Transportasi Massal Jakarta: Kapan?
Pesawat TigerAir Mandala pun tinggal landas dari Bandara Suvarnabhumi Bangkok Thailand. Berakhir pulalah jalan-jalan cap ransel saya dan istri saya di tahun 2014 ini.
Ya, ini adalah kali ketiga kami jalan-jalan menjadi backpackers berkelana ke negeri-negeri tetangga kita. Dimulai pada bulan April 2011, ketika saya dan istri saya melakukan perjalan ke Singapura dan Malaysia. Menyenangkan sekali. Itu adalah saat pertama istri saya bepergian dengan pesawat udara sekaligus mengunjungi negara lain.
Setelah itu kami menjadi seperti ketagihan. Setelah mengumpulkan uang sekian bulan, kami pun kembali jalan-jalan di penghujung tahun 2013, tepatnya di bulan November. Singapura kembali menjadi tujuan kami. Walaupun tujuan kami adalah negara yang pernah kami kunjungi sebelumnya, ada hal yang berbeda dalam perjalanan kami kali ini. Benar sekali. Kami membawa serta anak-anak perempuan kami. Bukan main gembiranya kami semua, terutama dua gadis kecil kami. Itu adalah pertama kalinya mereka terbang dengan pesawat udara dan langsung menginjakkan kaki di negeriorang.
Mungkin bagi sebagian dari Anda, yang sudi membaca tulisan saya ini, mempunyai kesan pertama yang berbeda. Ya, saya akui bahwa kami agak sedikit norak. Cuma ke luar negeri, dekat pula, koq ya digembar-gemborkan. Dipajang di Kompasiana lagi.
Perlu saya sampaikan di sini bahwa bagi saya dan istri saya yang berpenghasilan pas-pasan pergi jalan-jalan adalah suatu kemewahan dan sebuah pencapaian prestasi. Saya sangat bahagia – dan juga bangga – bisa membawa anak-anak dan istri saya menjelajah dunia baru walaupun dengan budget yang amat ngirit hehehe.. Well, thanks to those low-cost carriers and cheap hostels and hotels!
Anyhow, bukan ini juga sih yang ingin saya tulis di sini. Saya tidak sedang menulis how to travel cheap with your kids and wife lengkap dengan tips and tricks. Saya ingin menulis apa yang saya sangat nikmati dalam perjalanan ke tiga negara tetangga ASEAN kita, yaitu sistem transportasi massal mereka. Ini adalah saya.
Transportasi Massal Ibukota Negera-negara Tetangga
Saya mulai dengan Singapura. Negeri ini patut berbangga dengan sistem transportasi massal dan cepat mereka. Rangkaian gerbong Mass Rapid Transport (MRT) dan armada bus kota yang nyaman, aman, dan dapat diandalkan bisa dinikmati dengan murah oleh masyarakat luas. Saya tidak punya data akurat tentang seberapa cepat perkembangan moda transportasi massal negeri singa ini. Namun dari beberapa kunjungan saya pribadi sebelumnya saya bisa lihat perbedaan yang sangat nyata, baik dalam segi jumlah stasiun atau halte, jalur kereta atau bus,luas jangkauan layanan, lengkap dengan jumlah armadanya. Yang terakhir ini berhubungan erat dengan frekuensi kedatangan dan keberangkatan angkutan umum mereka. Hampir tidak ada sudut di negeri ini yang tidak bisa diakses dengan transportasi umum massal non taksi. Ke Johor Bahru di wilayah Malaysia pun bisa dengan hanya naik bus kota via Woodlands, lantas menyebrang jembatan Selat Johor.
Luar biasa. Betapa kami bisa menghemat banyak waktu, tenaga dan jelasbiaya dengan menggunakan kereta bawah tanah, bus tingkat dan bus reguler mereka. Stasiun kereta dan halte bus mereka pun sangat indah dan bersih. Sama sekali tidak kami lihat sampah di sana. Stasiun kereta bawah tanah terpadu seperti Dhoby Ghout Interchange pun membuat saya berdecak kagum dan melotot melihat dahsyatnya struktur rancang bangunnya. Bagaimana tidak, stasiun itu bertingkat tiga ke bawah tanah. Itu pun bila lobi utama yang sebenarnya memang sudah ada di dalam tanah dihitung sebagai awal ukurnya. Edan tenan. Top markotop.
Kemudian Kuala Lumpur Malaysia. Negeri yang dulu rakyatnya kita ledekin orang kampungan karena bahasanya yang mirip dengan Bahasa Indonesia tapi versi anehnya, dan juga karena selera berbusana mereka yang (menurut kita) ajaib, ternyata jauh lebih canggih dibandingkan kita dalam sistem transportasi massal mereka. Kereta api, kereta listrik Light Rapid Transport (LRT), kereta bawah tanah, monorail, kereta cepat, bus kota reguler dan tingkat, semua mereka punya. Yang lebih mencengangkan adalah semua moda yang barusan saya sebutkan itu terintegrasi dan saling terkoneksi satu sama lainnya. Murah, cepat, aman, nyaman, dan mudah untuk dijangkau.
Waktu itu saya dan istri tiba di stasiun KL Sentral dari Singapura dengan menggunakan Kereta Tambang Melayu (KTM) malam yang berangkat dari stasiun Tanjong Pagar Singapura. Stasiun ini sekilas mirip sekali dengan Stasiun Kereta Api Gambir di Jakarta Pusat. Namun perbedaannya adalah moda transportasi yang mangkal di situ. Stasiun KL Sentral merupakan hub atau corong penghubung utama transportasi di kota Kuala Lumpur. Dari situ kita bisa pusing-pusing (baca: jalan-jalan) Malaysia dengan murah, nyaman, dan aman ke seluruh penjuru kota dan Semenanjung Malaya plus Singapura dan Thailand. Mau ke bandara juga gampang. Ada KLIA Express yang bisa membawa kita dari dowtown KL ke KL International Airport dengan cepat tanpa macet atau terhambat karena jalan tergenang banjir. Mantap kan?
Terakhir Bangkok Thailand. Di ibukota negeri Raja Bhumibol Adulyadej yang amat dihormati, dicintai, disayangi, dan dijunjung tinggi oleh rakyat dan siapapun penguasa pemerintahannya ini, saya menemukan hal yang baru dalam moda transportasi massal, yaitu kereta atas tanah Bangkok yang berjalan di dua jalur yang bertumpukan. Ya, pemerintah Thailand telah membangun jalur kereta dan stasiun setinggi 3 tingkat. Tingkat pertama dihitung dari jalan raya adalah stasiun merangkap jembatan penyebrangan, tingkat kedua adalah jalur kereta ke suatu arah, dan tingkat ketiga adalah jalur kereta ke arah sebaliknya. Di beberapa titik terdapat interchange yang menghubungkan dua jalur atau lebih atau dua moda transportasi atau lebih. Contohnya adalah stasiun BTS Asok dan stasiun MRT Sukhumvit. Nyaman sekali. Hanya dengan berjalan beberapa puluh meter, kita dapat berganti moda transportasi yang siap mengantar kita ke tempat tujuan kita.
Selain kereta bawah dan atas tanah serta bus kota, Bangkok patut berbangga dengan moda transportasi sungai mereka. Kapal (atau perahu?) cepat dan wisata di sungai Chao Phraya ini merupakan andalan masyarakat luas. Bagaimana tidak? Terintegrasi dengan sistem transportasi massal lainnya seperti BTS dan MRT, Chao Phraya River Express siap mengantar kita ke tujuan-tujuan yang terletak di pinggir sungai Chao Phraya. Grand Palace, Wat Pho, dan Wat Arun contohnya. Ya, jalur BTS dan MRT mereka memang belum sampai ke tempat-tempat tersebut, tapi paling tidak ada moda transportasi massal andalan selain bus kota. Lagi pula moda angkutan sungai ini merupakan warisan dari peradaban Thailand tempo dulu. Pemerintah Thailand dan kota Bangkok dengan serius menata, memelihara dan memperbarui sistem transportasi air massal ini. Anda pernah mencoba berperahu di sungai Chao Phraya? Sungguh sangat menakjubkan sensasinya!
Nasib Transportasi Massal Ibukota Kita
Nah, bagaimana dengan ibukota kita Jakarta? Yah, saya tidak bisa bilang bahwa tidak ada perubahan dalam tata transportasi massalnya. Tapi koq ya rasanya perubahannya cuma segitu-gitunya. Tidak ada perubahan revolusioner dan fundamental dalam cara pengelolaan transportasi massal cepat untuk masyarakat luas. Perubahan yang kentara adalah adanya bus Transjakarta yang melayani belasan koridor di seluruh penjuru kota. Bus sungai tidak terdengar lagi kabarnya. Bagaimana dengan proyek MRT dan monorail? Mohon maaf, menurut saya proyek itu seperti jalan di tempat. Mandek dan mulur terus pengerjaannya. Macam siput, mungkin kata orang Medan. Heran banget.
Nyaman belum. Aman ya kadang-kadang. Cepat ya mudah-mudahan. Apalagi diandalkan, ke laut aje sono. Sampai kapan transportasi massal ibukota mau seperti begini?
Apa yang harus dilakukan?
Menurut hemat saya ada beberapa hal yang harus segera dibenahi untuk mempercepat pembangunan dan pengembangan sistem transportasi massal cepat di Jakarta. Pertama adalah hentikan membuat alasan atau excuses. Seperti kita ketahui pemerintah pusat dan pemerintah provinsiDKI Jakarta kerap kali berdalih terkait dengan tuntutan akan kehadiran segera MRT dan monorail. Ya pembebasan lahan yang sulit lah, ya perizinan yang terkendala peraturan lah, ya struktur tanah di Jakarta yang labil lah, sampai biaya yang tidak mampu ditanggung sendiri baik oleh pemprov DKI atau patungan dengan pemerintah pusat.
Berbicara tentang pembebasan lahan, coba tolong beri tahu saya mana yang lebih mahal, harga tanah di Jakarta atau harga tanah di Singapura? Jelas di Singapura. Tapi koq pemerintah Singapura bisa beli tanah tersebut? Kalau alasannya struktur tanah Jakarta yang labil, mana yang lebih labil, struktur tanah di Jakarta atau struktur tanah di Singapura atau Bangkok? Jelas di Singapura dan Bangkok, karena banyak daerah di Singapura yang merupakan daerah reklamasi pasir laut, sedangkan di Bangkok sebagian wilayahnya merupakan daerah aliran sungai Chao Phraya yang tanahnya berlumpur. Kalau alasannya biaya yang mahal, tidak usah kuatir. Pasti banyak negara kaya yang mau bantu pinjamkan uangnya. Proyek transportasi massal di Thailand dan Malaysia juga dibantu negara asing. Jangan takut tidak mampu kembalikan utangnya. Toh utang ini dipakai untuk membangun sistem transportasi massal yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas masyarakat ibukota.
Hal kedua yang perlu dibenahi adalah hentikan budaya “wani piro”. Politik transaksional dan budaya korupsi di negeri kita memang sudah sangat parah dan mendarah daging. Proyek digarap kalau ada fee yang dianggap cocok. Penunjukan kontraktor pelaksanaan proyek penuh dengan kongkalikong. Kalau pun ada tender terbuka, itu cuma pura-pura belaka. Biar kelihatan serius dan transparan. Padahal UUD. Ujung-ujungnya duit.
Sekarang saya tanya. Pejabat di Thailand, Malaysia dan Singapura memang tidak butuh uang? Ya jelas butuh dong. Tapi umumnya mereka ya puas dengan gaji yang mereka terima per bulannya plus tunjangan-tunjangan yang termasuk dalam paket remunerasi yang mereka dapatkan. Tidak ada keinginan untuk memperkaya diri sendiri, yang kalau dalam istilah Basa Sundanya adalah keinginan berjangka. “Jang ka imah, jang ka mobil”, dst. (untuk rumah, untuk mobil: penulis). Keinginan untuk merampok uang negara ini mungkin disebabkan oleh modal yang mereka keluarkan untuk sampai ke posisi atau jabatan mereka. Sudah menjadi rahasia bersama bahwa untuk menjabat di posisi strategis atau “basah” atau mendapatkan suatu proyek seseorang harus menginvestasikan modal sekian rupiah. Jelas sudah, ketika orang tersebut menjabat atau menang proyek, prioritas utamanya adalah mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Ketika sampai pada break-even point pun ini (maling duit rakyat) tidak berhenti. Ya masak cuma balik modal, untungnya ‘kan belum..
Hal ketiga yang perlu mendapatkan penanganan serius adalah stop menunda-tunda. Kemacetan lalu lintas yang gila di Jakarta ini adalah bukti nyata kebiasaan menunda pemerintah provinsi DKI dan pemerintah pusat. Seharusnya dua level pemerintahan ini sudah bersinergi sejak dekade 80-an atau 30 tahun yang lalu dalam merumuskan langkah-langkah strategis dan segera untuk mempersiapkan sistem transportasi massal cepat yang menghubungkan ibukota dengan daerah-daerah penyangga di sekitarnya. Seharusnya proyek MRT, monorail dan busway itu sudah selesai dibangun pada awal milenium baru, sehingga di dekade 2010-an ini pemprov dan pempus hanya tinggal mengembangkannya.
Singapura mulai mengembangkan sistem transportasi massal terpadunya di dekade 1980-an. Hasil pembangunan awalnya sudah bisa dinikmati rakyatnya di awal 1990-an. Sekarang berjalan-jalanlah Anda ke sana. Anda tidak akan perlu naik mobil sendiri bahkan menyewa taksi untuk pergi dari satu sudut ke sudut lain di negara pulau ini hanya untuk bepergian dengan aman, nyaman, serta cepat. Kecuali jika Anda memang tamu terhormat negara atau super kaya raya yang menyebabkan Anda turun derajatnya bila berbagi moda transportasi umum dengan orang kebanyakan. Hanya Anda yang terlalu malas untuk membaca arah tujuan dan super enggan untuk berjalan kaki naik turun tangga dan eskalator yang tidak mau naik MRT di Singapura.
Hal keempat adalah hentikan mengumbar janji-janji palsu bahwa Anda akan membenahi transportasi umum ibukota bila Anda terpilih jadi penguasa provinsi atau penguasa negara. Pengalaman membuktikan bahwa dari mulai Gubernur DKI jaman dahulu sampai yang sekarang, dari mulai Presiden RI yang lama sampai yang sekarang, belum ada yang mampu merumuskan strategi dan melaksanakan program pembangunan dan pembenahan sarana dan prasarana transportasi umum ibukota. Gilanya, isu pembangunan dan pembenahan transportasi umum massal ini menjadi komoditi utama bahan kampanye pemilihan kepala DKI Jakarta. Tapi ketika dipilih, janji-janji tersebut terlupakan. Kalau pun dilaksanakan, ya dilaksanakan dengan sangat lamban.
Ketika Thailand memutuskan untuk membuat bandara baru yang terletak kurang lebih 25km di luar kota Bangkok dan yang kemudian mereka namakan Suvarnabhumi untuk menggantikan bandara lama mereka Don Mueang, mereka langsung berembuk untuk merumuskan bagaimana caranya membawa para penumpang dari dan ke bandara baru tersebut. Mereka bukan hanya membangun jalan raya bebas hambatan, namun juga jalur kereta api cepat dari Bangkok yang terintegrasi dengan moda transportasi darat dan air (sungai) massal internal ibukota. Akses keluar dan masuk bandara pun begitu nyamannya. Tanpa macet di tol, tanpa antre di pintu masuk dan keluar area parkir mobil dan titik drop-off penumpang, dan tanpa saling sikut dan klakson rebutan tempat parkir seperti di bandar udara kita Sukarno Hatta Jakarta.
Hal kelima adalah khusus bagi penguasa republik ini. Coba tolong Anda yang terhormat dan mengaku dipilih rakyat luas berhenti untuk membuat kebijakan yang selalu menguntungkan investor asing. Kebijakan yangsaya maksud di sini adalah kebijakan mobil murah. Produsen mobil asing tentu senang mobil-mobilnya laku terjual. Anda berpendapat ini akan memberikan kesempatan bagi rakyat kebanyakan untuk memiliki mobil idaman keluarga. Kebijakan ini menurut saya sangat salah. Alih-alih memberikan cara bepergian dengan aman dan nyaman kepada rakyatnya, kebijakan ini malah menjerumuskan kita semua ke dalam kenistaan terjebak macet berjam-jam lamanya di jalan-jalan ibukota. Seorang teman saya bahkan pernah bercerita bahwa semenjak kebijakan mobil murah ini, para karyawan yang berpendapatan sedang pun berlomba-lomba beli mobil tersebut. Sekarang hanya untuk keluar dari basement tempat parkir di kantornya di kawasan Sudirman ke jalan raya, dibutuhkan waktu minimal satu jam di jam pulang kantor. Sungguh tidak waras.
Di Bangkok saya lihat hampir semua eksekutif kantoran, baik lokal maupun bule-nya, naik BTS dan MRT. Yang masih memilih naik mobil pribadi ada sih. Tapi menurut saya mereka adalah orang-orang yang kurang waras aja pikirannya. Koq ya mau-maunya berlelah-lelah menyetir ke dan dari kantor padahal pemerintahnya sudah menyediakan sarana transportasi yang sangat nyaman, cepat dan aman.
Sedih dan mau nangis rasanya saya setiap kembali ke tanah air dari perjalanan backpacking saya. Bukan karena saya tidak cinta kepada negara saya sendiri, tapi karena saya tidak percaya negara kita yang besar ini ibukotanya mati gaya dalam menangani masalah transportasi daratnya.
Mau sampai kapan kita seperti ini?
Ayo dong bergerak!
Juni 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H