"Di era internet ini, 'kepakaran' sudah tidak diperlukan, karena wacana publik sudah dikuasai oleh kaum awam yang menggunakan media sosial. Pengamat politik, kritikus film, dan pengamat olah raga kalah oleh netizen. Sekarang ini kalau di stadion ada 50 ribu penonton sepak bola, maka sebanyak 50 ribu itu pakar sepak bola. Semua bisa bikin opini dan menyebarluaskannya", Bre Redana.
Dari perspektif dunia kepenulisan, pandangan Bre Redana, wartawan senior lulusan School of Journalism and Media Studies, Darlington Inggris ini, bisa dimaknai secara positif. Di era informasi saat ini, jutaan peristiwa menarik terjadi di berbagai tempat di dunia. Tokoh-tokoh inspiratif bermunculan di mana-mana.Â
Tempat eksotik dan keindahan alam juga terletak di banyak belahan dunia. Berita dan fakta-fakta unik bertebaran di semua tempat. Semua itu makanan empuk media. Media, baik printed maupun on line tentu saja ingin menyebarluaskannya, sayang sumber daya mereka terbatas.Â
Para jurnalis dan reporter tidak mungkin berada di setiap tempat. Jangkauan mereka terbatas. Media menyadari ini, dan tahu ada pihak yang bisa membantu. Siapa? Pembaca/penonton/masyarakat/publik.Â
Unsur di luar media inilah yang coba dilibatkan dalam rangka mengcover hal, peristiwa atau berita penting yang luput dari tugas awak media. Maka kemudian di banyak media, muncullah rubrik Jurnalisme Warga (citizen journalism).Â
Transformasi media dari printed media ke platform digital, lantas berkontribusi besar pada peningkatan partisipasi publik dalam menyebarluaskan informasi. Tentang ini, Kompas melakukan terobosan fantastis dengan mengembangkan platform khusus menulis bagi warga, Kompasiana.Â
Diawali dari rubrik sederhana di versi cetak, lalu berubah menjadi platform blog digital, Kompasiana kemudian berkembang menjadi platform raksasa, rumah bagi penulis-penulis dari berbagai penjuru Indonesia.
Di Kompasiana, lahir silih berganti ratusan tulisan dengan topik menarik setiap hari. Secara kuantitas, volume informasi yang ditayangkan Kompasiana sangat banyak jumlah dan ragamnya. Ragam macam konten ditulis oleh para blogger dengan berbagai profesi membuat Kompasiana sangat kaya.Â
Rasanya ada sensasi tersendiri menulis di Kompasiana. Macam-macamlah sensasi itu. Meski tanpa deadline, tapi setiap penulis memiliki terget pribadi soal produktivitas tulisan dalam rentang waktu tertentu. Riset untuk memperkaya bahan tulisan pun menantang. Seperti biasa, sebelum rampung tulisan melewati proses self editing oleh si penulis.Â
Sampai ditayangpun, penulis biasanya masih penasaran tentang status tulisan, menjadi artikel pilihan atau artikel utama alias headline. Hal menarik lain adalah ketika memantau fluktuasi statistik, misalnya jumlah pembaca, pemberi rating dan komenttar, jumlah point dan lainnya. Perasaan ini seperti memacu adrenalin untuk terus menulis.Â
Bagi saya, menulis adalah doing hobby, tetapi menulis di Kompasiana tidak sekadar menyalurkan hobi. Menulis di platform ini memberikan cita rasa baru as if being a journalist. Rasa ini seperti membawa saya kembali ke suatu waktu 17 tahun lalu. Bulan September 2001, dihadapan para dosen dan 40an rekan mahasiswa baru, dalam sesi welcome greetings, saya ingat betul, pada bagian cita-cita, dengan canggung saya bilang "I want to be a journalist".