Bagiku pendidikan di negeri ini sangatlah mahal, melihat dari sisi pembiayaannya yang kurang disiplin dan membuat masyarakat negeri ini putus sekolah. Berawal dari sekolah dasar, begitu antusias orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya, karena biayanya masih relatif murah. Tapi ketika lulus dari sekolah dasar, sebagian besar anak-anak putus sekolah, karena minimnya biaya untuk lanjut sekolah, mereka berpendapat lebih memilih bekerja yang dapat menghasilkan uang dari pada sekolah yang dapat menghabiskan uang.
Menteri Pendidikan, Muhammad Nuh, Sabtu, 9 Februari 2013, saat memberikan pengarahan kepada ribuan guru, kepala sekolah, dan kepala dinas pendidikan yang menghadiri sosialisasi kurikulum pendidikan 2013 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, memperjelas kondisi yang memprihatinkan tersebut. Muhammad Nuh menggambarkan pada 2007, dari 100 persen anak-anak yang masuk SD, yang melanjutkan sekolah hingga lulus hanya 80 persen, sedangkan 20 persen lainnya putus sekolah.Dari 80 persen yang lulus SD, hanya sekitar 61 persen yang melanjutkan ke SMP maupun sekolah setingkat lainnya, kemudian dari jumlah tersebut yang sekolah hingga lulus hanya sekitar 48 persen. Sementara dari 48 persen tersebut, yang melanjutkan ke SMA tinggal 21 persen dan berhasil lulus hanya sekitar 10 persen.Dan,yang melanjutkan ke perguruan tinggi hanya sekitar 1,4 persen.
Faktor yang paling dominan yang menjadi penyebab anak putus sekolah adalah ketidakmampuan orangtua membiayai. Dalam hal ini bukan hanya menyangkut biaya sekolahnya saja tapi juga meliputi biaya seragam, buku, transport,uang jajan,serta biaya kegiatan ekstrakurikuler. Banyak keluhan yang dialami masyarakat kalangan bawah dari ketidakdisiplinan sistem biaya pendidikan di negeri ini. Ketidakdisiplinan itu terjadi karena biaya semakin tinggi seiring dengan tingginya tingkat pendidikan, hal ini dapat menyebabkan kualitas dan kuantitas anak yang bermutu semakin sedikit dan pada akhirnya pejabat tinggi negara dipegang oleh orang yang tidak bermutu yang bisanya hanya menaikan harga sembako, menaikan gaji PNS, dan paling parah adalah koruptor yang melanda diberbagai propinsi.
Sebagian besar masyarakat kalangan bawah adalah masyarakat pekerja keras, rajin, dan mempunyai segudang prestasi yang tidak dimiliki oleh masyarakat kalangan atas. Ironisnya dari 1,4 persen yang melanjutkan di perguruan tinggi, hanya 0,07 persen dari masyarakat kalangan bawah, sedangkan masyarakat kalangan atas 1,33 persen. Selanjutnya dari 0,07 persen masyarakat kalangan bawah yang kuliah, sebagian besarnya mendapat beasiswa dari pemerintah seperti BIDIKMISI dan dari lembaga lain seperti Beastudi Etos, PPSDMS, SDM IPTEK, KSE ddl.
Lalu bagaimana dengan sistem UKT?, uang kuliah tunggal atau disingkat UKT tidak dapat menyelesaikan permasalahan biaya kuliah di negeri ini. sebagian besar mahasiswa masih mengeluh dengan sistem UKT, kebanyakan diantaranya adalah mahasiswa dari keluarga kalangan menengah, bahkan kalangan atas pun sering mengeluh dari sitem UKT yang tidak berkeadilan. Bagaimana bisa adil, jika biaya tiap jurusan dan kampus dibedakan apalagi dengan fakultas yang terkenal elit seperti fakultas kedokteran, ekonomi, dan hukum. Hal ini menyusahkan masyarakat semua kalangan bahkan bisa mempersulit untuk tembus di fakultas elit, sehingga orang-orang yang berkualitas sedikitit menempati fakultas elit karena keterbatasan biaya.
Jangankan UKT yang tujuan awalnya dapat menurunkan biaya kuliah, BIDIKMISI pun yang dapat memberantas kemiskinan masih belum bisa mencapai tujuan utamanya. Dari data yang diambil di grup Facebook Bidikmisi nasional, banyak mahasiswa yang protes karena keterlambatan turunnya uang perbulan, pada akhirnya mahasiswa terpaksa hutang untuk bayar kos, dan akomodasi lainnya. Bahkan akhir-akhir ini dari bulan maret sampai bulan agustus 2014, uang BIDIKMISI mengalami keterlambatan, nahhh... bagaimana solusi untuk mahasiswa yang tidak mampu?, mendengar kabar dari teman-teman dan mahasiswa penerima BIDIKMISI ITS, mereka kesusahan untuk membiayai hidup selama kuliah, karena uang tidak turun, orang tua tidak mengirim uang karena kondisi yang tidak memungkinkan, kasihan nasib mahasiswa Indonesia jika terus-menerus kondisinya seperti ini.
UKT memang tujuannya sangat baik yaitu untuk meringankan biaya kuliah, tapi ada pihak yang diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan. Pihak yang diuntungkan adalah pihak yang dapat UKT dengan jumlah kecil, sedangkan pihak yang dirugikan adalah pihak yang mendapat UKT dengan jumlah besar. Berdasarkan data dari sekolah saya, 17 siswa yang diterima di Universitas Brawijaya (UB), 7 diantaranya mengundurkan diri karena mendapat UKT dengan jumlah besar yang tidak sesuai dengan pendapatan orang tua, 1 diantaranya mengorbankan untuk menjual hartanya hanya ingin kuliah di kedokteran gigi UB. 5 siswa yang diterima di Universitas Indonesia (UI), 3 diantaranya mengundurkan diri karena menerima jumlah UKT yang relatif besar. Begitupan dengan siswa yang diterima di kesehatan masyarakat Universitas Sumatera Utara (USU) yang mengundurkan diri karena menerima jumlah UKT yang relatif besar. Jelaslah sudah dari data-data di atas, bahwasannya sistem UKT bukanlah sistem berkeadilan yang belum bisa memberantas tangga kemiskinan di negeri ini.
Saran saya untuk menteri pendidikan, Muhammad Nuh, adalah merubah sistem biaya pendidikan menjadi biaya pendidikan yang berkeadilan dan mampu memberantas tangga kemiskinan. Sistem yang selama ini telah dilaksanakan oleh pak Nuh sudah bagus dengan tujuan yang bagus juga yaitu memberantas tangga kemiskinan. Pak Nuh sudah membuat BIDIKMISI dan UKTitu sudah cukup baik. Tapi, tidak semua kalangan dapat merasakan nikmatnya BIDIKMISI dan UKT. Saya kira sistem yang dibuat pak Nuh belum menganut berkeadilan masyarakat disemua kalangan. Begitu juga dengan BIDIKMISI hanya mempunyai tujuan untuk memberantas tangga kemiskinan, sehingga mahasiswa penerima BIDIKMISI banyak yang terlantar karena kurangnya binaan untuk bereprestasi, berkarya, dan berinovasi. Jadi, adakanlah beasiswa yang dapat membina masyarakat tidak mampu menjadi perubahan bangsa yang lebih baik, seperti BEASTUDI ETOS, PPSDMS, dan SDM IPTEK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H