[caption caption="Mpu Jaya Prema"][/caption]
Sejak kemarin, Bali digegerkan tulisan seorang anak muda bernama I Wayan Wilyana di laman Balebengong.net berjudul “Surat Terbuka untuk Yang Mulia Mpu Jaya Prema” yang hingga tulisan ini dibuat paling tidak sudah dishare di twitter 135 kali dan facebook 385 kali. Tulisan ini bermula dari munculnya berita di media online berjudul “Peserta Kongres PHDI sepakat Teluk Benoa Direvitalisasi” yang memuat pernyataan Ketua Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, I Ketut Wiana bahwa Kongres PHDI menyepakati kawasan Teluk Benoa perlu direvitalisasi. Kesepakatan itu, selanjutnya akan dibahas di Kongres PHDI untuk disahkan menjadi hasil rekomendasi.
Tulisan Wayan Wilyana kemudian menyoroti pendapat Mpu Jaya Prema yang dalam tulisannya “Parisada Hindu dan Teluk Benoa” yang dalam pemahaman Wayan, Mpu Jaya Prema menyatakan bahwa berita itu hanyalah pernyataan pribadi dari pengurus harian PHDI.
Selain itu, ada pernyataan yang menyebutkan pihak luar yang mencoba mengadu domba orang Bali. Menurut Wayan, yang menyulut kemarahan itu adalah pengurus harian PHDI yang secara gamblang menyatakan dukungan kepada proyek Teluk Benoa dan memamerkannya di berita online.
Secara umum, tulisan yang disebut sebagai ‘surat terbuka’ ini bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan. Bagi saya, sampai di situ, ini adalah diskusi yang sehat sesama umat Hindu, dan di dalamnya terdapat konteks yang sedang ramai diperbincangkan di Bali saat ini, yakni soal rencana revitalisasi Teluk Benoa. Meski dalam beberapa bagian tulisan itu, tulisan Wayan Wilyana ini agak ‘kurang ajar’ dan terkesan menggurui Mpu Jaya Prema.
Sebagai informasi, Mpu Jaya Prema tak lain dari Putu Setia, mantan jurnalis Tempo sekaligus juga satrawan yang menulis buku trilogi : Menggugat Bali, Mendebat Bali, dan Bali yang Meradang serta beberapa karya sastra seperti kumpulan cerpen Intel dari Comberan. Putu Setia kemudian menjadi pendeta Hindu tahun 2009 dan tinggal di Tabanan, Bali.
Tulisan itu lantas dibaca para penolak revitalisasi Teluk Benoa sebagai gugatan terhadap Mpu Jaya Prema yang dianggap mendukung proyek itu. Mpu Jaya Prema lalu dibuli habis-habisan di media sosial. Apalagi sebagai mantan wartawan –yang saya yakin nurani kewartawanannya nggak bakalan hilang—Mpu Jaya Prema aktif di dunia maya, membagi pemahamannya soal keagamaan dan kehidupan sosial lewat media sosial seperti twitter dan facebook, juga sebuah di www.mpujayaprema.com yang dikelolanya.
Bullying dalam media sosial akhir-akhir ini memang sudah sangat berlebihan, dan tak kenal siapa korbannya. Bahkan, seorang pemimpin agama seperti Mpu Jaya Prema sekalipun. Salah satu yang getol membully adalah Rudolf Dethu, manajer band Superman Is Dead (SID) yang pentolannya Jerinx adalah penolak rencana revitalisasi Teluk Benoa. Beberapa kicauan Rudolf Dethu di @rudolfdethu menurut saya sudah keterlaluan, karena bukan hanya menyerang pribadi Mpu Jaya Prema, tapi juga sudah melecehkan PHDI yang merupakan representasi umat Hindu di Indonesia. Lihat kutipan berikut:
[caption caption="Pelecehan PHDI"]
Jerinx dan para penggemar SID dari berbagai pelosok negeri, yang tak paham permasalahan, ikut-ikutan membully Mpu Jaya Prema, dan secara tidak langsung juga ikut "melecehkan" umat Hindu Bali:
[caption caption="Serangan ke pribadi"]