Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, krisis sosial dan ekonomi sebagai konsekuensi dari wabah coronavirus berpotensi menyebabkan hampir tujuh juta anak mengalami stunting akibat gizi buruk (Littlejohn & Finlay, 2021; Torlesse & Le, 2020). Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak-anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat gizi buruk. Bahkan sebelum COVID-19, diperkirakan 47 juta anak di bawah lima tahun mengalami wasting sedang hingga berat, sebagian besar di antaranya tinggal di Asia Tenggara dan Afrika sub-Sahara (Coker et al., 2020; Headey & Ruel, 2020). Sekarang, sebagai hasil dari lockdown dan gangguan jalur bantuan vital dalam perdagangan internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa memperingatkan bahwa pandemi coronavirus akan menciptakan "efek lintas generasi" terhadap kesehatan jutaan orang (Hong, 2020).
Di Indonesia, BNPB juga mengeluarkan Keputusan Kepala BNPB Nomor 9 Tahun 2020 tentang Penetapan Status Kejadian Luar Biasa Terkait Wabah Penyakit karena Virus Corona yang kemudian diperpanjang melalui Keputusan Kepala BNPB Nomor 13A Tahun 2020. Akibat penyebaran di berbagai wilayah dan negara dengan peningkatan jumlah kasus, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Hal ini ditetapkan sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020. Situasi ini telah memengaruhi berbagai bidang kesehatan, khususnya pada kesehatan ibu dan bayi.
Istilah stunting atau balita kerdil adalah kondisi malnutrisi kronis atau berlangsung dalam waktu yang lama dan ditandai dengan hasil pengukuran tinggi badan sesuai dengan usia kurang dari 2 SD yang berpusat pada standar pertumbuhan WHO (Wellina et al., 2020; Candra, 2013). Anak-anak yang mengalami stunting memiliki risiko kematian empat kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang berat badannya di atas 2 SD. Janin dalam kandungan dan anak usia dua tahun pertama memiliki peluang mengalami stunting, sehingga menghambat pertumbuhan linear dan perkembangan otak, yang terjadi dengan sangat cepat selama periode tersebut (Rahayu et al., 2015; Kusuma & Nuryanto, 2013).
Durasi 1000 hari pertama (1000 HPK) merupakan simpul penting sebagai awal perkembangan stunting (Aryastami, 2017), yang memiliki efek jangka panjang sebelum terulang dalam siklus hidup. Sebagai penyebab langsung, malnutrisi, khususnya pada anak di bawah lima tahun, memiliki dampak jangka pendek pada peningkatan morbiditas (De Onis & Branca, 2016). Jika masalah ini berulang, fungsi kognitif, terutama tingkat kecerdasan rendah, dan dampak pada output sumber daya manusia terganggu. Anak-anak dengan malnutrisi awal (periode 1000 HPK) rentan terhadap penyakit tidak menular pada masa dewasa di bawah kondisi yang berulang (selama siklus hidup) (Osmond & Barker, 2000; Black, 2008). Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat stunting yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain dengan pendapatan menengah.Â
Jika situasi ini tidak diselesaikan, dapat memengaruhi kinerja pembangunan Indonesia, baik pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, maupun ketidaksetaraan. Jika anak-anak lahir sehat, tumbuh dengan baik, dan didukung oleh pendidikan berkualitas, mereka akan menjadi generasi yang mempromosikan keberhasilan pembangunan bangsa. Sementara stunting dapat berdampak pada penurunan IQ anak Indonesia sebesar 10-15 poin, rendahnya prestasi akademis anak, selanjutnya anak-anak diprediksi akan mendapatkan pendapatan 20% lebih rendah pada usia kerja, sehingga memperparah kemiskinan dan mengancam kelangsungan hidup generasi mendatang (Beal et al., 2018; Prendergast & Humphrey, 2014).
Menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2019, angka ini turun menjadi 27,7%. Penurunan angka stunting telah dinyatakan sebagai program prioritas nasional. Saat ini, pemerintah terus mengorganisir alat pelaksanaan untuk mempercepat pencegahan stunting dan merumuskan Strategi Nasional (Stranas) untuk Percepatan Pencegahan Stunting tahun 2018-2024. Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pemerintah (RPJMN) 2020-2024, pemerintah juga menetapkan target penurunan tingkat stunting nasional menjadi 14%. Namun, dengan pandemi COVID-19, target ini tidak diharapkan tercapai. UNICEF melaporkan bahwa pandemi COVID-19 akan menyebabkan 15% atau setara dengan 7 juta penderita di seluruh dunia mengalami peningkatan kasus stunting akibat malnutrisi akut (wasting) (Popkin et al., 2020). Stunting merupakan masalah gizi utama dan tantangan terbesar bagi bangsa Indonesia, di mana 1 dari 3 anak di bawah lima tahun menderita stunting (Azwar, 2004). Dalam Arahan Kebijakan dan Rencana Aksi Program Kesehatan Masyarakat tahun 2020-2024, pemerintah menargetkan penurunan jumlah kasus stunting menjadi 14% pada tahun 2024 atau di bawah 680 ribu kasus per tahun. Namun, akibat wabah COVID-19, jumlah kasus stunting di Indonesia diperkirakan akan meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh akses terhambat bagi ibu dan anak untuk mendapatkan layanan kesehatan yang optimal. Tercatat hanya 19,2% Puskesmas yang melanjutkan kegiatan Posyandu selama periode pandemi. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, jumlah kunjungan ke layanan antenatal dan kesehatan untuk bayi, balita, dan anak-anak telah mengalami penurunan sehingga layanan imunisasi, kegiatan pemantauan perkembangan dan pertumbuhan bayi dan balita, dan intervensi kesehatan ibu dan anak tidak dapat berjalan secara optimal.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, prevalensi stunting disebabkan oleh banyak penyebab, baik internal maupun eksternal. Secara internal, stunting dipengaruhi oleh faktor yang berhubungan langsung dengan pertumbuhan dan perkembangan bayi atau balita, seperti pola asuh, pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan pendamping, imunisasi lengkap, kecukupan protein dan mineral, penyakit menular, dan genetika. Secara eksternal, stunting dibentuk oleh faktor sosio-ekonomi rumah tangga, seperti pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, dan pendapatan keluarga (Pratama et al., 2019; Syaffi'i, 2021). Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa penanganan holistik terhadap stunting tidak cukup hanya di sektor kesehatan, tetapi juga harus menyentuh aspek sosio-ekonomi.Â
Selain itu, diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerah memiliki dampak keseluruhan pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dan telah berdampak pada peningkatan laju penurunan di Indonesia (Lawaceng & Rahayu, 2020). Penurunan berbagai kegiatan mitra perdagangan telah memaksa beberapa pekerja dipecat, dan tidak sedikit yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Hal ini menyebabkan banyak keluarga kehilangan sumber penghasilan rumah tangga mereka dan mengakibatkan kemiskinan (Hanoatubun, 2020). Kemiskinan adalah indikator ketidakmampuan keluarga untuk memperoleh makanan yang cukup sehingga kebutuhan gizi anak-anak tidak dapat terpenuhi. Selain itu, adanya kebijakan ketat pembatasan sosial berskala besar yang diterapkan pemerintah telah menyebabkan hambatan distribusi makanan ke daerah. Ini salah satu penyebab stunting pada bayi juga (Efrizal, 2020).
Melihat masalah yang diuraikan di atas, pemerintah merasa perlu untuk membuat kebijakan guna mencegah peningkatan stunting dan gizi buruk pada anak-anak, terutama selama pandemi COVID-19. Kebijakan-kebijakan ini diharapkan menjadi solusi bagi masyarakat, khususnya yang rentan terhadap stunting ini. Oleh karena itu, dalam situasi ini, penulis terlibat dalam melakukan laporan penelitian kebijakan pemerintah tentang stunting dan gizi buruk pada anak-anak selama pandemi COVID-19. Hal ini sangat kritis dalam menentukan dampak yang sangat parah dari isu stunting; antara lain, jangka pendek terkait dengan morbiditas dan mortalitas pada bayi/balita, jangka menengah terkait dengan rendahnya intelegensia dan kemampuan kognitif, dan jangka panjang terkait dengan kinerja modal manusia dan masalah penyakit degeneratif pada masa dewasa. Laporan ini bertujuan untuk mengenali dan mengevaluasi semua kebijakan pemerintah untuk menghindari dan mengurangi stunting dan gizi buruk pada anak-anak selama wabah virus. Analisis ini diharapkan dapat memperkaya literatur dan menjadi dasar bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan yang lebih terarah sehingga kasus stunting di Indonesia dapat berkurang atau setidaknya tidak meledak akibat pandemi ini.
PEMBAHASANÂ
Virus merupakan penyakit baru yang disebabkan oleh coronavirus jenis baru, yaitu SARS-CoV-2, juga dikenal sebagai coronavirus. COVID-19 dapat menyebabkan penyakit pada paru-paru yang dapat berkisar dari gejala ringan seperti influenza hingga penyakit paru-paru seperti pneumonia (Vourinen et al., 2020; Stadnytskyi et al., 2020). Wabah penyakit pertama kali terjadi pada akhir Desember 2019 di Kota Wuhan, Tiongkok. COVID-19 kemudian segera menyebar ke manusia dan dalam beberapa bulan menyebar ke ratusan negara, termasuk Indonesia. COVID-19 awalnya ditularkan kepada manusia dari hewan. Kemudian diketahui bahwa virus ini juga dapat menyebar dari manusia ke manusia (Shereen et al., 2020). Penularan dapat terjadi dalam beberapa bentuk berikut: 1. Tanpa sengaja menghirup partikel yang muncul saat seseorang dengan COVID-19 bersin atau batuk. 2. Menyentuh bibir, hidung, atau mata setelah menyentuh benda yang terkena COVID-19, tanpa mencuci tangan terlebih dahulu. 3. Dekat dengan COVID-19 tanpa memakai masker (kurang dari 2 meter). CDC dan WHO menyatakan bahwa COVID-19 juga dapat ditularkan melalui aerosol (partikel zat dalam udara). Namun, mode penularan ini hanya terjadi pada prosedur medis tertentu, seperti bronkoskopi, intubasi endotrakeal, penyedotan lendir, dan pemberian obat inhalasi melalui nebulizer (Nugroho et al., 2020). COVID-19 dapat menginfeksi siapa saja, tetapi hasilnya akan lebih parah atau bahkan fatal jika menyerang orang dewasa, wanita hamil, perokok, pasien dengan beberapa penyakit, dan sistem kekebalan tubuh yang rendah, seperti mereka yang memiliki kanker (Kartikawati, 2020).