Mohon tunggu...
Made Nopen Supriadi
Made Nopen Supriadi Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan Penulis

Lahir di Sebelat, 09 November 1989. Saat ini melayani di Sekolah Tinggi Teologi Arastamar Bengkulu (STTAB). Menyelesaikan studi S-1 Teologi (S.Th) di STT Ebenhaezer, Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Saat ini sedang menempuh studi Magister Teologi (M.Th) konsentrasi Biblical Reformed Theology di STT SETIA Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hidup Dalam "Kenormalan Baru": Sebuah Perenungan Filosofis (4)

21 Mei 2020   11:16 Diperbarui: 21 Mei 2020   11:41 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan manusia adalah sebuah perjalanan sejarah yang linear. Artinya sejarah kehidupan manusia berupa sebuah garis lurus. Namun kehidupan manusia tidak hanya linear tetapi juga progressive. Artinya sejarah kehidupan manusia tidak hanya berupa sebuah garis lurus tetapi juga semakin memuncak dan meningkat. Dengan demikian jika kita berpikir dalam segi kelinearan dan progressifitas maka kehidupan manusia akan semakin memunculkan hal yang baru. Namun meskipun demikian sekalipun linear, kita masih bisa melihat pola-pola yang sama terjadi kembali dalam kehidupan manusia. Untuk lebih jelas saya akan memberikan sebuah contoh: pada abad pertengahan di Eropa pernah terjadi wabah yang membunuh jutaan penduduk Eropa, dan sekarang muncul lagi serangan wabah yaitu covid-19 yang menyerang Eropa. Hal tersebut menunjukkan sekalipun sejarah kehidupan bergerak maju tetapi terkadang pola yang sama tetap terjadi. Sebagai contoh: Perang dalam kehidupan manusia sering terjadi dengan peralatan seadanya, bahkan pada tahun 1900-an perang itu kembali terjadi dengan senjata mesin, pada masa kini juga masih ada perang yang terjadi bahkan berpotensi perang nuklir. Contoh kedua menunjukkan bahwa sekalipun sejarah kehidupan manusia bergerak maju dan mengalami peningkatan, namun pola yang sama tetap terjadi yaitu perang. 

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari yang namanya pertemuan antara 'tesis' dan 'antitesis' yang memunculkan 'sintesis' atau tesis baru. Secara sederhana saya akan memberikan contoh: ketika suami punya pendapat (tesis 1): "Hari ini kita makan Pizza!", lalu istri tidak setuju dengan pendapat suami (anti tesis): "Tidak, hari ini kita makan nasi goreng!" , maka untuk mencari solusinya perlu dipertemukan, setelah suami dan istri tersebut berdiskusi maka ada keputusan bersama (Sintesis), yaitu: "Hari ini kita makan Pizza Goreng!." Pertemuan antara pendapat 1 dan pendapat 2 akan menghasilkan pendapat 3. Apakah pendapat itu setuju atau tidak setuju. Demikianlah juga yang menggerakkan sejarah dunia ini. Kalau kita melihat sejarah dunia ini bergerak karena adanya diskusi. Contoh: pada era pramodern manusia lebih fokus kepada hal subyektif yaitu perasaan beragama, semakin hari manusia berdiskusi tentang kemajuan dengan rasio maka lahirlah era modern. Tetapi pada era modern, manusia diskusi kembali ternyata rasio tanpa agama itu bahaya maka muncullah era postmodern. Jadi kita sebenarnya tidak usah takut dengan namanya diskusi, karena di dalam diskusi bisa jadi kita mendapatkan manfaat positif yang memberikan perubahan dan pembaharuan. Meskipun ada fakta diskusi yang bisa menimbulkan konflik. Tetapi meskipun sebuah diskusi menjurus kepada hal positif atau negatif tetaplah terjadi yang namanya pembaharuan. 

Demikian juga pada masa saat ini. Wabah coronavirus disease 2019 (covid -19) telah memulai sebuah diskusi dengan kehidupan manusia. Diskusi itu terjadi dari pihak manusia yang adalah makhluk sosial (zoon politicon), bertemu dengan covid-19 yang juga memiliki semangat bersosialisasi. Manusia dan covid-19 bertemu, ternyata hasil pertemuan lebih banyak merugikan manusia. Sehingga manusia menentukan sikap kepada covid-19 agar jangan ikut bersosialisasi. Namun karena covid-19 tidak menerima pendapat manusia, maka manusia mengalah untuk menjauhi covid-19. Manusia stay at home, physical distancing, memakai masker dan handsanitizer. Meskipun demikian sanga virus tetap mau mencari manusia dan bersosialisasi. Kondisi demikian membuat hidup manusia menjadi terganggu dan mempengaruhi normalitas sosialisasi manusia. Karena manusia menunggu kapan si covid-19 ini menjauhi mereka, namun setelah berbulan-bulan tidak juga terjadi, maka manusia merasakan ada sesuatu kebiasaan yang baru, rapat dengan aplikasi, belajar di rumah dengan aplikasi, kerja di rumah dengan aplikasi, belanja dengan aplikasi dan semua hampir merubah pola sosialisasi manusia. Nah... kondisi inilah yang disebut dengan "Hidup dalam ke-NORMAL-an BARU." Pada awalnya manusia susah untuk tidak bersosialisasi, namun karena sudah terjadi sampai beberapa bulan manusia mulai terbiasa dengan pola hidup baru. Manusia sudah mulai menerima ketidaknormalan. Nah ketika manusia pada level sudah menerima ketidaknormalan, maka disitulah manusia berada pada titik hidup dalam Normal Baru. 

Dalam pemikiran spiritualitas Kristen prinsip "Normal Baru" sudah digambarkan. Hal tersebut bisa kita lihat dalam kehidupan Para Murid Yesus, mereka hidup dalam ketidaknormalan pada waktu bersama Yesus. Ketidaknormalan tersebut menunjuk kepada ketidaknormalan dalam melakukan Hukum Taurat, pada umumnya manusia saat itu melakukan hukum Taurat sesuai tradisi, yaitu kalau makan wajib cuci tangan kalau tidak itu najis. Tetapi Yesus memberikan sebuah pemahaman bahwa yang membuat najis itu bukan apa yang masuk ke dalam mulut yang dimakan memakai tangan yang tidak dicuci, tetapi yang menajiskan itu apa yang keluar dari mulut yaitu kata-kata yang berbohong, dusta, fitnah dan kata-kata kotor. Itu adalah sebuah pemahaman baru bagi para Murid yang membawa mereka pada hidup tidak normal atau tidak sama dengan tradisi. Pada waktu mereka sudah menerima ketidaknormalan itu maka mereka sudah masuk dalam titik hidup dalam Normal Baru. 

Jadi demikian hidup kita, jika kita pernah hidup dalam dosa, lalu kita bertobat dari dosa dan menjalani gaya hidup yang berbeda dari hidup yang berdosa. Maka itu sama artinya kita sudah memasuki hidup dalam situasi Normal Baru. Justru normal baru ini kita dapat maknai secara positif, yaitu berubah dari yang jahat menjadi baik. Tetapi jangan sampai istilah normal baru ini kita alami negatif, dari yang baik menjadi jahat. Wah!. itu bahaya. Sehingga kalau keluarga, masyarakat dan bangsa Indonesia memasuki normal baru yang postif itu justru baik. Sehingga dari keluarga yang sukab melakukan  KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) menjadi keluarga yang menunjukkan KDRT (Kasih Dalam Rumah Tangga). Dari masyarakat yang intoleran menjadi masyarakat yang toleran, dari pemikiran yang terserah menjadi pemikiran yang peduli. dari bangsa yang mungkin saling menuding karena masalah Covid-19 menjadi bangsa yang saling merangkul dan bahu membahu dalam menangani covid-19. Sekian perenungan dari saaya. Selamat meamsuki Era NORMAL BARU yang Positif. All glory to the Lord alone.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun