Mohon tunggu...
Ni Loh Gusti Madewanti
Ni Loh Gusti Madewanti Mohon Tunggu... profesional -

Penulis adalah seorang perempuan dengan dua anak perempuan yang hebat. Hobi bersekolah dan memilih lulus dari program studi Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia. Lari dari Jakarta dan menghabiskan waktu dengan bercumbu pada buku, berdebat dengan angin lalu, dan mengusahakan diri untuk tetap sadar serta mengedepankan akal sehat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menggugat Wakil Bergincu

9 April 2014   14:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:52 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MENGGUGAT WAKIL BERGINCU

NI LOH GUSTI MADEWANTI

Tak sampai beberapa jam lagi, ketika esok sang surya mulai terbit. Kotak-kotak itu mulai mendulang suara para pemilih. 9 April 2014, menjadi sebuah pertaruhan bagi mereka yang dengan bangga menorehkan jiwa raga untuk menjadi wakil kami.

Pun kami mulai bertanya-tanya. Apa dikira kami ini lembu dungu? Yang tak bisa mengetahui mana yang hanya mahir bergincu atau benar berpeluh luruh untuk kami akar rumput? Pun kami mulai gusar. Ketika banyak selebaran mampir ketangan kami penuh warna-warni dan menghembus imagi betapa kami akan berada pada masa yang gilang gemilang ketika suara kami terbeli. Pun kami merasa geli sendiri. Selama ini energi kami habis, dipaksa untuk memelototi ribuan spanduk dan umbul-umbul penuh torehan wajah dan slogan-slogan membahana para wakil rakyat. Padahal tidak pernah lebih sampai 5 detik kami ingat siapa mereka. Pun akhirnya kami merasa ini semua hanya omong kosong. Omong kosong yang selalu berulang-ulang didengungkan. Padahal kami yang menurut mereka bukanlah siapa-siapa dan harus diwakili ketika bicara.

Bagian dari kami, masih melawan. Ada jutaan nasib pekerja rumah tangga di dalam negeri ini maupun di negeri orang. Yang setiap detik ketakutan diperkosa. Yang setiap menit meringis getir menerima sikap kasar tuannya. Yang setiap jam kudu merana, dengan waktu kerja bikin hati manusia sejati binasa. Yang setiap hari menyayat hati, ketika mereka harus memandikan anak-anak majikan, sementara anak-anak mereka sendiri keleleran entah kemana. Yang setiap bulan mengigit bibir karena getir, pundi-pundi hasil jerih payah mereka di-catut oleh sesama. Yang setiap tahun hanya mengisi lembar-lembar berita duka menyakitkan, karena pulang tinggal nama.

Bagian dari kami, masih berjuang. Melahirkan generasi negeri ini di semak-semak belukar tanpa pertolongan yang benar. Rela dimadu demi suami tak terbeban dosa duniawi atau kawin lari. Bekerja keras membanting tulang mulai matahari terbit hingga mata laki-laki terbenam. Pantas diludahi ketika berpenampilan mewujud rok mini atas keinginan asa pribadi. Perlu disakiti ketika kami-pun pada akhirnya tidak sanggup lagi mencintai laki-laki yang pongah dan merubah orientasi merajut asa dengan sesama kaum kami.

Bagian dari kami, masih jengkel setengah mati. Ketika perempuan-perempuan manis itu, serta merta bergembira hati. Saat ketua partai kuning, hijau, biru, putih datang ke ranjang mereka. Menawarkan gincu, pupur dan mewangian yang membahana layaknya mahar kawin mempesona. Mengucap mantera, bahwa mereka adalah bagian dari kami yang paling mengerti. Dan ketika kalian dengan bangga mengumumkan, inilah panggilan hati, menjadi wakil kami adalah jawabannya. Kami yang katanya kalian wakili, tak sampai hati melihat ular berkepala manusia menari-nari dalam dentuman irama gendang panggung bergoyang. Pada sebuah masa memperkenalkan diri.

Begitu kuatkah matera yang diucapkan? Sehingga senyap menyumbat telinga kalian. Tunduk terhadap tirani partai berkuasa. Mencuat terbang karena oplosan janji manis tak terkira. Menggelinjang manja berpeluk-pelukan pada para Jenderal dan Pengusaha yang gila kekuasaan. Kami tak mau, kau wakili. Jika pada masanya kau duduk pada kursi kekuasaan. Hanya mantel beludru dan sepatu hak tinggi bertatar emas yang selalu kau pikirkan. Kami tak mau, kau wakili. Jika pada masanya kau menjadi pialang mahir, lakukan lobby-lobby untuk memuluskan akal bulus penguasa bermental rendahan. Kami menolak kau wakili, jika pada suatu kali nanti kau tak lagi mampu mengingat mana tirani mana hati nurani.

Bagi kalian, wahai perempuan, yang memang sejalan hatinya. Memilih untuk dipilih oleh kaum kami. Didiklah diri kalian sendiri. Hanya dengan pendidikan kita akan tumbuh sebagai suatu bangsa. Dengarkan suara hati yang kau wakili. Kalahkan patriarki kaum tiran. Bangun budaya yang mampu lawan pecundang. Kau harus melawan! Meski ribuan tahun ditindas budaya. Meski tak sanggup melawan dengan kepalan. Meski hanya mendapat bagian peran-peran kecil dipojokan.

Kami ingin menyampaikan, apa kata orang tentang lupa. Lupa adalah bagian dari tradisi bangsa ini yang mewabah tak ada obatnya. Melupakan menjadi bagian nama tengah yang terlihat samar namun terdengar sangat nyaring memilukan. Kami sarankan, rekamlah selalu suara-suara kalian ketika kalian memuntahkan janji pada setiap kata orasi. Simpan baik-baik semua spanduk dan umbul-umbul sebagaimana kalian rasa itu panji-panji kebesaran. Kami inginkan, perhatikan air muka kami lekat-lekat.

Agar kalian terus ingat. Tidak hanya nanti ketika kalian wahai wakilku, berkuasa. Sejak saat ini kamipun telah menggugat.***

Penulis adalah seorang perempuan dengan dua anak perempuan yang hebat. Hobi bersekolah dan memilih lulus dari program studi Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia. Lari dari Jakarta dan menghabiskan waktu dengan bercumbu pada buku, berdebat dengan angin lalu, dan mengusahakan diri untuk tetap sadar serta mengedepankan akal sehat.

Petikan kata bijak dari Dewi Sartika. Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Dewi_Sartika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun