Pukul dua belas tengah malam. Pintu kubur M@cver digedor dengan kasar. Lelaki itu terperanjat. Segera dia mengintip dari lobang kunci. Sinar bulan lima belas Sya’ban terang benderang di luar.
M@cver makin terkejut bercampur heran melihat keempat orang yang datang menggedor pintu kuburnya itu. Perempuan cantik itu adalah istrinya yang sampai saat ini masih tetap menjanda. Dua orang pemuda ganteng itu pasti anaknya. Sebab baik wajah maupun postur tubuh mereka jelas bak fotokopi dirinya. Atletis! Yang seorang lagi gadis kecil, cantik seperti istrinya. Apakah dia anak bungsuku yang baru berumur setahun ketika aku mati? Tanya M@cver dalam hati.
Pintu kubur M@cver digedor lagi. Lebih keras.
Lelaki itu membuka pintu.
“Pak…” sapa perempuan cantik itu.
M@cver hanya mengangguk. Malu dia pada istrinya itu. Dua belas tahun sudah dia menjadi janda, menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Dengan segala kekuatan yang ada, dia berusaha memberi nafkah dan pendidikan anak-anaknya. Untunglah sejak gadis dia biasa menerima jahitan pakaian wanita. Perempuan itu juga sangat setia pada suaminya. Dia rajin sekali ziarah ke kubur suaminya. Tetapi baru kali ini dia membawa serta anak-anaknya berziarah.
“Ini anak-anak kita, Pak…” ujarnya kemudian. “Dzikri, anak sulung kita, baru lulus Sarjana Hukum. Royyan, sebentar lagi ujian SMA. Dan ini, yang cantik ini, Zhia, anak bungsu kita, baru kelas dua SMP.”
M@cver mengangguk kembali sambil tersenyum.
“Ayo Dzikri, Royyan, Zhia, peluk ayah kalian,” bujuk perempuan itu selanjutnya.
Dzikri segera merangkul ayahnya. Erat sekali. Sebutir air bening menetes dari kelopak matanya. Dzikri baru berumur dua belas tahun ketika ayahnya meninggal. Dia sudah dapat merasakan pukulan terhadap keluarganya saat ayahnya di-PHK, tiga tahun sebelum orangtuanya meninggal dunia. Dzikri juga terlibat langsung mengatasi kesulitan hidup keluarganya. Mereka kemudian, atas saran seorang kenalan, membuka toko buku sederhana. Sampai saat ini usaha itu menjadi penyangga utama kehidupan keluarga. Lalu sejak ayahnya meninggal, beban Dzikri bertambah berat. Sebagai anak sulung dia bertanggungjawab membantu ibunya mengurus keluarga. Pagi dia sekolah, sore menjaga toko buku. Sementara ibunya sibuk dengan pesanan jahitan pakaian wanita.
M@cver menepuk pundak Dzikri, ketika anak sulungnya itu melepaskan pelukan.
Kemudian giliran Royyan. Anak ini berumur tujuh tahun waktu ayahnya meninggal dunia. Royyan menjabat tangan ayahnya sekenanya saja. Tak bergairah. M@cver maklum. Anak itu mungkin terpengaruh oleh tata karma remaja masa kini. Bagi mereka sungkem kepada orang tua dianggap sama saja dengan terhadap teman sebaya.
Selanjutnya merupakan puncak kerinduan seorang ayah terhadap anaknya. Dua belas tahun yang lalu M@cver sering menggendong anak perempuannya itu pada waktu senggangnya. Kala itu secara diam-diam, sebenarnya kasih sayang M@cver terhadap si Zhia melebihi kasih sayangnya terhadap kedua anak lelakinya. Kini M@cver ingin sekali menggendong anaknya itu, seperti dulu. Memeluk dan menciumnya seperti dulu.
Dengan segala rasa rindu yang tak tertahankan, M@cver berusaha memeluk Zhia, anak bungsunya itu. Tetapi gadis kecil itu mengelak. M@cver terjerembab. Bibirnya membentur tembok kubur. Dengan punggung tangandia mengusap bibirnya. Merah. Bibir M@cver pecah!
“Zhia, anakku…” rintih M@cver.
Sang anak berkacak pinggang.
“Jadi kamulah yang bernama M@cver itu?!” tanya Zhia garang.
“Zhia!” bentak Dzikri. Ingin rasanya dia menampar anak itu. “Kurang ajar kau. Beliau Bapak kita. Bapakmu. Beliau dan ibu selalu mengajarkan tata karma kepada kita.”
“Dzikri. Biarkanlah dia menyampaikan keluhannya. Sekarang bukan zamannya lagi melarang orang bicara.” M@cver melerai.
“Memang. Saya sudah lama ingin melihat tampang orang bernama M@cver itu.” Gugat Zhia sengit. “Saya menyesal telah mencantumkan nama Anda pada Ijazah saya. Dulu saya kira Anda seorang malaikat seperti diceritakan Ibu dan Kak Dzikri. Belakangan saya mengerti, ternyata Anda seorang penghianat. Gara-gara nama Anda di Ijazah dan Buku Rapor saya itu, saya ditolak menjadi Pelajar Teladan. Kak Royyan bernasib serupa. Tahun lalu dia dipecat sebagai ketua OSIS. Kak Dzikri gagal dalam tes wawancara untuk menjadi pegawai hanya karena mempunyai ayah bernama M@cver. Seorang penghianat bangsa.”
M@cver menelan ludah. Begitu cepat masyarakat ini berubah, pikirnya. Apakah guru-guru sekarang tidak pernah lagi mengajarkan tata karma di sekolah? Hah! M@cver mendesah.
“Dzikri, apa yang terjadi selama dua belas tahun ini?” tanya M@cver pada anak sulungnya.
“Bapak. Maafkan kami. Saya dan ibu ternyata gagal mendidik adik-adik. Memang opini massa lebih dominan sekarang. Mereka sering baca koran, mendengar radio dan menonton televisi. Dari semua itu dan sikap arogan sebagian manusia, mereka mengetahui bahwa orang-orang seperti Bapak ini kotor. Busuk dan penghianat bangsa. Siapa-siapa yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang seperti Bapak dianggap tidak bersih lingkungan. Termasuk kami,” jelas Dzikri pilu.
“Dan yang lebih tragis lagi,” sambung Dzikri. “Kami sering diasingkan dari pergaulan. Orang-orang takut bergaul bersama kami. Apalagi kawin dengan kami. Karena orang yang mertuanya saja seperti Bapak, juga dianggap kotor. Yang sudah bekerja bisa dipecat. Yang belum bekerja, tak mungkin mendapat pekerjaan.”
M@cver mengusap wajahnya. “Sampai begitu?” keluhnya.
“Ya. Kami semua tidak punya masa depan. Ini gara-gara Bapak,” dakwa Royyan. “Tapi apa sebenarnya yang telah Bapak lakukan pada masa silam, sehingga kami harus menanggung dosa-dosa Bapak dari masa ke masa?”
M@cver termenung. Peristiwa demi peristiwa kembali melintas di benaknya.
Lima belas tahun yang silam, M@cver dipecat dari perusahaan tambang, tempat dia bekerja. Sebanyak seribu lima puluh orang buruh kasar seperti dia mengalami nasib yang sama waktu itu. Mereka dipecat dengan alasan mereka dianggap sebagai anggota suatu serikat buruh tambang yang berafiliasi dengan suatu organisasi terlarang.
Sebenarnya M@cver sendiri tidak mengerti mengenai status keanggotaannya dalam serikat buruh itu. Memang sekitar sepuluh tahun sebelumnya dia pernah membubuhkan tanda tangan pada selembar formulir. Tetapi seingat dia, seluruh karyawan menandatangani formulir celaka itu. Karena kalau tidak mau menandatangani, orang itu akan diinterogasi. Diintimidasi. Bahkan didiskriminasi, kalau tidak dipecat.
Samar-samar M@cver masih ingat ketika berbondong-bondong menuju balai pertemuan milik perusahaan. Dalam pertemuan itu seorang tokoh perusahaan berpidato. Dia menjelaskan bahwa tujuan organisasi itu adalah untuk meningkatkan kesejahteraan anggota. Ditegaskan pula bahwa sebagai kaum yang loyal tentu saja semua karyawan harus menjadi anggota secara sukarela. Siapa yang tidak mau menjadi anggota diragukan loyalitasnya.
Hanya itu yang diketahuinya tentang organisasi itu. Selebihnya dia hanyalah sebagai karyawan biasa. Tidak pernah ikut organisasi, baik rapat-rapat maupun aksi-aksi massa.
“Hanya itulah yang Bapak lakukan, anak-anakku,” kata M@cver kemudian, setelah dia menjelaskan keterlibatannya dalam organisasi itu.
“Tapi mengapa kami menjadi korban?” tanya Royyan kurang puas.
“Untuk apa SH-nya Kak Dzikri, kalau semua orang menganggapnya sebagai wabah?” tanya Zhia pula. “Untuk apa saya sekolah dan berprestasi, kalau setiap prestasi yang saya ukir akhirnya dianulir? Untuk apa saya cantik, kalau tidak ada lagi lelaki yang mau menjadi pacar apalagi suami saya? Untuk apa?” Zhia menjerit histeris. Seperti harimau lapar dia menerkam M@cver. Dengan kuku-kukunya yang panjang itu, Zhia mencakar dada ayahnya yang lapang.
M@cver merengkuh tubuh anak gadisnya. Dibelainya rambut gadis itu. Kemudian diciumnya pipi anak bungsunya itu berkali-kali, seperti sering dilakukannya dua belas tahun yang lalu. Zhia seperti bayi saja berada dalam pelukan ayahnya.
“Zhia,” bisik M@cver kemudian. “Maafkan Bapak, nak. Engkau telah banyak menderita karena Bapak. Tapi yakinlah, tak ada orang tua yang bermaksud menyengsarakan anaknya. Bapak tak sejahat yang kalian duga.
Sabarlah, nak. Semua yang kalian tuntut itu hanyalah bersifat sementara. Hanya titipan Allah, yang tidak akan dibawa mati. Jabatan Ketua OSIS hanya setahun. Predikat teladan, belum tentu menjamin keberhasilan hidup. Banyak orang yang tidak teladan, tetapi sukses. Kemudian, kesarjanaan seseorang jangan dikira tidak berarti, hanya karena dia tidak diterima bekerja di instansi-instansi atau perusahaan besar.
Anakku. Yang penting, kerjakanlah apa yang sanggup engkau lakukan untuk menyambung hidup dengan jujur, adil dan tidak merampas hak orang lain. Biarkanlah semua orang mengatakan engkau kotor, sebab di hadapan Allah belum tentu orang itu lebih bersih daripada engkau.”
Zhia terkesima. Dia menatap wajah ayahnya dalam-dalam. Diam-diam dia merasakan kehangatan lain berada dalam pelukan orang yang hanya dia ketahui namanya saja selama ini.
“Jadi Bapak juga percaya adanya Allah,” tanya Zhia ragu-ragu. M@cver menoleh pada Dzikri.
“Dulu, Bapak kita seorang Khotib, Zhia…” jelas Dzikri.
“Oh… Maafkan Zhia, Bapak…” kata-kata itu nyaris tak selesai diucapkan Zhia, karena tangisnya telah meledak. Dan dia menyusupkan wajahnya ke dada ayahnya. Dalam-dalam.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H