Mohon tunggu...
Made SantiWulandari
Made SantiWulandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

STAH N MPU KUTURAN SINGARAJA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Unik Budaya Agraris, Ngusaba Bukakak Desa Sudaji

24 Juli 2022   17:47 Diperbarui: 24 Juli 2022   17:58 1803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prosesi Pengarakan Bukakak/dokpri

Desa Sudaji merupakan desa yang bertempat di kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, Bali. Desa Sudaji menjaga budaya agraris yang diturun-temurunkan oleh pendiri Desa. 

Budaya Agraris adalah suatu kebudayaan yang hidup dimana masyarakatnya mempunyai pertanian sebagai mata pencaharian pokoknya. dan mayoritas penduduknya merupakan seorang petani. Desa Sudaji ini memiliki berbagai macam adat istiadat atau tradisi yang sangat kental akan kebudayaan yang berhubungan dengan hal-hal niskala (bersifat sakral/mistis).

Ribuan warga desa setempat melaksanakan dan menyaksikan Ngusaba Bukakak. Warga desa berkumpul di Pura Bale Agung Desa Pakraman Sudaji untuk melaksanakan proses awal sebelum dimulainya pengarakan. Bukakak merupakan sebuah tradisi yang dilaksanakan setiap Purnama Sasih Karo.

Menurut Pak Made (46), bukakak ini sebagai bentuk penghormatan dan rasa terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Dewi Sri atas berkah dan panen yang berlimpah.

"Pelaksanaan Ngusaba Bukakak ini sudah ada sejak dahulu atau pada zaman nenek moyang sejak turun-temurun. Tradisi ini memang harus dilaksanakan oleh krama desa adat Sudaji karena sudah menjadi tradisi dan harus tetap dilestarikan. Banyak prosesi yang dilakukan sebelum prosesi Ngusaba Bukakak ini." Ujar Pak Made, penduduk asli Desa Sudaji.

Krama Desa Sudaji selalu menjalankan atau melaksanakan Ngusaba Bukakak ini dan tidak pernah terlewatkan, kecuali waktu adanya virus covid-19 yang menyerang Indonesia bahkan sampai seluruh dunia. Tahun ini pelaksanaan dari adanya Ngusaba Bukakak dilaksanakan pada hari Jumat, 15 Juli 2022, sekitar jam 20.00 WITA yang bertepatan dengan serangkaian acara Pujawali di Pura Desa Sudaji.

Salah satu pemuda asal Desa Sudaji sekaligus masyarakat yang menyaksikan prosesi pengarakan, Gede Yudha (23) mengatakan upacara Bukakak ini menggunakan babi yang berbulu hitam, dan tidak boleh ada belangnya. 

Dimana Babi yang digunakan tersebut digiring atau dibawa dulu ke Pura Desa untuk di upacarai dan memohon berkah kepada Ida Betara/ Ida Sang Hyang Widhi pada sore hari saat Upacara Merejang (upacara penyambutan). Upacara Merejang ialah upacara yang memutari atau mengelilingi Pura Desa yang diselenggarakan pada terakhir puncak upacara Pujawali.

"Terdapat berbagai prosesi upacara yang dilakukan sebelum puncak upacara Ngusaba Bukakak ini. Dahulu menurut cerita para leluhur, bahwa pernah sekali tidak dilaksanakan dan para petani di Desa Sudaji mengalami gagal panen, sehingga para leluhur Kembali melaksanakan Ngusaba Bukakak ini," ujar Gede Yudha, pada saat diwawancari oleh wulan.

Prosesi sebelum pengarakan Bukakak pada Siang hari, krama Subak membawa tumpeng dari Subak Dukuh Gede (Pura Mas Pahit), lalu  ke Pura Desa dalam bentuk rasa syukur dari hasil panen yang melimpah. Tumpeng atau lempagan ini terbuat dari beras pilihan yang biasanya terbuat dari beras bali sudaji yang memiliki ciri khas putih dan utuh serta rasanya yang enak.

Setelah prosesi membawa tumpeng tersebut, Babi yang sudah disembelih dan dipanggang pada bagian dada,yang bagian kepala dan Sebagian badannya tidak dipanggang (diguling) yang dimana babi tersebut dipanggang setengah matang, yakni mentah pada bagian punggung dan hanya matang pada bagian badan saja. 

Bukakak yang dipanggang di Pura Subak disebut Bukakak alit (kecil), sedangkan Bukakak yang dipanggang di Pura Bale Agung disebut Bukakak Agung (besar). 

Ketika babi tersebut  sudah di panggang atau diguling, kemudian babi diikatkan pada usungan bambu yang sebelumnya sudah dibentuk oleh krama desa agar bisa diangkat pada saat proses pengarakannya. 

Babi yang sudah dipanggang atau diguling yang akan dipergunakan sebagai Bukakak tersebut dihias badannya dengan kain putih dan kepalanya dihias menggunakan bunga serta dupa, lantas diarak Akan dilaksanakan proses pengarakan oleh para pemuda dan krama desa setempat pada malam hari Terdapat dua bukakak, yang pertama dari Subak Dukuh Gede, kemudian menjemput (mendak) bukakak Agung dari Pura Bale Agung Desa Sudaji. Proses pengarakan ini sebagai bentuk kegembiraan dalam melangsungkan prosesi tersebut.

Hal ini dilakukan oleh para pemuda yang bersuka cita untuk mengadu secara bersama-sama dengan menggotong atau mengangkat Bukakak tersebut saat malam hari. 

Ketika bukakak sudah siap diadu, karma desa menyiapkan daun kelapa kering atau disebut dengan danyuh yang kemudian dibakar dan dipukulkan di Bukakak sehingga menimbulkan percikan api. 

Apalagi dilaksanakan saat malam hari, maka percikan api tersebut menciptakan cahaya yang menakjubkan sehingga semakin menegaskan kesan magis atau mistisnya saat adu Bukakak berlangsung. 

Bahkan, para pengusung (pengarak) Bukakak mengalami karauhan (kerasukan). Sehingga, percikan api yang kena di badan pengusung tersebut tidak merasakan panas saat terkena api. Upacara atau tradisi ini tidak boleh sembarangan untuk dilaksanakan dan harus sesuai dengan ketentuan upacara yang disakralkan tersebut

"Kedua bukakak ini diarak menuju catur patra Desa Sudaji yang mempunyai harapan kegembiraan,kehidupan Kembali, dan rasa wujud syukur dari hasil pertanian melimpah,", ujar Gede Yudha.

Setelah prosesi pengarakan, bukakak tersebut dibawa ke Pura Mas Pahit untuk dilakukannya pengolahan pada daging babi yang digunakan tersebut. Pengolahan pada daging babi tersebut, biasanya dibuat semacam lawar yang dimana keseluruhan daging di cincang dan ditambah bumbu khas Bali (bumbu Rajang).

"Memang benar dibuat olahan lawar, yang mana diberikan (nunas paica) kepada para pengusung Bukakak", ujar Pak Made secara lugas.

Dengan hal ini, tradisi bukakak harus benar-benar dijaga kelestariannya dan harus tetap dilaksanakan. Selain untuk memohon rasa terima kasih, juga menjadi kelestarian budaya dan adat istiadat desa setempat. |SW|

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun