Neither snow, nor rain, nor heat
nor gloom of night stays these
couriers from the swift completion
of their appointed rounds.
Sebuah tulisan menjadi jejak yang terekam. Dalam setiap baris kata. Membangun bangunan kalimat, yang lebar, tinggi dan juga dalam. Tulisan juga menjadi kekuatan. Dimana ingatan menjadi rekaman yang dapat terus diputar ulang. Jejak- jejak itu ditinggalkan dengan tujuan. Bukan tanpa maksud. Sejarah dimulai ketika ada banyak pembawa berita, yang berani, berpetualang melihat setiap inci ujung dunia. Membagikan kebahagiaan dan harapan. Menebarkan sebuah pengejewantahan atas kalimat- kalimat yang mereka susun sendiri. Pembawa berita, tak punya apapun, kecuali dirinya sendiri. Hanya kaki yang kuat untuk berjalan. Bahu yang tegar untuk menopang beban. Ia pergunakan sebaik-baiknya, apa yang telah menjadi amanah tertunjuk oleh Nya. Pembawa berita, adalah instrumen itu sendiri. Ia menjadi penyampai kabar. Harapan. Asa. Cita-cita.
Ketika dibalik gunung maupun lembah. Sungai-sungai yang mengalir sepanjang jalan. Laut yang terbentang seluas cakrawala. Bumi tidak pernah berbohong dalam berkisah cerita. Ada darah disana. Ada air mata mengalir. Ada teriak kelaparan. Ada pilih kasih ilmu pengetahuan. Ada siksa cibir diantara sesama.
Rutuk menjadi obat yang mujarab. Bagi mereka yang mengaku tanpa malu-malu menjadi bagian dari barisan sakit hati. Kecaman lebih mudah dilakukan. Ketimbang menyusun daya untuk bergerak. Ah, tidak. Mereka bagian-bagian dari benih tirani. Yang lebih memilih mengecam gelap. Daripada mencoba menebar cahaya.
Once more into the breach, dear friends, once more.Â
Or close the wall with our dead.Â
In peace nothing so becomes a man as modesty and humility.Â
But when the blast of war blows in our ears,Â
then imitate the action of the tiger.
Banyak kabar yang telah beredar. Perang telah dimulai. Ya. Perang telah menjadikan setiap manusia kehilangan kemanusiaannya sendiri. Kami, menjadi lupa bagaimana sikap sesama. Menjadi egois seperti binatang buas. Yang tega memangsa kawanannya sendiri. Sudah lama kami lebih fasih merutuki bagian dari diri kami sendiri.
Jika ini memang perang. O, tuan. Pada sebenar- benarnya, kami telah bosan merutuk. Kami telah bosan picik berhati sempit. Sisa- sisa daya yang kami miliki O, tuan. Biarkan ia menjadi penguat sebuah gerakan.
Tetapi, dimana sang pembawa berita?
Ia masih berteman dengan tas di bahunya. Membawa tanggung jawab yang tak terlihat, namun teramat berat. Menjalin sebuah silahturahmi dengan sisa daya yang berhasil dihimpun berhari-hari lamanya. O tuan, aku ingat. Pada sebuah sejarah, legenda menyebutkan De Ja Vu. Sang pembawa berita adalah bagian dari diri kami sendiri. Ia gasing yang bergerak terus menerus. Sebuah spektrum yang dikuatkan oleh daya disekitarnya. Namun, aku yakin, daya pada gasing mempunya masa. Waktu tidak pernah berpihak pada siapapun.
Ayo tuan, daya ini tak akan lama. Jikalau pun berperang, gunakanlah logika budaya dimana perang itu berada. Gasing berputar dalam medium datar. Ciptakan sistem medium datar yang lebih dan lebih luas lagi. Pada gerakan yang ia timbulkan. Ada kalanya goresan pada tanah yang ia ciptakan sendiri. Menjadi tanda yang mampu dibaca oleh sang pembawa berita lainnya
I challenge for leadership of the clan!
Apakah Kau, wahai sahabat. Pembawa berita, sama seperti Aku? ***
Bandung, 19 Maret 2014.
*) Bagian dari narasi dalam bahasa Inggris, dikutip dengan sengaja dari The Postman Movie, 1997.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H