Jika harus tersipu maka aku akan tersipu sesipu-sipunya. Jika harus tersungkur maka aku akan tersungkur lebih dahulu dari semuanya. Jika bisa diri ini tenggelam maka aku rela untuk menghisap air dan merasakan siksanya bernafas bercampur dengan air. Aku sungguh malu. Bahkan mungkin lebih dari malu.
Aku malu kepadaMu. Aku katakan kepadaMu, dapatkah aku dimaafkan. Bahkan ketika aku sudah patah untuk merasakan maaf dariMu.
Engkau hanya diam tapi aku melihat rasaMu dan Engkau masih tersenyum kepadaku. Tulus. Itu yang aku rasakan.
Aku kembali menangis. Aku bahkan tidak pernah melakukan janji di malam ini aku akan menangis sejadinya. Hampir-hampir aku tidak dapat bernafas. Ingus dan air mataku menjadi satu. Sama asinnya. Seasin dosa-dosaku barangkali. Mungkin lebih.
Setahun itu aku meninggalkan sholat. Meditasi dan mencari ketenangan dengan bersemedi menjadi pilihanku. Pikiran menjadi Tuhan yang mengabulkan semua keinginanku. Tahajud yang aku rutinkan sudah tidak pernah aku lakukan lagi. Jangankan tahajud, sholat wajib saja aku tinggalkan.
Parahnya, aku ceritakan keberhasilan ku dengan pikiran ku ini ke semua orang. terutama adik-adik tingkat di kampus yang mengagumi karakter diriku. Kekaguman dan kemenarikan mereka kepadaku menjad ladang bagiku mengajarkan doktrinku. Doktrin yang katanya hanya beberapa orang penakluk dunia ini saja yang mengetahuinya. Berabad-abad tersimpan dan baru diungkap di abad milenium ini. Secretkatanya.
Adakah kata lain yang bisa menggambarkan rasa malu ku ini kepadaMu. Oh… tenggelamkan saja aku pada sajadah ini. Menjadi butiran debu yang menempel pada lembaran bulu sajadah ini barangkali lebih baik bagi ku. Oh… menyesali semuanya hampir saja membuat mataku buta oleh genangan air mata yang begitu banyak.
Lagi-lagi aku dibuat malu olehMu. Engkau masih sayang dan sabar untuk mengajak ku kembali kepadaMu di tahun berikutnya. Hati kecil ini Engkau sentil. Geli rasanya sehingga membuat keraguan atas kemunduran ibadahku. Tiang agama ini telah ku robohkan satu persatu dengan sholat-sholat yang aku tinggalkan.
Enam bulan itu hidupku tergoncang. Tidak asa satu malam pun rasanya bisa kurasakan tidur dengan tenang. Tiada masalah tetapi masalah sepertinya selalu muncul. Bukan lingkungan, hanya masalah pada diriku sendiri sepertinya. Lama hingga aku sadari itu. Aku kembali lagi kepada agamaku melalui kesadaran dan akal yang sempat Engkau titipkan melalui ajaran orang tuaku dimasa kecil.
Aku semakin sadar Engkau begitu sayang kepadaku dan aku semakin sadar aku tidak benar-benar mencintaiMu. Bahkan ketika kemudian engkau masukkan aku ke kelompok pengkaji agama melalui seorang temanku. Teman yang tidak pernah aku anggap sebelumnya, aku pinggirkan dia karena kuanggap dia tidak berarti apa-apa bagiku. Teman yang pernah ketika aku ulang tahun, dia mengucapkan selamat ulang tahun tetapi aku hanya memberikan tanggapan biasa saja. Teman yang bahkan pernah tidak aku anggap tetapi tetap memperhatikanku dan mengajakku untuk mengkaji agama lebih serius.
Kebejatan ku ternyata tidak berhenti sampai disitu. Kemampuan ku mengubah diriku seperti bunglon ternyata semakin menjadi-jadi. Meski aku sudah kembali menjalankan sholat dan meninggalkan tuhan pikiran tersebut. Saat menonton pertandingan basket aku kenakan jins ketatkku dan sebisanya ku lihatkan ikat pinggang dipinggulku, bagaimana caranya badan ini harus terlihat potongannya. Disaat kuliah aku akan mengenakan rok yang sopan dan tampil sebagai intelek muda, rapi, dan bahkan terkesan lebih tua dari umurku yang sesungguhnya. Disaat kumpul pengajian barulah kerudung aku gunakan. Disaat pengajian yang lebih ekstrim barulah gamis aku gunakan. Disaat kumpul perkumpulan hijaber maka kerudung warna warni dan dandanan hedon aku gunakan. Disaat berkumpul dengan orang tua barulah dandanan anak manis aku tampilkan. Barangkali tiga sampai lima peran dapat aku mainkan setiap harinya.