Masyarakat demikian hebatnya dengan menggaungkan suara mayoritas sebagai rujukan keterangan tertinggi yang mesti didengar dan ditaati. Persoalan benar atau tidak itu diurus nanti. Resiko menentang suara mayoritas adalah seperti yang dialami Hindun saat masa Pilkada DKI beberapa waktu silam.
Petugas KPPS mendatangi rumah Hindun untuk dimintai suaranya. Janda tua ringkih berusia 78 tahun itu menggunakan sisa tenaganya untuk mencoblos "asal-asalan", sekadar menggugurkan haknya. Beberapa orang menyaksikan secara jelas siapa yang dicoblos.
Karena yang tercoblos berbeda dengan pilihan kelompok mayoritas, ia pun menjadi bahan pergunjingan warga Karet Setiabudi Jakarta Selatan. Warga mencap dirinya sebagai pendukung penista agama.
Beberapa waktu kemudian ia wafat di tengah kisruh politik ibu kota. Jenazahnya tidak disolatkan di Mesjid, tetapi di rumah oleh keluarga dan empat orang tetangga. Begitu keterangan Neneng, putri bungsu Hindun, dilansir dari liputan6.com.
Tragis memang apa yang dialami oleh Hindun, tapi inilah kondisi yang diidap masyarakat. Perbedaan jalan antara mayoritas dan minoritas menimbulkan beragam konflik. Mayoritas dianggap sebagai kelompok yang memiliki sumber daya untuk melakukan kekeliruan tanpa merasa bersalah.
Lihat lagi, misalnya, warganet terhormat dengan jumlahnya sebanyak buih di lautan. Belakangan ini mereka dilabeli sebagai kelompok mayoritas yang segala ucapannya adalah sumber kebenaran yang mesti didengar dan ditaati.Â
Meskipun begitu, jumlah yang banyak, sebetulnya, bukan jaminan adikuasa. Mayoritas bukan dalih yang tepat untuk menyudutkan kelompok minoritas. Terlebih lagi bila pangkat "mayoritas" yang disandang itu membuatnya angkuh, lantas bertindak diskriminatif terhadap kelompok yang dianggap minoritas.
Kelompok minoritas juga tampaknya makin cerdik. Ia dengan sengaja menggunakan label "minoritas" untuk membuat dirinya seolah lemah agar peroleh simpatik. Kelompok ini paham betul dengan definisi kelompok "minoritas" yang diungkapkan oleh sosiolog Louis Wirth yaitu sebagai orang yang dipilih untuk diperlakukan tidak setara dan yang menganggap diri mereka sebagai objek diskriminasi.
Indikator minoritas tidak selalu dari segi jumlah. Misalnya yang terjadi di India dan Afrika Selatan sebelum keduanya meraih kemerdekaan.
"Sejumlah kecil penguasa kolonial melakukan diskriminasi terhadap puluhan juta orang India. Demikian pula di kala Afrika Selatan yang mempraktekkan apartheid, orang berkulit putih yang berjumlah lebih sedikit melakukan diskriminasi terhadap sejumlah besar orang kulit hitam" tulis James M. Heslin dalam Essential of Sociologi.
Apa yang terjadi di Indonesia pada masa silam tidak jauh berbeda. Diskriminasi gandrung dilakukan oleh penjajah. Rakyat hanya dianggap sebagai tikar yang dapat diinjak seenaknya sebagai pengalas dan batu pijakan meraih kesuksesan. Jangankan menempuh pendidikan di sekolah yang mereka dirikan, berinteraksi pun mereka enggan. Rakyat ketika itu diberlakukan semena-mena. Tetapi, apakah waktu itu jumlah rakyat nusantara sedikit?