Mohon tunggu...
Madi Ar-Ranim
Madi Ar-Ranim Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

"Berkaryalah Selama Anda Masih diberikan Kesempatan untuk Hidup dan Menulislah Selama Anda Masih Menikmati Indahnya Kehidupan"(Madi Ar-Ranim).

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Setetes Air Kehidupan

29 November 2014   15:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:32 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikisahkan pada suatu hari, tinggalah sebuah keluarga yang harmonis namun serba kekurangan. Keluarga yang tinggal di desa terpencil nan jauh dari kota, desa yang terletak di hutan belantara kini hidup dalam tantangan yang menyakitkan. Terlihat indah nan jauh di mata, ketika terlihat hutan ini dari beberapa kilometer, begitu indahnya alam kehidupan ini penuh dengan hamparan hijau yang menyejukan. Tapi, lihatlah dengan kasat mata, sekilas mendekati hutan ini seperti tidak terurus, banyak pohon yang gundul akibat tangan jahil manusia. Disisi lain, tak jauh dari area tersebut, terdapat rumah kumuh yang terbuat dari kayu dan diatapi oleh jerami yang sudah tua. Rumah tersebut telah lama dihuni oleh keluarga yang harmonis namun serba kekurangan.

Sering disebut Geber salah seorang kepala keluarga yang tinggal di hutan belantara, kesehariannya adalah mencangkul ladang supaya tergenangi oleh air. Geber sehabis shalat subuh, ia pergi ke ladang untuk mengalirkan air ke tanaman jagung yang baru saja ditanam. Sebelum Magrib tiba, ia pulang dengan meninggalkan segenang air yang telah terkumpul seharian. Bukan saja untuk mengaliri tanaman jagung, tapi sebanyak satu tangki air tersebut ia bawa untuk dimasak. Begitulah keseharian seorang Geber.

Geber sangat setia terhadap istrinya, sebut saja namanya Riri. Selama Riri ditinggal oleh sang suami tercinta dari pagi hingga petang, Riri selalu setia menemani kedua anaknya yang bernama Anton dan Antony. Mereka kesehariannya membuat alat bor air yang ada di rumahnya. Alat bor tersebut sangatlah sederhana walaupun hidup di era modern seperti ini. Mungkin alat tersebut tak sehebat turbin, alat tersebut hanyalah terbuat dari kayu yang di sayat menggunakan pisau. Sederhananya alat tersebut, tapi dapat menghasilkan pancaran air yang sangat berguna bagi mereka. Sayangnya alat tersebut hanya bertahan selama 12 jam saja, jadi tak heran jika Riri bersama kedua anaknya menghabiskan waktu untuk membuat alat bor demi mendapatkan setetes air.

Kehidupan mereka sungguh sederhana apa adanya, segala sesuatunya bergantung pada alam, makan, minum, bahkan pakaian pun mereka dapat dari alam. Sederhananya mereka begitu kental hingga menumbuhkan keluarga yang harmonis yang penuh dengan kerjasama dan saling tolong-menolong.

Seiring dengan berjalannya waktu, langit-langit yang terus menemani hidup dengan penuh kecerahan, hingga cerahnya menyinari bumi ini semakin panas, bintang dan bulan yang selalu menghibur dengan penuh senyum manisnya. Seperti biasanya setiap habis shalat Subuh, Geber berangkat ke ladang untuk mengaliri air ke tanaman jagung, Sayangnya pagi itu tidak menguntungkan bagi Geber. Tidak seperti biasanya air tidak begitu mengalir deras, mungkin akibat dari musim kemarau. Ketika Geber memeriksa tanaman jagungnya, ia melihat banyak daun-daun yang keriput dan berlubang hingga mati. Selain itu, terlihat tanah-tanah yang kering tak bernyawa tanpa humus, serta pohon-pohon yang berguguran menggugurkan nuansa fatamorgana.

Riri dan kedua anaknya sedang menunggu kedatangan sang suami, berharap kedatangannya membuahkan hasil untuk makan dan minum di hari ini. Begitu juga yang diharapkan oleh Geber supaya pulang nanti sang istri sudah mempersiapkan makan dan minum untuknya. Mereka saling menunggu satu sama lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup, begitu harmonis hubungan keluarga sederhana serba kekurangan ini. Tetapi kekurangan mereka tidak begitu ditunjukan dengan keluhan-keluhan yang tak berarti, justru mereka tambah semangat untuk memperjuangkan hidup, apapun itu, mereka akan tetap melakukan demi memperoleh setetes air sebagai kesuburan hidup keluarga yang harmonis.

Tahun ini mungkin adalah tahun yang tidak menguntungkan bagi mereka, musim yang tidak begitu mereka harapkan, datang-datang menghancurkan segala pengorbanan jiwa. Bumi ini memang berputar mengelilingi matahari, kadang musim panas, kadang musim dingin, begitupun kehidupan ini yang terus berputar mengelilingi nasib, kadang baik dan kadang buruk, itu sudah kehendak Allah SWT. keterbatasan hidup mereka semakin memuncak seiring dengan kemarau yang setia menemaninya.

Demi setetes air untuk menyuburkan kehidupan, sang ayah, Geber pergi ke puncak gunung untuk mencari sumber mata air. Sedangkan sang istri dan kedua anaknya tak berdaya dalam keadaan lemas di rumahnya. Mengorbankan segala raga dan jiwanya, sang ayah terus menaiki bukit hingga keringat sekujur tubuhnya ia tampung dan kemudian ia minum untuk menambah stamina menuju sumber mata air. Sesampainya di sumber mata air, Geber sangat bahagia, ia tak habis pikir langsung saja mengambil air tersebut menggunakan tangki, tak ada waktu lama bagi Geber, ia tidak mempedulikan dirinya sendiri, yang terpenting adalah kehidupan sang istri dan sang anak yang sedang menunggu dalam keadaan tak berdaya di rumah.

Geber berharap istri dan kedua anaknya masih bertahan hidup, ia hanya kuat membawa turun satu tangki air untuk istri dan anaknya. Ketika pertengahan jalan, sekujur tubuh Geber terasa lemas karena kekurangan air ditambah teriknya matahari yang terus menyinari bumi. Akhirnya Geber meminum seperempat bagian air yang ada di dalam tangki tersebut untuk menambah stamina hingga sampai di rumah. Sesampainya di rumah, Geber bersyukur bisa memberikan setetes air untuk istri dan kedua anaknya dan bangga ketika melihat istri dan anaknya dalam keadaan masih hidup. Setelah setetes air dari tangki tersebut diberikan ke istri dan anaknya untuk menyuburkan kehidupannya, tak ada daya dan upaya, sang ayah, Geber meninggal dunia.

Sahabatku yang budiman, cerita tersebut sengaja saya buat untuk menekankan sekaligus mengiatkan kita akan pentingnya setetes air untuk kehidupan ini. Walaupun air terus mengalir tanpa hentinya, tapi coba kita lihat dan rasakan di daerah terpencil nan jauh dari sumber air, mungkin di sana masih banyak orang yang kekurangan air. Bisa jadi saat ini kita kelebihan air atau sudah tercukupi dengan air, tapi ingat bumi ini pasti berputar, mengelilingi nasib kehidupan, tidak selamanya air itu ada untuk kehidupan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun