[caption id="attachment_247437" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin"][/caption] Bapak Presiden, ijin kan kami, TKI di Luar Negeri (Qatar) menyampaikan uneg-uneg kami seputaran problem di Tanah Air, utamanya hubungan kita dengan Negara tetangga Malaysia. Semua ini didasari pada rasa cinta kami terhadap Tanah Air dan Bangsa Indonesia.
Bapak Presiden, maafkan kami yang belum bersedia berkarya di negeri sendiri. Semua juga didasari atas rasa cinta Tanah Air, dimana kami tidak kuat melihat belanja jor-joran biaya operasional perusahaan migas swasta asing. Belum lagi disparitas gaji antara kami dengan Expatriat, dimana gaji Expat di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia. Ini yang membuat kami merasa menjadi tamu di negeri sendiri. Toh ada beberapa sisi positif dengan bekerjanya kami di luar negeri. Saat meninggalkan Tanah Air, posisi kami yang dulu diisi oleh orang baru, artinya menciptakan lapangan kerja. Ditambah dolar yang kami kumpulkan, sebagian besar kami belanjakan di Tanah Air, dalam bentuk tanah, properti, atau merintis usaha, yang dengan demikian turut membantu menciptakan lapangan kerja.
Bapak Presiden, kami sangat prihatin dengan sikap resmi Pemerintah kita, terkait insiden penangkapan 3 Petugas DKP oleh Polisi Malaysia. Kenapa kita tidak berani bersikap tegas, padahal sudah jelas halaman rumah kita diobrak-abrik orang lain, di depan mata kita sendiri. Tegas, tidak selalu berarti perang. Memang ada sebagian masyarakat yang menginginkan perang dengan Malaysia, tapi menurut saya itu terlalu buru-buru. Lakukanlah terlebih dahulu diplomasi yang tegas, lugas dan sistematis, sedemikian rupa sehingga Malaysia menghormati kampung halaman kita dan tidak berani macam-macam lagi.
Bapak Presiden, ijinkan kami sedikit sharing tentang bagaimana diplomasi yang tegas, lugas, dan sistematis. Bekerja di negeri multinasional seperti Qatar, menjadikan kami semua sebagai Duta bangsa, dimana seluruh sikap dan tindakan kami harus mencerminkan, beginilah Indonesia. Maka di pekerjaan, di jalan-jalan, di dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain, kami selalu berusaha bersikap professional. Setiap tindakan yang kami ambil diperhitungkan dengan baik, menghormati dan mempelajari adat budaya lokal, dan berinteraksi dengan bangsa lain atas dasar kesetaraan. Alhamdulillah, kurang dari 3 tahun, kami sudah merasa nyaman di Negeri yang kaya Gas Alam ini. Kami mampu menyelesaikan berbagai friksi yang terjadi antara kami dengan bangsa-bangsa lain, semuanya berdasar asas kesetaraan. Dengan orang Arab yang temperamen, kami sudah tahu kelemahan mereka. Dengan bangsa-bangsa Asia Selatan seperti India-Pakistan, lebih mudah kami menanganinya, karena sama-sama pendatang. Sementara dengan bangsa-bangsa Eropa-Amerika, mereka lebih terdidik dan terkontrol emosinya, tidak ada masalah dalam bergaul dengan mereka.
Bapak Presiden, kita sudah berpuluh-puluh tahun bergaul dengan Malaysia. Logikanya, kita sudah tahu kelemahan mereka, sehingga kalau mereka macam-macam, dapat segera kita selesaikan berdasar asas kesetaraan. Jadikan pengalaman ini sebagai pintu masik jalur diplomasi. Ajak Malaysia melakukan investigasi bersama secara objektif, kondisikan sedemikian rupa sehingga pada akhirnya Malaysia minta maaf dan tidak akan memasuki perairan kita lagi. Jika Malaysia menolak, dan tidak menunjukkan itikad yang baik, barulah lakukan langkah-langkah lebih jauh.
Bapak Presiden, sungguh, menyampaikan nota protes, dan mengajak Malaysia berunding tapi menutup mata atas sikap tidak bersahabat mereka selama ini, itu tidak akan menyelesaikan masalah. Karena dengan tidak berani bersikap tegas atas sikap Malaysia, mereka akan merasa superior, dan menganggap kita inferior. Dan perundingan yang tidak didasarkan atas asas kesetaraan, tidak akan pernah menghasilkan penyelesaian.
Bapak Presiden, jangan takut dengan 2 juta TKI kita di sana. Jangan takut dengan ribuan pelajar dan peneliti kita disana. Jangan takut dengan besarnya investasi Malaysia di negeri kita. Alih-alih khawatir, kenapa hal-hal diatas tidak kita jadikan pemicu untuk terus membenahi problematika di dalam negeri. Salah satu yang selalu saya diskusikan bersama kawan-kawan, kenapa kita tidak berani melakukan nasionalisasi industri migas dan industri strategis lainnya. Dengan nasionalisasi, saya yakin persoalan ketergantungan kita terhadap Malaysia akan berkurang signifikan. Sekali lagi Bapak Presiden, lakukanlah nasionalisasi industri migas dan industri strategis lainnya. Hugo Chavez bisa, Evo Morales bisa, sangat mengecewakan jika SBY mengatakan tidak bisa.
Bapak Presiden, mungkin sebagian orang akan berkata saya sedang bermimpi, tetapi saya akan terus bermimpi, memimpikan Indonesia yang makmur, bermartabat dan disegani bangsa-bangsa lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H