Sejak Desember 2019, munculnya serangkaian kasus pneumonia dengan penyebab tidak diketahui di Wuhan City, Hubei Province, China, telah menjadi sorotan dunia. Meskipun awalnya dianggap sebagai penyakit ringan dengan prognosis baik, perhatian global segera teralihkan ketika gejala yang lebih serius mulai muncul. Gejala ini mirip dengan sindrom pernapasan akut berat (SARS) dan Middle East respiratory syndrome (MERS), yang sebelumnya disebabkan oleh coronavirus. Kedua sindrom tersebut telah meninggalkan jejak krisis kesehatan yang mendalam di masa lalu, dan munculnya varian baru dari coronavirus ini menimbulkan kekhawatiran serius terkait dampak global yang mungkin dihasilkan (Chinese Medical Association, 2020).
Pada 3 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengidentifikasi virus baru yang bertanggung jawab atas pneumonia misterius ini sebagai coronavirus baru dan memberinya nama COVID-19. Meskipun spekulasi awal menunjukkan keterkaitan dengan zoonosis dan paparan lingkungan di pasar seafood di Wuhan, penyebaran cepat penyakit ini kemudian dikaitkan dengan transmisi manusia ke manusia, memunculkan tantangan serius bagi upaya penanggulangan global (Chen et al., 2020).Â
Hingga 16 Februari 2020, pemerintah China telah melaporkan lebih dari 68,000 kasus terkonfirmasi COVID-19 dengan 1,666 kematian, terutama di Provinsi Hubei dan khususnya di Kota Wuhan. Meskipun data ini mencerminkan situasi di pusat asal wabah, informasi terkait epidemiologi dan karakteristik klinis kasus di luar Hubei masih terbatas, menggarisbawahi kebutuhan akan penelitian yang lebih mendalam untuk memahami dampak global penyakit misterius ini (Chan et al., 2020).
Pada tanggal 16 Februari 2020, pemerintah China melaporkan lebih dari 68,000 kasus terkonfirmasi COVID-19 dengan 1,666 kematian, terutama terpusat di Provinsi Hubei dan khususnya di Kota Wuhan. Meskipun angka ini memberikan gambaran situasi di pusat asal wabah, kekurangan informasi terkait epidemiologi dan karakteristik klinis di luar Hubei Province menyoroti kebutuhan mendesak akan penelitian yang lebih luas dan mendalam terkait penyakit ini (Li et al., 2020).Â
Dalam konteks ini, tulisan secara khusus bertujuan untuk mengisi celah pengetahuan tersebut dengan menyelidiki epidemiologi dan manifestasi klinis pada 40 pasien COVID-19 (Lu et al, 2020). Studi ini dilakukan di Xianyang Central Hospital, Shaanxi Province, dan Liaocheng Infectious Disease Hospital, Shandong Province, antara 21 Januari 2020 hingga 16 Februari 2020. Dengan mengarahkan fokusnya pada kasus di luar pusat asalnya, penelitian ini diharapkan memberikan wawasan yang lebih mendalam terkait perkembangan dan dampak pneumonia misterius ini di wilayah-wilayah yang belum sepenuhnya dijelajahi oleh laporan sebelumnya (Zhu et al., 2020).
Pneumonia adalah penyakit pernapasan serius yang dapat menyerang siapa saja, termasuk masyarakat di China. Beberapa tahun terakhir, kasus pneumonia telah menjadi perhatian khusus di China, terutama setelah terjadi lonjakan kasus yang menyerang anak-anak.Â
Pada tanggal 13 November 2023, Komisi Kesehatan Nasional China melaporkan peningkatan penyakit pernapasan pada anak-anak di China Utara. Lonjakan kasus ini telah membuat rumah sakit kewalahan karena banyak bangsal yang penuh, seperti Rumah Sakit Anak Beijing telah menerima 9.378 pasien setiap harinya, menyebabkan kapasitas penuh selama dua bulan terakhir. Klinik rawat jalan, klinik anak, dan departemen pernapasan di beberapa rumah sakit di Beijing juga telah dipesan selama tujuh hari (Lu et al., 2020).
Kondisi ini tidak hanya merupakan ancaman kesehatan bagi masyarakat lokal tetapi juga memiliki dampak global yang dapat memengaruhi stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Awalnya, penyebab peningkatan kasus pneumonia di China masih misterius. Akan tetapi pada 28 November 2023, pemerintah China telah melaporkan bahwa sebagian besar kasus pneumonia berasal dari infeksi mycoplasma pneumoniae. Penyebab merebaknya kasus pada anak dipicu oleh keberadaan saluran pernapasan anak yang lebih pendek dibandingkan orang dewasa, memudahkan infeksi masuk dan menimbulkan pneumonia (Lu et al., 2020).Â
Hingga saat ini, WHO belum menyatakan kasus pneumonia sebagai kedaruratan, tetapi menghimbau untuk terus waspada. WHO telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi, dan pemerintah China telah melaksanakan berbagai rekomendasi tersebut, termasuk melakukan vaksinasi, tes dan perawatan medis sesuai kebutuhan. Pemerintah juga mengampanyekan pada masyarakat untuk menjaga jarak, tinggal di rumah saat sakit, memakai masker, memastikan ventilasi udara yang baik, serta mencuci tangan secara benar dan teratur (Zhu et al., 2020).
Di Indonesia, belum terjadi lonjakan kasus akibat pneumonia. Meski begitu, Ketua MPR RI telah meminta Kementerian Kesehatan (Kemkes) berkoordinasi dengan WHO untuk meng-update dan memantau perkembangan kasus di China dan negara terjangkit lainnya. Hal ini sebagai upaya preventif, guna mencegah penyebaran penyakit yang sama di Indonesia. Kemkes juga diminta melakukan penanganan dini dengan memastikan kesiapan fasilitas kesehatan di Indonesia dalam menangani penyakit pneumonia.
PEMBAHASANÂ