Mohon tunggu...
mad dulloh
mad dulloh Mohon Tunggu... -

Pencinta seni

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bagaimana Nasib Bejo dan Mainan Wajib SNI

5 April 2014   02:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:04 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1396612920607939667

Seperti kita ketahui, Pemerintah akan memberlakukan SNI Wajib untuk mainan anak yang diperdagangkan di seluruh Indonesia mulai 1 Mei 2014. Jauh sebelumnya, Kementerian Perindustrian telah mengumumkan penerapan baru terkait mainan untuk anak-anak bahkan berlaku pada sejak 10 Oktober 2013, walaupun pada akhirnya baru akan berlaku pada tanggal 30 April 2014.

Indonesia merupakan pasar mainan yang sangat potensial dan mencatatkan nilai impor mainan mencapai 75 juta dollar amerika per tahun. Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan, 95% mainan impor berasal dari China. Peredaran mainan impor China tidak hanya dapat ditemukan di kota-kota besar saja, namun sudah merambah hingga pelosok-pelosok desa yang jauh dari perkotaan. Kualitas permainan impor tidak seluruhnya terjamin dan memenuhi standar. Bahkan banyak juga mainan 'sampah' yang masuk kerumah kita.

Lalu bagaimana dengan mainan tradisional?
Gangsing seolah tak lepas dari hidup Bejo (38). Hampir 30 tahun, dia 'bersahabat' dengan gangsing. Bejo setia membuat dan menjajakan mainan tradisional itu di tengah Metropolitan. Tak hanya gangsing, Bejo juga menjual mainan tradisional lain yakni seruling maupuun alat tiup mirip burung. Dari berbagai mainan anak ini, gasing dari bambulah yang paling diburu pembeli. Setiap harinya, Bejo mampu mendapatkan uang minimal 100 ribu rupiah. Jika beruntung, ia dapat meraup hingga 350 ribu rupiah.

Untuk mendapatkan penghasilan maksimal, dia memproduksi sendiri barang dagangannya tersebut. Tiap 2 minggu sekali dia pulang kampung ke desanya di Wonosari, Gunung Kidul Yogyakarta untuk membuat mainan anak. Untuk mendapatkan bahan baku mainan, dia harus berburu bambu tulup hingga Tulung Agung atau Nganjuk. Ini dilakukan guna mendapatkan kualitas suara yang bagus untuk seruling dan alat tiup mirip burung. Jika sedang beruntung, dia mendapat order yang cukup besar hingga 500 gangsing.

Dengan diberlakukannya SNI Wajib mainan anak, Bejo tidak mungkin dapat memenuhi kewajiban untuk 'melabelkan' SNI pada gangsing dan serulingnya. Kabarnya, untuk mendapatkan label SNI, harus merogoh kocek 5 sampai 7 juta rupiah. Jelas angka tersebut sangat mustahil dipenuhi oleh Bejo yang menjajakan dagangannya mulai dari 5000 - 10 ribu rupiah.

Tentu saja masih banyak Bejo- Bejo yang lain di negeri ini yang menggantungkan nasibnya dengan memproduksi dan menjajakan mainan tradisional. Apakah mainan tradisional ini hanya akan kita ceritakan kelak kepada anak cucu kita? ataukan Bejo harus kucing-kucingan dengan aparat demi mengisi periuk keluarganya? Haruskan anak-anak Bejo putus sekolah?

Kiranya pemerintah harus memikirkan dampak dari pemberlakuan SNI Wajib mainan anak terutama kepada kaum-kau seperti Bejo. Kebijakan ini bertolak belakang dengan visi pemerintah untuk memberantaskan kemiskinan dan pengangguran.

Pemberlakuan SNI Wajib ini hanya untuk kalangan kelas kakap yang tentu saja bukan saingan Bejo dan kawan-kawan. Ini hanya menguntungkan kaum borjuis atas nama SNI!! Saya bukan anti SNI, namun perlu diperhatikan aspek-aspek yang dapat menghancurkan perekonomian rakyat dan tentu saja seni dan budaya bangsa Indonesia. Jangan selalu memenuhi permintaan kapitalis!! tapi lihat rakyat kecil yang semakin menderita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun