Mohon tunggu...
Pendidikan

Penerimaan Siswa yang Berkeadilan demi Pendidikan yang Berkualitas

25 Mei 2015   11:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:38 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1432527025681277329

Rintisan Sekolah Berstandar Internasional, maupun sekolah Berstandar Nasional yang diselenggarakan berdasarkan  20 tahun 2003 pasal 50 ayat 3 telah dibubarkan dari sistem pendidikan di Indonesia oleh MK. Sistem pendidikan yang dirasakan tidak berkeadilan itu bagi saya hanyalah pintu gerbang emas yang terbuka lebar untuk peluang yang sebesar-besarnya korupsi pendidikan. Bagaimana tidak, seorang siswa yang tidak pernah lebih dari ranking II selama belajar di sekolah sebelumnya, dan peraih nilai UN tertinggi, tetapi tidak dapat masuk di 2 sekolah favorit di kotanya sendiri karena tidak lolos tes seleksi di SBI. Sementara selama 3 tahun di sekolah grade ke 3 hanya beberapa kali menjadi juara II paralel karena sedang tidak mood belajar saja. Sisanya tidak pernah terkalahkan, meskipun di sekolah itu dia melampiaskan kekesalannya dengan menjadi troublemaker. Meskipun tidak pernah memperhatikan di kelas dan sering di setrap oleh guru, namun sekolah tidak punya alasan mengeluarkan karena memang prestasinya tak tertandingi.

Sudah 2 tahun sistem penerimaan siswa sekolah yang salah kaprah tersebut dibubarkan dan sistem PPDB online kembali menjadi favorit orang tua calon siswa secara lebih luas. Sistim PPDB online memang telah bertahun-tahun dijalankan di berbagai kota untuk menjaring calon siswa secara fair. Wali siswa percaya keabsahan sistem penerimaan siswa dengan sistim online ini.

Namun 2 tahun pasca dibubarkannya SBI dan RSBI beberapa orang tua yang kritis mulai mempertanyakan kehandalan sistem ini. Seperti sitem informatika pad umumnya, semua buatan manusia yang tidak mungkin mencapai kesempurnaan 100%. Berawal dari kecurigaan seorang siswa terhadap teman sekolahnya yang bisa satu sekolah dengan dia, penulis mencoba menganalisa kemungkinan kecurangan yang dapat dilakukan oleh sekolah (tentu saja atas permintaan orang tua yang berambisi tinggi dengan janji imbalan) agar calon siswa tertentu tidak terlempar ke sekolah dengan grade berikutnya. Kita lihat screenshoot dari PPDB dengan total nilai 29.85 berikut :

[caption id="attachment_367592" align="aligncenter" width="348" caption="ppdb online"][/caption]

Poin yang dilingkari adalah poin yang paling mudah dimainkan. Tanpa bukti image yang dapat dilihat oleh publik seperti informasi tulis yang tercantum di situs tersebut, penambahan poin dapat lebih mudah dan fleksibel untuk dimainkan. Siapa yang tahu calon siswa tersebut memiliki prestasi apa, jika tiba-tiba saat penerimaan online dia memiliki poin yang cukup besar. Bahkan secara spektakuler seorang siswa bisa memiliki poin sampai belasan. Tanpa bukti scan dari piagam asli yang digunakan untuk poin prestasi (atau bahkan poin lingkungan) maka nilai poin masih dapat dengan udah dimainkan tanpa resiko, dengan demikian, permainan penerimaan siswa baru yang mengarah kepada korupsi pun dapat dengan mudah dan aman dilakukan.

Demi masa depan bangsa yang lebih baik, mestinya pemerintah lebih tegas dalam mengelola sistem pendidikan. Sekolah gratis yang akhirnya hanya menjadi wacana kosong, karena siswa tetap di paksa membayar iuran yang besarnya sama setiap siswa dan ditentukan oleh sekolah dan anggota komite sekolah yang notabene hanyalah orang-orang dengan ambisi tinggi namun tidak mau berbagi. Siswa miskin tetap diminta berbagai iuran yang jelas-jelas peruntukannya tidak akan menyentuh kepentingannya, mlainkan demi kepentingan anak-anak anggota komite tersebut.

Menurut BBC (http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2015/05/150513_majalah_asia_sekolah_terbaik)  tahun 2015 Indonesia hanya menempati urutan 69 dari 76 negara. Artinya dalam dunia pendidikan kita hanya menjadi pemimpin dari negara-negara miskin dan penuh konflik seperti Maroko, Honduras, Afrika Selatan dan Ghana. Mungkin 4 negara yang saya sebutkan itu tidak memikirkan pendidikan untuk rakyatnya, karena para petingginya sibuk berebut kekuasaan, sehingga bisa dimaklumi kalau tingkat pendidikan di negara tersebut hampir tidak tersentuh. Tetapi Indonesia dengan anggaran mencapai 88,3 triliun rupanya hanya jatuh ke tangan-tangan yang salah (http://jakartagreater.com/wp-content/uploads/2014/12/apbn-2015-rincian.jpg). Uang yang begitu besar habis hanya untuk sertifikasi guru yang tidak dapat merata karena mulai tahun 2015 sertifikasi semakin dipersulit dengan syarat-syarat yang tidak masuk akal jika dibandingkan dengan cara mereka yang telah mendapatkan sebelum 2014/2015.

Sertifikasi bukan lagi menjadi pemacu semangat kerja guru, tetapi telah jatuh ke nilai konsumerisme dan gaya hidupdan saling dengki sesama guru. Coba perhatikan lebih seksama. Guru perempuan yang mendapatkan sertifikasi rata-rata  akan saling bersaing memamerkan tas kerja yang harganya mencapai jutaan rupiah, meskipun nyata-nyata itu adalah barang merk aspal. Jarang guru bersertifikasi yang mau menggunakan tas berharga dibawah Rp.100.000 kecuali memang hidupnya telah terpuruk ke dalam hutang sebelumnya. Jam tangan mewah, gadget yang digunakan bukan peruntukkannya, jajan di restoran mewah dan sebagainya  karena kemakmuran yang berlebih. Memang tidak semua guru bersertifikat berperilaku buruk seperti yang saya sebutkan, tetapi kenyataan bahwa pendidikan kita hanya memimpin 6 negara penuh konflik, artinya anggaran yang dari tahun ke tahun ditingkatkan dengan nilai spektakuler itu tidaklah ada gunanya bagi bangsa, dan pantas untuk dipertimbangkan kembali.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun