Mohon tunggu...
Made Marhaen
Made Marhaen Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

hanya seorang bocah yang sedang melukiskan gambaran hidupnya dalam kanvas kehidupan pemberian Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hanya Sebuah Refleksi

3 September 2011   13:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:16 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ideologi adalah sebuah pandangan hidup suatu bangsa. Ia bagaikan patron yang akan memberikan tuntunan ke mana arah suatu perkembangan akan dituju. Hal ini dapat tercapai ketika di setiap diri rakyat, terpatri konsep Ideologi sebagai nafas kehidupan. Maka dari itu, dibutuhkan suatu kesadaran yang tinggi mengenai hakikat ideologi itu sendiri. Bahwa ideologi haruslah dimaknai tidak hanya secara tekstual namun juga secara kontekstual.

Menumbuh kembangkan pemahaman dan rasa cinta terhadap ideologi adalah suatu hal yang sulit. Bagaimana membuat setiap insan di suatu bangsa mempunyai rasa memiliki terhadap ideologinya. Kesulitan ini pulalah yang kita hadapi bersama sebagai suatu bangsa besar yang bernama Indonesia.

Kita patutlah berbangga dilahirkan di tanah yang kaya akan seni dan budaya. Dibesarkan dalam bayang-bayang kemegahan peradabannya. Namun bagaimana bisa kita mengatakan kita bangsa yang besar, ketika falsafah hidup kita hanya tersimpan rapi dalam bingkai kehidupan bernegara. Ya. Pancasila kini tidak lebih dari sekedar penghias tembok instansi pemerintahan. Tidak lebih dari sekedar lafal rutin tiap kali upacara diadakan. Dan memang nyatanya tidak lebih dari itu semua. Bagaimana bisa kita membanggakan diri sebagai negara yang beradab, ketika pandangan hidup kita sendiri, kita acuhkan begitu saja. Betapa tidak tahu malunya kita, bergumul di panggung dunia, tanpa memiliki jati diri bangsa. Sungguh menyedihkan.

Pancasila terlahir dan tumbuh dari dalam Bumi Pertiwi. Ia bukan sekedar lima sila yang dicetuskan begitu saja oleh para pendiri bangsa kita. Ada makna dan cerita disetiap silanya. Apa yang terkandung di dalamnya adalah Indonesia. Pancasila adalah Indonesia dan Indonesia adalah Pancasila. Tiap inci dari kehidupan kita adalah tiap sila yang ada dalam Pancasila. Maka, sudah selayaknya, Pancasila menjadi nafas dari kehidupan kita. Tanpa Pancasila, hidup kita tak akan lebih dari sekedar menjadi manusia.

Bila ditilik lebih dalam ke setiap unsur-unsurnya, Pancasila sejatinya memang merefleksikan kehidupan sosial di masyarakat kita. Adanya konsep ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan mufakat, serta keadilan sosial. Kesemuanya adalah jiwa kehidupan kita. Bung Karno pernah menyatakan bahwa Pancasila dapat disederhanakan menjadi Trisila, yakni, Sosionasionalisme, Sosiodemokrasi dan Ketuhanan. Adapun Sosionasionalisme adalah Nasionalisme yang berdasarkan atas paham sosialis. Bahwa kita sebagai sebuah bangsa yang dalam sanubari setiap warganya terkandung rasa nasionalisme murni yang peka terhadap keadaan sosial, bukan nasionalisme kapitalis ataupun nasionalisme sempit ala chauvinisme Jerman. Sosiodemokrasi adalah bentuk kehidupan dalam masyarakat yang memberikan rasa kebebasan dan juga otoritas dalam menentukan pilihan kepada masyarakat itu sendiri. Dan tentunya tanpa melupakan rasa persaudaraan dan kekeluargaan antar sesama. Ketuhanan, sebagai sebuah negara yang berdasarkan atas konsep kebangsaan, Indonesia tentunya terdiri atas berbagai macam suku, ras dan agama. Keragaman itu tentu akan membawa kita pada bermacam-macam jenis keyakinan yang berbeda-beda pula. Namun, dari sekian banyak ragam dan jenis keyakinan tersebut, tentu ada suatu garis besar konsep ketuhanan yang dipegang teguh oleh mereka semua. Simpelnya, apapun keyakinannya, mereka semua punya tuhan. Dan biarkanlah urusan keyakinan maupun ketuhanan itu menjadi suatu masalah personal yang ranahnya tak bisa diintervensi oleh siapapun. Jikalau masih menginginkan suatu kesederhanaan, Bung Karno kembali memberikan suatu konsep yang bernama Eka Sila, yakni Gotong Royong. Beliau melihat bahwa jiwa kehidupan yang sesungguhnya dari masyarakat kita adalah kegotong royongan. Kehidupan sosial yang penuh kebersamaan dan kepedulian berdasarkan atas rasa persaudaraan dan kekeluargaan.

Namun kini, ketika kita berbicara mengenai Pancasila, Trisila maupun Ekasila, apa yang kita lakukan hanyalah sekedar beronani ideologi. Ya, sebuah kesenangan semu dalam beretorika. Tidak ada satupun dari semua hal itu yang nyata. Karena segala hal yang nyata hanyalah penghianatan terhadap Pancasila, Trisila ataupun Ekasila.

Penghianatan? Mari kita teliti satu persatu tiap penghianatan yang telah kita lakukan bersama-sama.

Pertama, manusia Indonesia kini hanya berkeyakinan bahwa Tuhan itu esa. Bahwa mereka beragama dan mereka bertuhan. Karena secara empiris, tiap perbuatan yang mereka lakukan amatlah jauh dari tingkah laku makhluk bertuhan. Agama dan Tuhan hanya dijadikan kedok. Kedok untuk menipu sesama, kedok untuk memperkaya diri sendiri dan kedok yang bahkan menipu dirinya sendiri. Korupsi, kecurangan Pemilu, Maksiat dan juga kejahatan yang mengatas namakan agama atau kepercayaan adalah sebagian dari bermacam jenis penghianatan kita terhadap rasa ketuhanan kita.

Kedua, kita tidak lagi tahu caranya memanusiakan manusia. Entah itu memanusiakan orang lain atau bahkan diri sendiri. Rasa kemanusiaan itu kini menjadi barang langka di Indonesia. Apalagi demi sebuah kemanusiaan yang berdasarkan atas keadilan dan peradaban. Tak ada lagi penyama rataan persepsi dalam tataran kehidupan. Masyarakat saling memberikan penilaian yang berbeda-beda satu sama lainnya. Tak ada lagi persamaan persepsi dalam hal kemanusiaan.

Ketiga, rasa persatuan itu kini mulai memudar. Dulu memang, rasa persatuan itu dimulai dari pergerakan kedaerahan. Jong Celebes, Jong Javanen Bond dan Jong Sumatranen Bond adalah sedikit dari sekian banyak perkumpulan-perkumpulan yang didasarkan atas persamaan geografis dan ideologis. Hal itu haruslah dilihat sebagai suatu upaya penyatuan diri dalam rangka mencapai kemerdekaan dengan modal dan kemampuan yang terbatas. Kini, dengan terhapusnya masalah ruang dan waktu seiring berkembangnya teknologi, seharusnya perkumpulan maupun organisasi yang ada hanya berpegang pada persamaan ideologi. Namun, kenyataannya kita justru memarjinalisasi diri kita sendiri. Mengkotak-kotakkan satu golongan dengan golongan yang lain, seolah yang ada diantara kita semua hanyalah perbedaan. Tidak ada lagi jawaban Kami adalah orang Indonesia. Yang ada kini hanyalah prestise kedaerahan, yang sejatinya menampakkan kelemahan kita dalam hal persatuan di mata asing.

Keempat, musyawarah dan mufakat tidak lagi dijadikan sebagai suatu solusi dalam menyelesaikan masalah di berbagai lini kehidupan. Kita cenderung mengarah pada praktisisme. Segala hal yang berbau praktis dan mudah cenderung disukai dan dipilih. Entah itu masih mempertahankan esensi kebersamaan dalam menyelesaikan permasalahan atau tidak. Salah satunya adalah budaya voting. Sejak kecil kita telah diajarkan melakukan voting untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Suatu penyelesaian masalah dengan berdasarkan atas keputusan mayoritas pihak. Suatu manifestasi dari demokrasi sempit yang dianut negeri ini. Tidakkah mereka memikirkan bagaimana nasib kaum minoritas? Apakah dengan terpilihnya keinginan kaum mayoritas sebagai pilihan semua orang dapat memberikan kelegaan dan kebaikan bagi semua pihak? Belum tentu. Apakah ini berarti, kaum minoritas yang harus menyesuaikan diri dan melupakan pilihannya? Apakah yang “besar” rela berbagi “kue” dengan yang “kecil”? Hal inilah yang harus dijawab oleh mereka. Para pengkultus mekanisme voting itu. Para penghianat Pancasila.

Terakhir, Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan social bukanlah sekedar keadilan yang diinginkan dalam hal kehidupan social masyarakat saja. Lebih dari pada itu, adalah suatu keadilan dalam berbagai aspek kehidupan di negara ini. Namun apa yang kita dapatkan kini adalah sebuah keadilan semu. Bukan keadilan dalam ranah social, ekonomi, politik, pendidikan ataupun hukum.

Secara umum, masalah utama yang dihadapi bangsa kita terkait jati diri bangsa adalah keengganan untuk menumbuhkan rasa memiliki antar sesama.

Masalah ini akan memberikan sebuah efek domino terhadap berbagai aspek kehidupan di negara kita. Masalah yang muncul akan semakin kompleks dan panjang. Solusi yang dimunculkan nantinya hanya akan menambah permasalahan lainnya. Hal-hal tersebutlah yang seharusnya kita coba untuk hentikan.

Berbicara tentang masalah keengganan yang menggelayuti banyak diantara kita, hal ini semakin nampak jelas ketika kita menilik kehidupan generasi muda bangsa ini. Mahasiswa sebagai kaum intelektual dan sedikit dari sekian banyak pemuda yang berpendidikan justru menjadi titik lemah di mana keengganan tadi bermuara dan berpusat. Sebuah problematika dalam kehidupan bernegara kita.

Mahasiswa adalah agen perubahan. Lebih dari itu, mereka seharusnya menjadi perintis perubahan. Karena mereka memiliki jiwa yang muda, intelektualitas yang tinggi dan mewarisi harapan para pendiri bangsa. Mereka adalah penyambung lidah rakyat yang diharapkan semua orang. Sebagai pengemban harapan bangsa yang berpendidikan, sudah selayaknya pengamalan ideologi bangsa yakni Pancasila seharusnya berasal dari Mahasiswa.

Bagaikan pungguk merindukan bulan. Begitulah kira-kira perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan betapa tidak sinerginya antara harapan yang diemban dan realita yang diberikan para mahasiswa kini. Terlalu banyak penghianatan yang dilakukan. Demikian kiranya yang terbaca dari kiprah para pejuang muda ini.

Contoh simple ketika kita berbicara mengenai pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam kehidupan mahasiswa era kekinian. Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah suatu pedoman atau ideologi bagi mahasiswa dalam menjalani kehidupannya sebagai seorang intelektual muda. Dharma Pendidikan, Dharma Penelitian dan Dharma Pengabdian Masyarakat adalah tiga sila dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi itu. Sama seperti Pancasila, tiga pedoman tersebut sudah selayaknya dijadikan nafas oleh mahasiswa dalam bergerak dan bertindak. Namun, kini mahasiswa cenderung terlalu memfokuskan diri pada pengembangan kualitas individu yang tentunya lebih pendidikan dan penelitian sentries. Padahal, jiwa utama dari seorang intelektual muda adalah pengabdian masyarakat. Karena pada dasarnya, masalah pendidikan dan penelitian adalah suatu paket yang akan didapat ketika mahasiswa menimba ilmu di bangku kuliah. Sedangkan, pengabdian masyarakat haruslah ditumbuhkan dari dasar kesadaran tiap mahasiswa. Maka dari itu, dibutuhkan penekanan terhadap pentingnya hakekat mahasiswa sebagai abdi masyarakat.

Tri Dharma Perguruan Tinggi yang merupakan bentuk sederhana dari Pancasila dan diperuntukkan khusus bagi kaum intelektual muda itu saja sudah tak diurus. Bagaimana dengan Pancasila yang mengandung nilai-nilai yang lebih kompleks?

Kalau boleh, penulis merasa perlu untuk mengklasifikasikan tipe-tipe mahasiswa ke dalam beberapa jenis terkait dengan seretnya pergerakan mahasiswa masa kini yang sekiranya menurut penulis begitu nyata dan layak untuk dishare.

Pertama, tipe mahasiswa yang memiliki pandangan bahwa tujuan mahasiswa kuliah adalah untuk menuntut ilmu dan menjadi jembatan demi meraih cita-cita. Biasanya cita-cita mahasiswa tipe ini secara umum adalah untuk membahagiakan orang tua atau menjadi kebanggaan nusa dan bangsa. Betapa mulianya anak ini. :)

Kedua, tipe mahasiswa yang suka senang-senang. Biasanya mahasiswa tipe ini menuntut ilmu di Universitas-universitas ternama yang ada di kota besar. Definisi senang-senang ini beragam jenisnya, tapi yang jelas saya berikan batasan pada jenis kesenangan menengah keatas.

Dan Ketiga, tipe mahasiswa pergerakan. Biasanya merupakan kaum minoritas di lingkungan kampus, namun memiliki pergaulan yang luas, terutamanya jaringan luar kampus sendiri. Nampak “berbeda” dari dua tipe mahasiswa sebelumnya.

Itu hanyalah gambaran kasar dari berbagai jenis mahasiswa yang ada di negeri ini. Adapula jenis mahasiswa gado-gado. Yakni campuran dari jenis-jenis tersebut. Tapi, apapun itu, yang jelas mereka semua sama. Sama-sama mahasiswa dan sama-sama menanggung beban tanggung jawab yang sama pula. Dan pada pundak merekalah kita menggantungkan optimisme yang besar dengan berjuta impian.

Sesukar apapun suatu permasalahan, pasti ada solusinya. Tuhan menciptakan segala sesuatunya selalu berpasangan. Begitu pula dengan setiap ujian-Nya yang dalam tiap jawabannya terkandung jutaan makna dan hikmah.

Sekali lagi, setiap insane di negeri ini memiliki tanggung jawab yang sama dalam kapasitas yang berbeda-beda. Dan tugas kita bersama untuk menyadarkan tiap insane itu bahwa mereka punya BEBAN yang harus dipikul. Dan kita akan bersama-sama berjalan memikul beban itu menuju Indonesia Merdeka.

“Aku tak peduli apa warna kucing itu. Entah Ia hitam atau putih. Yang penting adalah Ia mampu menangkap tikus”~ Deng Xiaoping

Apapun latar belakang kita, mahasiswa, jurnalis, dosen, pemerintah, maupun rakyat biasa, tujuan kita adalah satu. Indonesia yang benar-benar MERDEKA.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun