Rasanya tidak begitu sulit untuk mengetahui dan memahami secara empirik apa dan siapa itu Sekaa Teruna, utamanya bagi krama Desa Adat di Bali. Mengingat secara keseluruhan di wilayah Provinsi Bali setiap Desa Adat maupun Banjar Adat mempunyai Sekaa Teruna. Secara umum terminologi Sekaa Teruna lazim digunakan.Â
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 04 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali (Perda Desa Adat), disebut dengan Yowana Desa Adat, Daa Teruna Desa Adat atau sebutan lainnya.Â
Sekaa Teruna dapat dimaknai sebagai suatu kelompok atau organisasi yang beranggotakan pemuda-pemudi yang pada intinya mereka adalah putra-putri dari krama ngarep (umumnya yang belum memasuki Grahasta Asrama) di suatu Desa dan/atau Banjar Adat. Oleh karena itu di dalam pergaulan adat sering diistilahkan sebagai "Pianak Banjar".Â
Pada umumnya berbagai aktivitas diprogram untuk dilaksanakan secara bersama-sama. Aktivitas yang umum dilaksanakan dapat digolongkan ke dalam aktivitas utama dan aktivitas lainnya.Â
Aktivitas utama dari Sekaa Teruna adalah membantu pelaksanaan berbagai aktivitas ritual dan ngayah sebagai perwujudan tugas pembantuan yang diarahkan oleh Desa dan/atau Banjar Adat.Â
Sedangkan aktivitas lainnya berkaitan dengan merancang dan menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial, pelestarian seni dan budaya, dan juga dapat diperbantukan pula melaksanakan berbagai program pemerintah yang berkaitan dengan aspek kepemudaan.Â
Keberadaan sekaa ini dalam kehidupan masyarakat adat di Bali memang telah diwarisi secara turun temurun berikut pula berbagai aktivitas yang harus dilakukan.Â
Namun, dalam realitasnya nampaknya belum banyak yang menyadari dan memahami bagaimana Sekaa Teruna tersebut ada dan apa sesungguhnya perannya berdasarkan perspektif filosofi Hindu. Hal ini penting untuk kemudian digali secara berkesinambungan, dengan maksud mengungkap jati diri para yowana Bali dengan berbagai swadharma yang tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai filosofis Hindu.
Kedudukan Sekaa Teruna Dalam Desa Adat
Sebelum diskursus mengenai kedudukan sekaa teruna di Desa Adat diperbincangkan, ada baiknya secara sekilas untuk menguraikan selayang pandang tentang Desa Adat di Bali, yang memang sangat berkorelasi dan koheren dengan lahir dan eksistensi sekaa Teruna.Â
Jika merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 8 Perda Desa Adat sebagai hukum positif yang diharapkan mampu untuk mengakui, melindungi dan bahkan menguatkan posisi Desa Adat di Bali.
Desa adat dikonsepkan sebagai "kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri".Â
Berdasarkan konsep tersebut dapat dipahami bersama bahwa desa adat di Bali merupakan kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang menjalankan tradisi dan tata pergaulan masyarakatnya berdasarkan ajaran Agama Hindu. Dalil tersebut lahir atas dasar adanya ikatan kahyangan tiga maupun kahyangan desa di dalam suatu desa adat.Â
Kahyangan tiga yang dimaksudkan tidak lain adalah Pura Kahyangan Tiga yang diwujudkan ke dalam Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem merupakan simbol dari implementasi ajaran Agama Hindu mengenai Tri Kona dan Tri Murti yang merupakan tempat pemujaan bagi seluruh warga (krama) desa. Selain daripada itu, berbagai aktivitas krama desa sangat erat kaitannya terhadap kewajiban berkait dengan Kahyangan Tiga (Sirtha 2008).Â
Wiana dalam karyanya lebih memilih menggunakan terminologi Desa pakraman daripada Desa Adat untuk menamai kesatuan masyarakat hukum adat di Bali. Landasannya kembali lagi bahwa ajaran yang mengikat masyarakat hukum adat di Bali adalah Agama Hindu.Â
Disamping itu Desa Pakraman merupakan sebuah institusi yang otonom dan mempunyai aturan tata kehidupan yang disebut awig-awig untuk mengatur dan mengurus berbagai hal yang sakral dan besifat niskala dengan mengamalkan Ajaran Agama Hindu.Â
Wiana menjelaskan bahwa berdasarkan Lontar Mpu Kuturan Desa Pakraman didirikan oleh Sang Catur Varna (Brahma, Ksatriya, Waisya dan Sudra Varna) manut "linging Sang Hyang Aji" artinya menurut ajaran Agama Hindu.Â
Selanjutnya juga dijelaskan bahwa hakekat Desa Pakraman adalah Desa Pasraman dengan asal kata Desa yang menurut bahasa Sanskerta artinya berbagai patokan atau petunjuk rohani dan Pasraman yang diartikan tingkatan-tingkatan hidup untuk mencapai Dharma, Artha, Kama dan Moksa sebagaimana dalam ajaran Catur Purusa Artha.Â
Maka untuk mencapai apa yang diajarkan dalam Catur Purusa Artha, di dalam Desa Pakraman diimplementasikanlah Catur Asrama yaitu Brahmacari Asrama yang diwujudkan dalam kehidupan teruna-teruni, Grhasta Asrama terwujud ke dalam kehidupan krama ngarep dan Wana Prastha Asrama disimbolkan dengan krama penglingsir.Â
Sedangkan Sannyasa Asrama sudah lepas sama sekali dengan berbagai ikatan keduniawian dan kehidupan masyarakat (Wiana 2004). Di daerah Bali selatan, krama penglingsir  sering disebut krama pengele yaitu krama adat yang telah "pensiun" dari kewajiban-kewajiban sebagai krama adat yang kedudukannya telah digantikan/diteruskan (biasanya) oleh keturunannya.Â
Wiana berpandangan bahwa Catur Asrama inilah konsep keharmonisan hubungan yang vertikal yang dibangun antar generasi dalam konsep Hindu (Wiana 2007).
Sampai pada perbincangan di atas, sesungguhnya sudah dapat terlihat dan dipahami bahwa kedudukan sekaa teruna sebagai manifestasi dari ruang atau fase kehidupan dari teruna-teruni dalam wadah Brahmacari Asrama. Brahmacari Asrama dalam Catur Purusa Artha merupakan ruang atau fase kehidupan umat manusia menurut ajaran Agama Hindu dalam prioritas kehidupannya untuk menimba ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan satu langkah awal atau merupakan suatu fondasi untuk membangun sumber daya manusia Hindu yang kokoh baik secara fisik, mentap dan spiritual. Dalam rangka menyongsong fase kehidupan berikutnya sebagai krama ngarep dalam konteks Desa Pakraman. Disamping itu agar mampu berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung dalam pembangunan sebagai bagian dari warga Negara di alam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Dengan demikian, keberadaan Sekaa Teruna dalam tata pergaulan Desa Pakraman tidak dapat disepelekan begitu saja. Mengingat kedudukan Sekaa Teruna sangat strategis sebagai benteng bahkan sebagai kawah candradimuka yang melahirkan sumber daya manusia yang tangguh, berkepribadian, tau akan jati diri dan yang utama adalah mampu menjalankan Dharma.
       Desa pakraman dan Sekaa Teruna mempunyai tanggung jawab yang besar dalam menentukan arah dari berbagai pembentukan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia di dalam wewidangan Desa Pakraman itu sendiri. Sudah saatnya kini keberadaan Sekaa Teruna disadari dan dipahami sebagai sebuah lembaga adat yang berorientasi dalam mewadahi berbagai aktivitas yang bertujuan untuk penguatan dan pembangunan sumber daya manusia yang tangguh dan Dharma. Karenanya Desa Pakraman penting untuk melibatkan Sekaa teruna dalam berbagai aktivitas, baik dalam bidang Parahyangan, Pawongan maupun Palemahan dalam rangka menyiapkan generasi selanjutnya dari Desa Pakraman yang tentu saja berbasiskan ajaran Agama Hindu.
Peran Sekaa Teruna
      Setelah memahami bersama betapa sentralnya kedudukan Sekaa Teruna dalam tata kehidupan Desa Pakraman, maka kembali ditekankan sudah saatnya memaksimalkan perannya dalam bentuk berbagai aktivitas. Berbagai aktivitas yang dijalankan penting untuk dipahami dan diyakini adalah sebagai bentuk dari upaya mencandra para teruna-teruni menjadi generasi baru yang dharma, kuat, tangguh, berkarakter, mengenal jati dirinya berbasis ajaran Agama Hindu. Dalam Pasal 48 ayat (2) Perda Desa Adat, diuraikan bahwa Yowana Desa Adat melaksanakan kegiatan dalam bidang kepemudaan, meliputi: (a). bidang adat, agama, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal; (b). bidang pendidikan dan olah raga; (c). bidang kesehatan; (d). bidang ekonomi; dan (e). bidang peminatan lainnya. Oleh karena Desa Pakraman sebagai institusi yang otonom dengan berbagai kewenangannya berdasarkan hak-hak tradisional yang dimiliki, memang sudah seharusnya mengarahkan kedudukan dan peran Sekaa Teruna ini di dalam awig-awig maupun perarem yang berbasis pada ajaran Agama Hindu.
      Dalam hal ini, sudah menjadi swadharma dari Sekaa Teruna untuk berperan aktif dalam menyiapkan teruna-teruni sebagai calon penerus Desa Pakraman, bangsa dan Negara dengan meneruskan tongkat estafet pembangunan. Adapun konsep peran Sekaa Teruna dalam pembangunan yang penting untuk dilakukan adalah : pertama, mengarahkan dan membina agar kehidupan sosial-budaya teruna-teruni berlandaskan pada prinsip Tat Twam Asi, Tri Hita Karana, Tri Kaya Parisudha, asah asih dan asuh, sagilik saguluk salunglung sabayantaka dan prinsip lainnya yang bertujuan menciptakan kehidupan kekeluargaan, suka duka, gotong royong sebagai ciri utama dalam masyarakat komunal yang berlandaskan ajaran Agama Hindu; kedua, menggali dan mengembangkan potensi sumber daya manusia yang dimiliki sebagai modal dalam pembangunan melalui penguatan Sekaa Teruna secara organisasi; ketiga, pembinaan dan pelatihan secara terus-menerus dan berkesinambungan berbagai potensi teruna-teruni dalam bidang ekonomi, politik, sosial, seni budaya, olahraga maupun bidang lainnya berdasarkan prinsip demokrasi dan keadilan.
      Dengan demikian sekali lagi penting untuk dipahami bahwa Sekaa Teruna mempunyai kedudukan yang sentral dan strategis dalam tata kehidupan di Desa Pakraman berbasis pada ajaran Agama Hindu. Peran maksimal sekaa teruna sangat dinanti dan diharapkan terwujud dalam rangka menyiapkan, membentuk, mengembangkan dan menguatkan potensi teruna-teruni untuk memasuki fase kehidupan menjadi krama ngarep sebagai perwujudan Grhasta Asrama maupun Wana Prastha dan Sannyasa Asrama dalam konteks kehidupan Desa Pakraman. Juga agar mampu menjadi sumber daya manusia yang tangguh dan berkarakter yang dilandasi ajaran Dharma sebagai generasi penerus bangsa serta mampu berkontribusi dalam pembangunan Negara. Dengan memaksimalkan kedudukan dan peran Sekaa Teruna juga diharapkan mampu mencegah terjadinya distorsi terhadap pemahaman teruna-teruni mengenai ideologi, karakter dan kebudayaan bangsa akibat pengaruh globalisasi.
"Ngiring Ajegang Bali Melarapan Antuk Ngemargiang Swadharma Aguron-Guron, Ngardi Bali lan Indonesia, Shanti lan Jagadhita, Gemah Ripah Loh Jinawi"
Daftar Rujukan
Sirtha, I. Nyoman. 2008. Aspek Hukum Dalam Konflik Adat Di Bali. Denpasar: Udayana Universitu Press.
Wiana, I. Ketut. 2004. Mengapa Bali Disebut Bali? Surabaya: Paramita.
Wiana, I. Ketut. 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya: Paramita.
Oleh : Made Oka Cahyadi Wiguna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H