Saya pernah menjadi santri. Walau hanya beberapa tahun yang mungkin terlalu sebentar. Saya pernah menjadi santri. Walau selama itu saya banyak mengabaikan sesuatu yang lazim dilakukan oleh seseorang yang berstatus santri, mengaji. Tetapi saya bangga pernah menjadi santri, setidaknya dari situlah saya memulai kehidupan baru. Kehidupan yang pada akhirnya membuat saya tumbuh berbeda dengan kebanyakan orang desa lainnya, mulai dari pergaulan, sifat dan tentunya cara pandang dalam menjalani kehidupan.
Jika kebanyakan remaja di desa seumuranku hanya sampai level SD dan mentok tingkat SMP kemudian lebih memilih untuk menjadi petani seperti umumnya masyarakat lainnya, maka saya beruntung bisa sampai pada tingkat mahasiswa “kuliah”. Tingkat pendidikan yang untuk saat ini masih sedikit peminatnya, ya bisa dihitung dengan jari. Itu tidak lain karena pengaruh pergaulan, selain kondisi ekonomi. Kenapa sekolah tinggi-tinggi, toh pada akhirnya jadi petani. Itulah cara pandang masyarakat di desaku saat ini yang masih cukup kental.
Banyak hal yang saya pelajari sewaktu menjadi santri. Tentang kebersamaan, kesederhanaan, ketawadhu’an dan tentunya tentang ilmu agama.
Di pesantren kerbersamaan antar santri terjalin begitu kuat meskipun berlatar belakang dan berasal dari daerah yang berbeda. Itu terjadi karena kesamaan nasib, sama-sama mencari ilmu. Intensitas pertemuan karena satu kamar atau sewaktu mengaji membuat hubungan emosioal terbangun laiknya sebuah keluarga.
Cuci baju sendiri, tidur dengan alas seadanya, makan makanan seadanya dan entah apalagi yang di situ kami belajar tentang arti kesederhanaan. Ya, di pesantren kami belajar tentang arti sederhana. Menjalani rutinitas dengan mandiri dan tentunya jauh dari kemewahan. Tak ada televisi, bangun pagi. Pokoknya serba sederhana.
Ketadhu’an. Dalam dunia pesantren, jargon sami’na wa ato’na begitu kental. Ketika seorang kyai menyuruh sesuatu, maka seorang santripun bergegas untuk segera melakukan titah kyai tersebut. Itu adalah bagian dari ketawadhu’an seorang santri kepada seorang guru. Sesuatu yang jarang di temukan di dunia pendidikan umum. Tak ada santri yang berani dengan kyai nya. Menunduk ketika berhadadapan, duduk tak sejajar dengan tempat duduk kyai, bahkan dalam jarak satu meter pun ada seorang santri yang berjalan dalam keadaan jongkok.
Tentang ilmu agama. Jangan ditanya lagi. Pesantren adalah gudangnya. Hanya saja segala sesuatu tergantung pada diri masing-masing santri. Artinya mereka yang bersungguh-sungguh, maka mereka pun akan menguasai ilmu agama. Pun sebaliknya.
***
Selamat Hari Santri Nasional. Semoga dengan penetapan hari santri ini bisa membuat kaum pesantren menjadi lebih baik lagi. Bisa menangkal mereka yang salama ini berpikir negatif tentang pesantren. Bahwa pesantren dengan segala unsurnya adalah pondasi akhlak sebuah bangsa.
Banjarnegara, 22 Oktober 2015 08:17 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H