Mohon tunggu...
Made Marhaen
Made Marhaen Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

hanya seorang bocah yang sedang melukiskan gambaran hidupnya dalam kanvas kehidupan pemberian Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sebuah Sajak tentang Perubahan

16 Januari 2012   14:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:49 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Intelektual yang bebas adalah pejuang yang kesepian, selalu. Begitu kira-kira ucapan seorang Amerika kepada Soe Hok Gie, sahabatnya, yang juga seorang intelektual muda nan berani di era 60-an.

Jika kita menelaah arti dari kata-kata tersebut, mungkin memang ada benarnya. Seorang Intelektual yang berpikiran cerdas dan idealis adalah pejuang bagi terciptanya sebuah perubahan. Ketika ia merasa suatu rezim kekuasaan telah melewati batas kemanusiaan dan batas-batas moralitas yang berlaku di masyarakat, mereka akan turun dan melawan. Bukan sekedar menggoreskan sketsa-sketsa pemikiran akan suatu tatanan yang nantinya ingin dicapai. Kaum intelektual muda adalah kaum pembaharu negeri. Namun, ketika rezim yang korup dan otoriter telah tumbang dan digantikan oleh pemerintahan yang baru, mereka, kaum intelektual itu, akan kembali pada habitatnya di dunia akademik.

Seperti tertuang dalam buku Catatan Seorang Demonstran, tingkah intelektual muda itu dianalogikan dengan seorang cowboy. Cowboy datang ke suatu kota yang dipenuhi oleh bandit-bandit jalanan yang merampok, memperkosa dan menyiksa penduduk setempat. Ia menantang bandit-bandit itu berperang dan akhirnya menang. Setelah kemenangan itu, penduduk mengelu-elukan sang cowboy dan mencarinya. Namun Ia telah pergi dan kembali mengelana. Ia hanya akan datang jika kota itu kembali dipenuhi oleh bandit-bandit lainnya. Seperti itulah intelektual yang sejati. Mereka akan turun ke jalan, berperang dan menumbangkan suatu rezim pemerintahan yang tidak berpihak pada rakyat. Jika rezim tersebut telah tumbang dan digantikan oleh pemerintahan yang lain, mereka akan kembali ke dunia mereka, menuntut ilmu dan kembali turun apabila rakyat membutuhkannya.

Itulah sisi gelap dan dingin dari seorang pejuang pemikir, hidup dalam dunianya yang statis, dan bergerak ketika kondisi memanggil mereka.

Melihat kembali pada realita, seperti halnya menghempaskan tubuh yang sedang terbang tinggi ke bumi. Apa yang kita lihat jarang bahkan tak pernah sesuai dengan apa yang kita pikirkan dan impikan selama ini. Pemerintahan yang bersih dan berpihak pada rakyat adalah angan dan cita- cita segenap anak negeri ini. Namun apa yang disajikan kehadapan mereka tidak lebih dari sekedar panggung sandiwara murahan yang tiap pemerannya berusaha menampilkan “drama” menarik dengan topeng-topeng kepalsuan. Apa yang kita dapat hanyalah drama palsu dibalik topeng para penguasa. Pemimpin negeri ini bertingkah layaknya penguasa dan pemilik negeri. Sedangkan rakyat hanyalah penonton yang wajib menyaksikan tingkah polah mereka.

Machiaveli pernah mengatakan, bahwa penguasa yang telah memiliki kekuasaan memiliki tendensi untuk tetap melanggengkan hegemoninya lewat power yang ia miliki, tanpa menghiraukan nilai moralitas yang membatasinya. Itulah masalah kita saat ini. Terlalu banyak makiavelis di negeri ini, begitu pula kaum-kaum penjilat yang hanya bertindak agar dapat menyenangkan atasannya dengan berharap mendapatkan posisi dan kekuasaan yang sebanding.

Selama di negeri ini masih banyak orang yang gila hormat dan gila jabatan, para pemimpin-pemimpin kacangan dan bermental bobrok serta penjilat atasannya masih akan terus ada. Mereka itu adalah orang-orang yang telah dibutakan mata dan hatinya. Kebutaan mereka itu membuat pagar-pagar moralitas, kemanusiaan dan keadilan seolah sah-sah saja untuk dilabrak.

Dan ketika kita, para intelektual yang diharapkan dapat turun memerangi rezim korup justru terlena dalam system pendidikan yang sejatinya telah disetting oleh penguasa agar membutakan, menulikan dan membisukan kita, kepada siapa lagi rakyat harus berharap?

Menurut Karl Marx dalam tulisannya, Manifesto Komunis, ia menyebutkan bahwa ada 4 pilar yang menyokong jalannya suatu kekuasaan pemerintahan. Yakni, pemerintah, kaum borjuis, kaum cendekiawan, dan kaum proletar. Dalam teorinya, ia berpendapat bahwa 3 golongan pertama, yakni pemerintah, kaum borjuis dan cendekiawan cenderung bersatu dalam satu lingkaran kekuasaan. Maka dari itu, ketika terjadi suatu kesewenang-wenangan, satu-satunya golongan yang dapat berperang dan memperjuangkan keadilan adalah mereka yang tertindas. Yakni kaum proletariat. Mereka tidak hanya secara general berjuang demi keadilan dan kesejahteraan hidup seluruh rakyat, namun terutamanya bagi diri mereka sendiri. Mereka yang tertindas oleh pemerintah karena kebijakan-kebijakannya yang tidak pro kesejahteraan rakyat, oleh kaum borjuis yang senantiasa mengucurkan kapitalnya hanya untuk kepentingan usaha pribadi ataupun untuk pemerintah demi dilancarkannya peraturan yang pro kepentingan mereka. Yang lebih ironis adalah tertindasnya kaum proletar oleh para cendekiawan meskipun secara tidak langsung, karena keterlibatan mereka dalam pembuatan aturan-aturan yang tidak memihak rakyat luas.

Perjuangan kaum proletar dalam menumbangkan rezim yang bobrok memang pantas diapresiasi semua pihak. Stimulus, motivasi, tekad dan optimisme yang mereka punya cukup sebagai bekal dalam mengarungi pertarungan melawan kebatilan ini. Seperti yang dikatakan Marx dalam tulisan yang sama, Ia menyerukan agar kaum proletar seluruh dunia bersatu padu. Karena tak akan ada satupun yang dapat diambil dari diri mereka kecuali semangat akan perubahan. Dengan dasar pemikiran sebagai kaum yang tertindas, mereka bergerak dan berjuang tanpa takut akan kehilangan apapun.

Berbicara mengenai tatanan social yang dicetuskan oleh Marx, sejatinya bisa kita dapatkan pula di negeri ini. Kelas-kelas sosial oleh Marx bukannya lapuk oleh waktu, justru sedang menjalani fase dan tahapan yang hampir sama. Mengapa? Karena sejatinya perubahan tatanan sosial di masyarakat hanya berputar-putar dalam suatu siklus yang tak terputus, namun mungkin, tiap titiknya memiliki nama yang berbeda. Dahulu, ketika peradabam manusia pertama muncul, dengan sifatnya sebagai makhluk social yang tidak dapat mencukupi kebutuhannya seorang diri, manusia tinggal berkelompok dan membentuk sebuah komunitas. Bentuk kehidupan yang seperti ini disebut kehidupan komunal. Mereka mencari makanan dan saling berbagi satu sama lainnya. Dan ini adalah tatanan sosial pertama yang muncul, yakni komunisme (re : hidup secara komunal). Ketika mereka sudah mulai mampu menghidupi dirinya sendiri melalui keluarga-keluarga kecil, komunitas ini semakin berkembang pula, dan membentuk sifat pribadi manusia saat itu untuk cenderung menjadi lebih individualis. Fase ini dapat dikatakan mengalami tahapan yang dapat bertahan cukup lama. Terlebih dengan meletusnya revolusi industry di Inggris, negara-negara industry mulai melancarkan ekspansi (bahkan okupansi) ke wilayah-wilayah di timur guna menemukan sumber daya alam dan sumber daya manusia (re : budak) sebagai penyokong kehidupan industry di negaranya. Dengan dalil 3G (gold, glory and gospel), mereka menyerbu dan membentuk koloni di wilayah jajahan. Sifat individualis tersebut akhirnya semakin kuat mengakar dengan munculnya kolonialisme dan imperialism ala barat ini. Seperti halnya roda, kadang di atas, kadang di bawah. Pada akhirnya, Karl Marx dan Fredrich Engels dua orang yang dapat dianggap sebagai pencetus lahirnya komunisme modern menelurkan berbagai macam teori-teori mengenai prinsip persamaan kelas dan cara hidup sama rasa sama rata. Dalam ajarannya, mereka menilai telah terjadi penindasan oleh kaum penguasa, baik itu pemerintah, kaum borjuis maupun para cendekiawan terhadap golongan proletar. Oleh karena itulah mereka menyerukan pentingnya revolusi kelas sosial ke arah yang lebih memberikan keadilan sosial bagi masyarakat kala itu. Semua ajaran yang tertuang dengan jelas baik dalam Das Capital maupun Manifesto Komunis itu mensyaratkan adanya sebuah kepemimpinan yang tegas dan berani dalam memberikan batasan atas kepemilikan pribadi maupun melarang terciptanya kesenjangan sosial ekonomi di kehidupan bermasyarakat. Ajaran ini pun diadopsi oleh negara-negara Eropa Timur kala itu dengan para revisionistnya, antara lain Lenin dan Stalin di Uni Sovyet, Pol Pot di Kamboja, Ho Chi Minh di Vietnam ataupun Kim Il Sung di Korea Utara.

Namun, karena pada dasarnya ajaran Marxisme tidak menerima adanya revisionisme dalam pengaplikasian teorinya, terjadilah penyimpangan-penyimpangan ajaran Marxisme murni oleh pemimpin-pemimpin tersebut. Mereka meletakkan kekuasaan tertinggi dan absolute di tangannya dan cenderung lebih bertindak secara otoriter ketimbang menjaga prinsip kesejahteraan sosial melalui persamaan kelas. Penyalahgunaan dan penyimpangan ini mulai terasa ketika pada akhirnya negara-negara penganut ajaran Marx sudah tidak dapat lagi menanggung akibat dari keotoriteran penguasanya. Uni Sovyet pasca Stalin runtuh menjadi negara-negara kecil dan menjadi lebih terbuka akan paham politik baru. Terlebih dengan terpilihnya Nikita Krushcev sebagai pemimpin anyar yang dengan ajaran glasnost-nya merestrukturisasi dan mereformasi tatanan sosial di Russia secara radikal. Di China pun terjadi hal yang sama. Deng Xiao Ping dengan kutipannya yang terkenal, “Aku tak peduli apa warna kucing itu, yang terpenting adalah Ia mampu menangkap tikus” membuka pintu selebar-lebarnya atas capital asing untuk membangun tatanan ekonomi negeri yang sempat carut marut karena kediktatoran pemimpin sebelumnya.

Dengan runtuhnya ajaran Marx, paham liberalisme dan kapitalisme yang merupakan prototype dari individualisme dan kolonialisme mulai merebak dan merajalela. Pada masa kini, dapat kita katakan bahwa paham tersebut sedang mengalami masa-masa keemasannya. Mengikuti arus globalisasi, paham ini menyebar luas tidak hanya di negara-negara maju, melainkan mulai merambah negara berkembang hingga negara miskin. Namun, patutlah disadari bahwa tatanan sosial masyarakat itu tidak statis, melainkan dinamis dan terus bergerak dalam satu siklus. Suatu saat nanti, niscaya, kejayaan duo liberalisme dan kapitalisme akan runtuh dan digantikan oleh tatanan baru yang entah kapan akan terjadi.

Merujuk pada siklus yang sejatinya hanya berputar-putar saja, tak dapatlah kita menafikkan bahwa hal serupa pun terjadi di negeri kita. Tatanan yang sama dan poros yang sama pula. Negeri ini kini hanya dimiliki oleh 3 golongan itu. Pemerintah, kaum borjuis atau istilah masa kini adalah orang-orang yang memiliki capital besar dan para cendekiawan atau kaum intelektual. Dan seperti biasa, kaum tertindas yang oleh Bung Karno disebut sebagai kaum Marhaen. Mereka yang tertindas oleh kebijakan dan sistem yang diciptakan oleh golongan-golongan (yang mengaku) pemilik negeri ini.

Ketika menengok ke belakang akan bagaimana awal berkembangnya komunisme modern yang dapat menyodok dan hingga mengguncang hegemoni kolonialisme-imperialisme saat itu, setidaknya dibutuhkan dua hal yang dapat menjadi trigger atau bahkan pemegang tongkat perubahan. Yakni suatu teori atau prinsip dasar sebagai landasan perjuangan dan bertindak oleh kaum revolusioner. Serta adanya sosok yang dapat menggerakkan massa tertindas ke dalam suatu Gerakan masive dan radikal demi menuntut kesejahteraan yang hakiki. Contoh paling hakiki adalah tercetusnya ajaran marxisme sebagai embrio dari paham komunisme modern oleh Marx dan Engels selaku kaum cendekiawan dan adanya sosok pemimpin macam Lenin, Stalin, Pol Pot, Ho Chi Minh maupun Kim Il Sung, yang meskipun menyimpangi ajaran Marx, dapat menyatukan kekuatan rakyatnya untuk melawan paham kolonialisme dan Imperialisme saat itu.

Menilik pada poin pertama, negeri ini sejatinya sudah memiliki dasar yang kokoh untuk dijadikan sebagai landasan dalam menciptakan tatanan sosial yang baru. Yakni Pancasila. Ya, pancasila yang kini menjadi ideologi negara tidak pernah benar-benar menjadi suatu landasan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Eksistensinya dalam kehidupan masyarakat jauh lebih kecil daripada yang seharusnya terlaksana. Pancasila sebagai suatu intisari kehidupan bangsa Indonesia selama berabad-abad, bahkan sebelum lahirnya negara ini, merupakan buah pemikiran mendalam yang dicetuskan oleh founding fathers kita yang notabene saat itu adalah bagian dari golongan intelektual.

Berpindah pada poin selanjutnya, struktur suatu bangsa tidaklah jauh berbeda dari kumpulan orang-orang senasib dan satu pandangan akan tujuan hidup. Dan dalam mengintegrasikan seluruh keinginan dan kepentingan yang tentunya beragam pula, dibutuhkan sosok atau figure yang dapat menyatukan dan memberi kepastian akan terakomodasinya seluruh aspirasi masyarakat yang dipimpinnya. Dan perlu diakui bahwa kini, negeri ini, telah kehilangan sosok pemimpin itu. Ia yang dipercaya dan sanggup menjalankan tugasnya sebagai pemimpin yang menjadi patron dari rakyatnya atau sebagai sang penyambung lidah rakyat.

Lalu, dimanakah kekurangan negeri ini? Ya, pada sosok pemimpin yang dapat mengambil hati rakyatnya. Bukan sekedar mengambil hati rakyatnya, namun kemudian lupa akan mereka ketika sudah duduk nyaman di kursi kekuasaan. Dimanakah kita bisa menemukan figure seperti itu?

Jika membuka lembaran sejarah bangsa ini, para founding fathers kita terlahir dan dibesarkan dalam dunia pendidikan dan akademik. Soekarno, Hatta, Sjahrir, dll. adalah sebagian kecil dari sebagian founding fathers kita yang berlatar belakang sebagai cendekiawan atau intelektual muda saat itu. Mereka adalah intelektual yang komplit. Dilatih dan diasah kepekaan sosialnya oleh keadaan. Mengakibatkan kesatuan persamaan dan prinsip dalam benaknya. Bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan untuk menunjukkannya ke mata dunia, Indonesia haruslah menjadi sebuah negara yang merdeka. Agar negara kita memiliki nilai di mata pergaulan dunia internasional dan menjadi lebih dihormati eksistensinya.

Lalu, ketika negeri ini sudah memiliki contoh bagaimana kaum intelektual dapat memposisikan diri mereka dengan seharusnya, mengapa masih saja ada kerancuan pola berpikir oleh mereka, kaum intelektual muda pemegang tongkat estafet kekuasaan pemerintahan?

Ada banyak alasan yang menjadi alasan atas kebutaan dan ketidakpekaan mereka. Namun, semuanya pada akhirnya bermuara pada satu titik permasalahan fundamental. Mereka telah dijebak oleh system. Para intelektual sendiri telah mengkotak-kotakkan dirinya masing-masing. Ada yang secara langsung dan terang-terangan menjadi bagian dari penyokong pemerintah yang korup, seperti dalam ajaran Manifesto komunis. Namun sebagian dari mereka “dibuat” amnesia oleh pemerintah lewat penyibukan secara akademis. Kaum intelektual dituntut agar dapat menjadi mesin pencetak teknokrat dan birokrat kelak. Mereka sejak di dalam kampus sudah didoktrin bahwa tugas mereka hanyalah belajar dan tidak jauh-jauh dari urusan akademis belaka. Hal inilah yang semakin menumpulkan pisau nalar dan kepekaan para intelektual muda kita. Mereka tidak pernah tau bahwa yang memisahkan diri mereka dengan jutaan rakyat tertindas di negeri ini hanyalah setebal tembok kampus mereka. Namun ketidak pekaan itu justru membuat batasan yang ada Nampak begitu besar dan tebal. Bahkan teriakan kaum tertindas itupun tak terdengar sedikitpun.

Merujuk pada realita yang kita hadapi saat ini, dapat dikatakan bahwa tatanan sosial di masyarakat kita sedang dalam fase kritis. Berbagai isu perpecahan dan ancaman disintegrasi mulai merebak, permainan kotor ala penguasa semakin mejadi-jadi. Jika boleh dianalogikan, kita ini bagaikan katak dalam sebuah kuali yang dipenuhi oleh air. Jika katak tersebut dimasukkan ke dalam kuali yang tengah berisi air yang sangat panas, si katak akan secara refleks melompat keluar. Namun, jika katak itu dimasukkan ke dalam air biasa, dan mulai dipanaskan, katak tersebut tidak akan melompat keluar. Ia akan tetap berada di sana, hingga rasa panas itu mulai menjadi, dan sudah terlalu terlambat untuk menyadarinya atau bahkan menghindarinya. Dan si katak pun akhirnya mati dalam genangan air mendidih itu.

Ini pula yang sedang dan akan kita hadapi bersama-sama. Suatu keadaan yang jika dilihat dari sudut pandang objektif dan independen, akan sangat memprihatinkan. Dibutuhkan lebih dari sekedar kesadaran dan kepekaan kita, kaum intelektual negeri ini, yaitu optimisme dan keberanian dalam menentukan pilihan. Menjadi intelektual yang memposisikan diri sebagai kaum tertindas atau justru semakin menenggelamkan diri dalam lautan kekuasaan yang penuh intrik dan konflik kepentingan golongan.

Sejatinya, di negeri ini, telah terjadi pembiasan yang luar biasa jauh antara garis politik-hukum dan garis moralitas-kemanusiaan. Tidak pernah tercapai pertemuan diantaranya. Dan ketika hal itu terjadi, kita, yang memegang tongkat kendali seharusnya bisa mengambil langkah dan putusan untuk segera menyatukan dan mempertemukan kedua garis yang hilang tersebut.

Memang, jika titik singgung antara moralitas dan politik tak pernah bertemu, apa yang kita idamkan hanyalah sebuah tafsiran angan dalam mimpi belaka. Namun, bukankah hidup manusia tidak dan tak akan pernah menjadi suatu lukisan selesai hasil satu sapuan kuas yang pasti dari berbagai arah?

Maka dari itu, tak ada salahnya bukan, jika kita sejenak menuliskan sajak perubahan sembari mengayunkan kuas kehidupan, walau semuanya hanya membuat kita terasingkan dalam dunia mimpi yang sepi dan dingin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun