[caption id="attachment_406139" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Kompas.com"][/caption]
Ibu masih tetap pada pendiriannya. Dia tidak ingin menghadiri acara wisuda pascasarjanaku sama seperti wisuda sarjanaku tiga tahun lalu. Bahkan mungkin pada semua acara yang mengharuskan orang tua hadir.
Sudah seminggu aku coba membujuknya. “Lalu? Siapa yang ibu harapkan hadir pada wisudaku nanti?”, tanyaku pada ibu. Tidak ada jawaban darinya, matanya memandang lurus ke jarum rajutnya.
Aku kembali berisik, menggesek-gesekkan kepalaku di pahanya, mengharap konsentrasinya beralih padaku. “Ibu… ayolah! Masa bude lagi yang ibu minta mendampingi wisudaku. Ibu, aku ini penerima penghargaan dan nanti aku akan berpidato sebagai lulusan terbaik”
“Ibu sibuk, bude kamu saja. Ibu sudah bicara pada bude dan dia bersedia. Ibu nanti menunggu di rumah saja.” Jawab ibu kepada ku, mengecup keningku dengan bibirnya yang halus dan mengalihkan kepalaku dari pangkuannya, “Sudah selesai ya kita bahas ini. Sana ambil bantal dan tiduran disini, paha ibu sudah tidak sanggup lagi menahan kepala mu yang berat.”
-----
Jika air mata yang jatuh masih dapat aku hisap kembali, tidak apa aku merasa asinnya, yang penting air mata yang jatuh dapat kembali ke sumurnya dan mata yang sembab dapat kembali ceria cerah. Aku rasa aku mau menjilatinya kembali jika air mata sudah jatuh ke lantai sekalipun. Sebegitu inginnya aku mengulang dan memperbaiki keadaan.
Tidak pernah ada yang aku sesali dalam hidup ini kecuali sebuah perkataan yang pernah aku lontarkan kepada ibu. Ah… tapi itukan waktu aku kecil. Waktu itu aku masih SD. Aku belum paham mana perkataan yang dapat menyakiti ibu atau tidak. Aku hanya tidak ingin diantar ke sekolah oleh ibu.
“Aku tidak ingin teman-teman tahu ibu aku itu adalah ibu, jadi ibu tidak usah mengantarku, aku bisa jalan sendiri ke sekolah, aku malu ibu…..”
Sekalipun, kini aku sangat menyadari itu salah, ternyata itu tidak merubah apa-apa. Ibu mungkin dapat memaafkan aku atau bahkan tidak pernah mempersalahkan itu. Namun, aku tidak pernah dapat memaafkan diriku yang telah melakukannya kepada ibu. Dan itu baru aku sadari setelah aku dewasa.
-----
Sejak shubuh aku sudah berdandan, meratakan bedak sana dan sini di wajahku. Sesekali aku tebalkan pada bagian yang ada noda jerawatnya. Sekedar menutupi kesedihanku saat ini. Barangkali.
Ibu juga tidak kalah sibuknya. Usai sholat shubuh ia telah membuatkan makanan untuk perayaan selamatan wisudaku hari ini. Katanya usai acara wisuda nanti, sekitar jam makan siang dia akan mengundang para tetangga untuk makan-makan syukuran aku wisuda sebagai lulusan terbaik.
Melihat aku sibuk dengan teks pidato, ibu hanya tersenyum geli. Aku heran dengan ibu, aku tau dengan ketidakmauannya hadir ke wisuda ku pasti karena ia takut aku malu. Sudah berkali-kali aku bilang, itu adalah kejadian yang sudah lama sekali, aku masih kecil, wajar kalau aku tidak mengerti, dan saat ini aku sudah bisa memahaminya justru aku sangat ingin orang tahu kalau ibu adalah ibu aku. Namun, ibu sudah terluka atau apa, aku tidak dapat memahaminya. Ibu tidak pernah mau lagi menghadiri apapun dari urusanku yang berhubungan dengan orang banyak. Sekarang justru berbalik, seolah olah ibu yang malu punya anak seperti aku.
Pernah pada suatu ketika, pada saat aku dan ibu ke pasar. Aku bertemu dengan temanku. Baru saja aku ingin memperkenalkan ibu. Ternyata ibu sudah menghilang entah kemana.
Pernah juga ada teman yang main ke rumah, ketika akan pulang dan berpamitan, ibu mendadak sakit dan tidak bisa menemui temanku.
Paling parah, ibu pernah mengaku sebagai pembantu ketika temanku datang ke rumah pada saat aku tidak ada.
Ya tuhan aku sudah tidak mampu berfikir normal. Mengapa ibu lakukan ini padaku. Aku pintar, normal, cantik, dan berprestasi. Lantas apa yang membuat ibu seperti itu. Ujung-ujungnya aku berfikir ibu pasti tersinggung pada kejadian waktu SD itu. Tapi kan itu kejadian yang sudah lama dan aku masih kecil. Aku terus berusaha mendapat pemakluman dari dunia.
Tiba saatnya aku harus berangkat, bude juga sudah datang dan menunggu di depan. Aku akan berpamitan dengan ibu. Seperti biasa aku merunduk untuk mencium tangannya. Namun kali ini ada yang aneh, ibu menahanku. Ibu berjalan ke kursi makan, menaikinya, lalu kemudian menaiki meja makan. Ibu berdiri di sana dan memintaku ke sana.
Masih dalam prasangkaanku aku melangkah mendekati ibu. Hati ku diiris ribuan pisau rasanya melihat ibu melakukan itu. Dalam delikan yang sesekali aku lakukan sambil melangkah menuju ibu, aku lihat ibu tersenyum penuh bahagia. Benar tidak ada kesedihan dalam dirinya. Tetapi sungguh sikapnya ini membuat aku tercabik-cabik.
Oh tuhan, sungguh ibu tidak perlu berbuat seperti ini. Untuk kedua kalinya aku dapat sejajar memandang ibu setelah aku SD itu. Tangannya yang kecil hanya mampu memenuhi setengah dari pipiku yang normal. Jari-jarinya yang hanya sebesar kelingking itu mengusap air mata yang sudah tidak sanggup aku tahan.
“Ibu maafkan aku. Waktu itu aku masih SD. Aku masih belum paham akan tindakan dan perbuatanku yang bisa menyakiti ibu. Maafkan aku.” Ucapku terbata.
“Jangan menangis. Tidak ada yang salah. Jangan selalu merasa bersalah, mengingat yang tidak penting. Ibu ingin bilang kalau ibu sangat bangga pada Anin. Anak ibu yang paling manis. Tiada titipaNya yang paling ibu syukuri selain kamu. Selamat atas wisudanya hari ini Anin. Ibu bangga dan maafkan ibu tidak bisa hadir pada wisuda Anin.” Ucap ibu padaku. Kali ini aku dapat melihat ke dalam matanya. Seakan aku mampu melihat ke dalam dasar hatinya dan hanya rasa sayang dan bangga kepadaku yang aku dapatkan. Titik itulah yang paling membuatku terperendap dalam. Malu aku malu pada diriku sendiri.
Aku gendong ibu. Aku berlari tanpa mennghiraukan ibu yang berontak dalam gendonganku. Melewati bude, “Bude jaga rumah aku berangkat dengan ibu saja”.
Aku masukkan ibu ke dalam mobil dan ku tancap cepat menuju gedung wisuda di kampusku. Sekalipun tidak aku hiraukan apa yang diucapkan ibu di dalam mobil. Aku hanya ingin membawanya paksa ke wisudaku hari ini. Semuanya aku tinggal bahkan catatan pidato ku pagi ini.
Ibu terus berontak tetapi aku tidak peduli. Sepanjang jalan dari parkiran hingga memasuki ruang wisuda, kepada setiap orang yang aku temui aku perkenalkan bahwa perempuan yang aku gendong ini adalah ibuku.
Proses wisuda aku lalui dengan ibu terus berada di sampingku. Aku katakan kepada ibu, “Jika saat aku pidato ibu menghilang dari kursi ini, maka percayalah aku tidak akan pernah menemui ibu lagi.” Entah ancaman aku kali ini berhasil atau tidak tetapi itulah batas upayaku. Aku hanya berharap ibu tidak pernah pergi dari kursi itu.
Akhirnya tiba juga saat penyampaian pidato dari lulusan terbaik universitas ini. Sebelumnya namaku dielukan sebagai lulusan termuda, lulusan tercepat masa studi, dan lulusan dengan IPK sempurna dan tertinggi untuk lulusan yang pernah ada. Aku juga diumumkan untuk mendapat promosi S3 keluar negeri atas hasil penelitianku. Aku dipersilakan maju ke podium.
Podium ini mendadak tidak membuat aku gugup bahkan ketika catatan pidato tertinggal di rumah. Sejenak aku tatap 3000 hadirin yang hadir pagi ini. Semua wajah cerah ceria, kecuali satu ibu ku yang tertunduk semakin dalam.
“Keberhasilan saya hingga saat ini tidak lepas dari peran dan kasih sayang ibu saya. Ini bukan sebuah kata hiasan yang bisa setiap anak ucapkan ketika berpidato seperti saya. Lain cerita untuk saya, karena saya dilahirkan dari seorang wanita yang tidak senormal ibu-ibu lainnya yang ada disini. Disana, dibangku jalur tengah baris ketiga, itulah ibu saya.”
Seluruh mata menatap ke arah yang aku maksud dan semakin aku perjelas dengan laser yang aku arahkan ke bangku ibu. Disana ibu tersipu malu ketika semua mata mencari-cari dirinya. Barangkali para dosen, mahasiswa, dan keluarga wisudawan ingin melihat siapakah sosok ibu hebat dibalik keberhasilanku.
“Ibu saya memang kecil tetapi kasih sayangnya maha besar untuk saya. Tidak ada satu malampun iya tidak terjaga ketika dia tahu saya meringis kegatalan akibat gigitan nyamuk, pasti setelahnya iya terjaga untuk menjaga setiap nyamuk yang ingin mendekati saya. Tidak ada satu pagipun yang ia lewatkan untuk membuatkan susu untuk saya, dan tidak ada satu malampun yang ia lewatkan untuk membuatkan susu untuk saya. Namun saya begitu jahat pernah merasa malu dengan ibu saya ini. Saya pernah malu diantar olehnya ke sekolah sewaktu SD. Saya malu karena ibu tidak lebih tinggi dari anak kelas 1 SD yang ia antarkan. Ibu aku minta maaf. “
Aku terisak. Semua hening pada saat ini.
“Kalian tahu, ibu sangat tidak ingin hadir dalam acara hari ini. Sehingga dengan paksa aku menggendongnya hingga ke tempat ini. Aku ingin memperkenalkan ibu ku pada kalian semua. Akuingin ibu tahu bahwa aku tidak malu dengan keadaan ibu. Ibu maafkan aku waktu itu.”
Aku menangis sejadinya. Tanpa aku sadari ternyata ibu sudah ada dibelakang podium, menarik-narik kebayaku agar aku menyadarinya. Aku memeluknya.
“Ibu sayang padamu nak,” ucapnya.
Ku gendong ibu dan lanjutkan pidato ku dengan ibu dalam gendonganku, “Aku bangga dengan ibu ku dan aku bersyukur dengan keadaan ibuku. Setidaknya aku dapat menggendong ibu dimana banyak dari para anak tidak mampu melakukannya, bahkan ketika orang tua sudah tua sekalipun. Terimakasih.”
Riuh rentak gedung wisuda pagi ini. Ada yang terharu menangis aku lihat. Ada yang ternganga lebar mulutnya, heran mungkin atau bahkan kagum. Ada juga yang bertepuk tangan. Seketika gedung wisuda menjadi ramai bahkan ketika aku dan ibu sudah berdamai.
Madelina Ariani,
Yogyakarta, 7 Maret 2015
01.50 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H