Entahlah aku tidak tahu apa-apa. Aku hanya sedih. Ya, izinkan aku menangis karena sedih akan kepulangan seorang hamba Allah, tanpa alasan lain, tanpa cerita dan kenangan yang membersamai kesedihan tersebut.

###

Aku mengarungi media sosial sambil membaca banyak kesedihan dari orang lain kepadanya. Subhanallaah, ternyata banyak sekali yang menangisi beliau. Ya, pasti insyaAllah kakak itu adalah orang baik. Lihatlah kenangan dan cerita inspiratif yang dikemukakan kawan-kawanku ketika berbagi hikmah dengannya, tengoklah betapa luar biasanya kakak itu dari pengalaman seniorku yang tentu saja mengenalnya lebih dekat ketika dibersamainya. Tanpa sadar air mata ini bergulir lagi sekencang sebelumnya, padahal baru saja sebentar diizinkan Allah mereda.

Di tengah tangisan itu aku teringat sesuatu. Dulu sekali ketika sedang memangku amanah koordinator mentoring di fakultasku, ada seorang akhwat senior yang menitipkan beberapa lembar kuisioner untuk sampel pemandu-pemandu di fakultasku dalam rangka riset mentoring kampus. Aku kerjakan dengan setengah-setengah, selesai tugas molor dari deadline yang sudah ditentukannya. Tapi senior itu terus mengingatkanku dengan bahasanya yang baik tanpa emosi negatif yang tersirat.

Waktu berlalu cukup lama, sangat lama, sampai pada pergantian kepengurusan pengurus mentoring kampus. Aku datang dengan tas kesukaanku. Di ruangan musyawarah aku melihat isi tasku, ada lembar-lembar kuisioner yang dulu sekali dititipkan itu. Karena kecerobohanku ternyata tidak kunjung kukumpulkan kepada seniorku itu, yang bahkan tidak kuingat namanya dan rupanya. Ah sudahlah, sudah berlalu, begitu pikirku.

Ternyata air mata ini lebih awal menyesali khilafku itu daripada kesadaranku sendiri. Entahlah, apa aku menangis karena itu? Allaahu a’lam. Satu-satunya kenangan yang tiba-tiba muncul adalah sikap acuhku menyambut usaha baik seorang senior berjuang memperbaiki dakwah kampus. Karena di sela-sela tangisku barulah aku melihat pesan kawanku yang lain bahwa kakak yang meninggal tersebut adalah senior yang diamanahi mengampu litbang mentoring kampusku kala dulu. Apa benar aku menangis karena itu? Allaahu a’lam. Aku tidak peduli alasannya. Bisa saja aku salah orang, semoga diizinkan Allah meminta maaf kalau memang salah. Tapi entahlah, aku sudah menangis sebelum mengingat hal ini. Izinkan aku menikmatinya sampai terlelap.

###

Shubuh di kemudian hari, aku terdorong untuk membuka sebuah buku hadiah dari ayah tercinta. Persis di halaman pertama yang kubuka, padahal aku membuka bagian tengahnya, terdapat kisah yang luar biasa tentang Khansa An-Nukhaiyah ra. Seorang ibu dengan kecintaan kepada Allah yang melebihi nalar umum manusia. Subhanallaah itu pasti karena anugerah keimanan yang Allah berikan padanya.

Dikisahkan, khansa an-Nukhaiyah ra., memiliki empat orang putra. Ketika perang Qadisiyah akan berlangsung, Khansa menemui keempat putranya dan memerintahkan mereka untuk pergi ke medan perang.

Khansa berkata, “Hai anak-anakku, kenakanlah kain kafan kalian! Mandilah dan segera kenakan kain kafan kalian! Ketahuilah, aku adalah ibu yang sangat sayang kepada kalian. Demi Allah! Aku tidak pernah mengkhianati ayah kalian ataupun menipu paman kalian. Apabila kalian maju ke medan perang, maka hadapkanlah wajah kalian ke sana dan berangkatlah bersama para pahlawan Islam lainnya. Porak-porandakanlah musuh-musuh Islam, dan semoga Allah menjadikan kalian termasuk ke dalam golongan para syuhada-Nya.”

Akhirnya perang pun dimulai. Keempat anak laki-laki Khansa maju ke medan perang dan gugur dalam peperangan tersebut sebagai syuhada. Lalu, beberapa orang tentara muslim datang membawa berita duka tersebut kepada Khansa.

Namun, Khansa An-Nukhaiyah tidak bersedih mendengar berita tersebut. Ia justru tersenyum dan merasa gembira seraya berkata; “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikanku berbahagia atas gugurnya mereka, anak-anakku, sebagai syuhada di jalan-Nya.”

Subhanallaah.......

###

Berbahagialah kawan-kawanku, senior-seniorku, dan semuanya yang sedang menangisi kepergian sahabat kalian ini. Semesta bertasbih kepadaNya memohon kebaikan untuk almarhumah. Berbahagialah atas gugurnya beliau sebagai syuhada di jalan-Nya insyaa Allaah.

Allaahu a’lam bish shawwab.

*********************

Semoga Allah menerima seluruh amal ibadahmu, mengampuni seluruh kesalahanmu, dan menjadikan sakit yang engkau derita sebagai penghapus dosa-dosa. Aamiin.

Didedikasikan untuk Annisah Dini Juniarti, MIPA 2008 UGM. Meninggal dunia pada 1 februari 2014 pukul 13.00 dikarenakan sakit kanker yang sudah diderita sejak tahun 2011.

Mohon do’a, semoga Allah memberikan tempat terbaik di sisiNya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun