Mohon tunggu...
little fufu
little fufu Mohon Tunggu... Jurnalis - Pembelajar aktif

manusia sanguin melankolis yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Catatan Manusia Turning Seperempat Abad

31 Mei 2024   16:30 Diperbarui: 31 Mei 2024   20:09 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://media.baamboozle.com

Tulisan ini lahir dari sebuah kalimat tanya, “Kenapa dulu pengen banget cepet jadi orang dewasa?”, mengingat kenyataan saat ini bahwa menjadi dewasa tidak semenyenangkan itu. Mulai dari menghadapi transisi masa kecil yang terstruktur dan siap saji menuju masa dewasa yang penuh ketidakpastian, pencarian, keambiguan dan keberagaman.

Yup, welcome to turning seperempat abad. Masa yang bagi kebanyakan manusia adalah masa penuh ketidakpastian, feeling lost dan masa mempertanyaakan tujuan hidup. Kiranya, mayoritas Gen Z saat ini merasa demikian, me-included. Rupanya fenomena krisis identitas di usia seperempat abad itu nyata adanya. Dulu, pernah beranggapan bahwa krisis tersebut dapat dihindari dengan fokus sama cita-cita dan just let it flow. But, here I am. Korban fenomena quarter-life crisis yang rupanya tidak semudah itu befty.

In my case, semakin dewasa segalanya terasa semakin complicated. Mulai mempertanyakan purpose hidup, “Who do you want to be?”. Mulai mengemban banyak tanggungjawab, terlebih tanggungjawab atas diri sendiri. Semakin di bombardir pertanyaan template seperti “Kapan wisuda?”, “Kapan kerja?”, “Kapan nikah?” dan pertanyaan “kapan-kapan” lainnya. Dituntut untuk lebih wise dalam menghadapi masalah. Terakhir, semakin dewasa saya dituntut untuk lebih menjadi manusia.

Kita sering mendengar bahwa hidup adalah proses pembelajaran yang berkelanjutan. Rupanya kalimat tersebut berdampak besar jika kita mau mendalaminya. Sedikit cerita tentang salah satu fenomena di usia 20-an yang sedikit-banyak cukup mengubah hidup saya.  Fyi,  saya adalah manusia yang cukup perfeksionis dan merasa kerepotan untuk memenuhi standar tinggi yang diciptakan sendiri. Ini saya 2 tahun yang lalu. 

Saya yang saat ini merasa mulai membiasakan diri dengan ketidaksempurnaan. Rupanya fenomena lulus perkuliahan di semester 9 a.k.a lulus tidak tepat waktu adalah momen yang mengantarkan saya di versi saat ini. Saat itu, selama satu semester penuh (Semester 8), saya hanya berkutat pada pencarian topik tugas akhir yang unik, belum pernah dibahas dan menarik. Intinya, menghindari topik yang menurut saya itu biasa-biasa aja atau pasaran. Kalau diingat-ingat, hampir gila saat itu.

Kalau sekarang ditanya, apa ada penyesalan? I think, absolutely not. Kenapa? Karena masa penyelesaian tugas akhir perkuliahan (Skripsi) selain masa gila-gilanya, masa tersebut juga merupakan masa yang benar-benar merombak isi otak seorang aku. 

Mulai dari belajar melonggarkan cengkeraman obsessed with perfection, belajar untuk mengenal diri sendiri lebih dalam, belajar menerima keadaan, belajar mengendalikan ekspektasi, new hobbies unlocked (Melukis, berkebun, ngelamun di laut), belajar jujur sama diri sendiri dan belajar mengatur ritme hidup. Pernyataan bahwa hidup adalah proses pembelajaran yang berkelanjutan adalah benar adanya.

Rupanya ketersesatan saya saat itu mengajarkan banyak hal. If I think about it, setiap orang pasti pernah merasa “tersesat”, gagal, sedih dan perasaan kelabu lainnya dari waktu ke waktu. Kata orang-orang, tugas manusia adalah mencari, mengembara, dan berjuang menemukan jalan pulang yaitu kondisi normal kita. 

Mengingat bahwa kejadian tersebut terjadi tepat 2 tahun yang lalu and here I’m, menyadarkan bahwa salah satu kunci menghadapi fenomena turning seperempat abad adalah bertahan. Mungkin terkesan too early untuk menyimpulkannya, tapi dengan kita mencoba tetap bertahan ditengah huru-hara kehidupan, pada akhirnya waktu akan menuntun kita untuk keluar dari perasaan kelabu tersebut. I think, bertahan dan percaya bahwa kita bisa melalui masa-masa tersebut adalah modal utama.

“Bertindak sebagai manusia adalah suatu hal yang utama”, ucap salah satu penulis dalam bukunya. Sepotong kalimat yang cukup mengusik jiwa perfeksionis ini di masa penyelesaian tugas akhir, bagaimana tidak? Kalimat tersebut cukup ampuh mengingatkan bahwa manusia tidak ada yang sempurna. 

Sejak kapan manusia itu sempurna tanpa celah? Manusia selalu memiliki ruang kesalahan. Itulah manusia. Maka, bertindaklah sebagai manusia. Lucunya adalah kalimat tersebut datang disaat yang tepat, setelah ujian proposal tugas akhir. Saya yang dengan percaya diri menganggab bahwa proposal ini akan sempurna dan mendapatkan apresisasi oleh para penguji, rupanya berbanding terbalik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun