Mohon tunggu...
I Made Andi Arsana
I Made Andi Arsana Mohon Tunggu... Dosen UGM -

Dosen UGM | Blogger | Kepala Kantor Urusan Internasional UGM | Alumni UNSW | Alumni University of Wollongong | Ayah | Suami | Penulis Buku | Pembicara Publik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sebuah Surat Terbuka untuk Pelajar Lulusan Luar Negeri

1 September 2017   07:30 Diperbarui: 1 September 2017   18:37 2469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Kisanak, masih ingatkah saat wawancara untuk mendapatkan beasiswa dulu? Kisanak dengan serius mengatakan "Indonesia memiliki berbagai masalah dan saya ingin memperbaikinya. Oleh karena itu saya harus belajar sungguh-sungguh ke luar negeri. Nanti saya akan kembali untuk menghadirkan solusi bagi permasalahan itu". Masih ingatkah?

Mengapa kini setelah pulang, Kisanak bahkan sudah stres hanya gara-gara ibu-ibu di Pasar Sambilegi tidak bisa mengantre seperti ibu-ibu di pasar tumpah di Finlandia? Tidakkah Kisanak ingat, ibu-ibu di pasar Sambilegi memang tidak bisa antre sejak Kisanak belum sekolah ke luar negeri? Bukankah persoalan itu yang ingin Kisanak selesaikan?

Mengapa Kisanak gemetar badannya hanya gara-gara melihat anak muda ugal-ugalan mengendarai motor di jalanan? Bukankah mereka memang seperti itu bahkan sejak Kisanak belum wawancara beasiswa? Bukankah itu satu persoalan yang Kisanak ingin selesaikan setelah mengantongi ijazah di luar negeri?

Mengapa Kisanak menghabiskan banyak waktu mencibir trotoar kita yang tidak ramah pejalan kaki dan membandingkannya dengan trotoar di Sydney? Bukankah trotoar kita memang begitu bahkan sebelum Kisanak ikut orientasi sebagai mahasiswa baru di sebuah perguruan di Australia? Bukankah itu persoalan yang Kisanak ingin selesaikan ketika berbusa-busa di depan pewawancara?

Mengapa Kisanak menyerah hanya gara-gara teman sekantor tidak mau segera berubah mengikuti ide-ide yang Kisanak bawa dari luar negeri? Mengapa Kisanak berputus asa dan mengatakan "Sudah ta' ajari mereka tapi aku nggak didengerin, ya sudah!"? Bukankah Kisanak tahu, hal itu memang pasti tidak mudah karena jika misalnya mudah maka Kisanak tidak akan perlu sekolah ke luar negeri karena persoalan itu pasti sudah selesai tuntas beberapa jam setelah kita merdeka.

Mengapa Kisanak menjadi begitu cemen meminta-minta agar dihargai dan diberi peran karena merasa bergelar dan berilmu tinggi? Mengapa Kisanak mudah sekali menuduh bahwa negeri ini tidak memanfaatkan keahlian Kisanak yang cemerlang? Bukankah negeri kita memang seperti itu bahkan sebelum Kisanak berangkat ke mancanegara? Mengapa tiba-tiba berharap semuanya berubah dan menyesuaikan dengan Kisanak yang baru lulus dari luar negeri? Bukankah masalah itu yang memang Kisanak ingin selesaikan seperti ketika berapi-api ingin mendapatkan beasiswa luar negeri?

Mengapa Kisanak jadi cepat lelah dan kesal menghadapi birokrasi yang berbelit seakan-akan dulu tidak demikian? Bukankah itu yang ingin Kisanak perbaiki dengan segera? Dan bukankah itu memang tidak mudah? Sangat tidak mudah.Mengapa Kisanak cepat sekali berkeluh kesah mengatakan bahwa para senior itu tidak memberi ruang kepada yang muda? Bukankah itu memang sudah terjadi sejak Kisanak belum berniat sekolah ke luar negeri? Bukankah persoalan itu yang Kisanak maksud saat meyakinkan pewawancara agar diberi kesempatan menikmati kemewahan ilmu di perguruan tinggi mentereng dunia?

Jika hanya keluh kesah itu yang Kisanak bawa dari luar negeri, jika ijazah mancanegera itu hanya sekedar membuat Kisanak lebih lemah mentalnya dibandingkan sebelum punya ijazah, jika gelar mentereng itu hanya membuat Kisanak pandai menujukkan kelemahan negeri ini tanpa berbuat sesuatu untuk memperbaikinya, maka merdeka kita memang masih jauh. Jauh sekali.

Salam Merdeka dari Kaki Merapi
Andi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun