Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Honorer, Tragedi Pendidikan yang Tak Berkesudahan

25 November 2019   12:58 Diperbarui: 25 November 2019   13:19 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sektor pendidikan di Indonesia dari waktu ke waktu terus bergulat dengan satu isu besar, guru honorer. Potret tenaga guru honorer seperti menjadi gambaran, bagaimana tata kelola guru di Indonesia oleh pemerintah, di tingkat pusat sampai daerah. 

Jumlah tenaga guru honorer secara nasional menurut data Kemendkibud pada 2018 sebanyak 728.461 orang. Angka ini tidak termasuk Guru Tidak Tetap (GTT) provinsi sebesar 190.105 dan  kabupaten 14.833 orang. Jumlah ini kemudian memantik munculnya isu krusial seperti kelayakan pengupahan, tunjangan dan  tanggungan asuransi bagi para guru honorer, dengan tekanan terus berada di pundak pemerintah. 

Maka lahirlah beberapa skema  kebijakan untuk mengakomodir perbaikan kesejahtraan guru-guru honorer yang mengabdi di sekolah-sekolah negeri. Tercatat, pemerintah pernah melakukan rekrutmen para guru honorer menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan klausul Katagori 1 dan 2, dan skema terbaru melalui Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). 

Sayangnya, Skema pengangkatan menjadi ASN belum signifikan menghasilkan angka zero guru honorer, sekaligus  meredam laju pertambahan secara kuantitas. Jumlah guru honorer justru tampak semakin bertambah.

Di Nusa Tenggara Timur, jika ditelusuri, ada beberapa faktor pemicu meningkatnya jumlah guru honorer. Pertama, tingginya  angka pertambahan sekolah baru. Dinas Pendidikan Propinsi dan Kabupaten merespon usulan pendirian sekolah oleh masyarakat dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) operasional. Sayang, SK itu tidak didukung dengan ketersediaan sumber daya manusia tenaga pengajar,  termasuk fasilitas belajar.

Sebagai contoh, pada jenjang SMA/SMK terdapat puluhan sekolah baru yang tersebar di seluruh kabupaten/kota.  Singkat cerita, sekolah berdiri tanpa tenaga pengajar memadai. Tugas rekrutmen guru lantas menjadi beban kepala sekolah baru itu. Maka kemudian muncullah guru honorer komite, yang diangkat dengan SK kepala sekolah dan sumber penggajian berasal dari iuran komite siswa. Belakangan, guru honorer jenis ini mengundang banyak perdebatan karena keberadaan mereka berdampak pada penerapan kebijakan iuran komite di sekolah.

Selain sekolah baru, sekolah dengan sistem belajar kelas jauh (filial) juga berkontribusi pada pembengkakan jumlah tenaga honorer. Faktanya, banyak sekolah induk yang menyelenggarakan kelas jauh justru kekurangan tenaga pengajar. Dampaknya, rekrutmen guru honorer menjadi opsi pendukung jalannya kegiatan belajar di kelas jauh.

Kedua, trend peningkatan jumlah peserta didik  di berbagai jenjang pendidikan juga mendorong pihak sekolah meresponnya dengan penambahan tenaga guru. Otoritas sekolah harus memenuhi kebutuhan ketersediaan tenaga pendidiknya, untuk mengimbangi pertambahan jumlah siswa. Apa lagi jika ada guru ASN pada sekolah bersangkutan memasuki usia pensiun atau meninggal, yang berdampak pada kurangnya tenaga guru. 

Maka sekali lagi, manajemen sekolah tidak punya pilihan lain kecuali merekrut tenaga guru honorer. Ini tentu saja kontraproduktif dengan Peraturan Pemerintah  Nomor 48/2005 Jo PP No 43/2007 tentang larangan perekrutan guru honorer baik oleh kepala sekolah maupun otoritas pemerintah di daerah.

Akumulasi dari situasi demikian memantik terjadinya penumpukan tenaga guru honorer yang semakin banyak. Di sisi lain, pemerintah belum punya instrumen kebijakan yang efektif untuk mengantisipasi situasi tersebut. 

Sementara itu, universitas terus giat mencetak ribuan calon guru.   Tingginya angka produksi calon guru dari kampus sebagai mesinnnya, tidak sebanding dengan tingkat keterserapan di pasar kerja. Dampaknya, banyak tenaga guru yang terpaksa bekerja dengan bayaran jauh di bawah standar upah propinsi (UMP), apalagi nasional. Tingginya stok tenaga guru di tengah permintaan pasar kerja yang minim menempatkan mereka dalam posisi tawar yang lemah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun