Mohon tunggu...
Surtam A Amin
Surtam A Amin Mohon Tunggu... Freelancer - Peminat budaya

Kualitas nalar lebih penting daripada kuantitas gelar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Mayat di Tengah Kota

21 Maret 2014   21:43 Diperbarui: 13 Maret 2016   13:09 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1395408252189809619

[caption id="attachment_327766" align="aligncenter" width="606" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption]

Tiba-tiba saja aku sudah berada di kota ini. Aku tidak tahu persis awal kejadiannya. Sekarang aku sering lupa terhadap peristiwa yang kualami di masa lalu. Termasuk tentang identitas diriku sendiri. Bahkan terhadap peristiwa yang baru saja dan sedang terjadi. Satu-satunya yang masih aku ingat adalah nasihat pengacaraku sebelum aku benar-benar kehilangan mestika: ingatan.

“Berdasarkan hukum acara pidana, seseorang yang mengalami gangguan mental yang berat tidak dimungkinkan untuk diperiksa. Oleh karena itu apabila Tim Penyidik akan melakukan pemeriksaan, Bapak pura-pura hilang ingatan,” saran pengacaraku waktu itu.

“Bagaimana kalau nanti hilang betulan?” tanyaku cemas. “Maklumlah negara kita ini sangat luas. Sedangkan petugas pencarian kita masih sangat lamban. Beberapa aktivis pemuda yang hilang dulu itu saja sampai sekarang belum ditemukan juga!”

“Ah, itu lain, Pak. Pokoknya tidak usah khawatir. Di negara kita ini semuanya bisa diatur!”

Okelah kalau begitu. Tapi Anda harus bertanggung jawab, ya?” pintaku akhirnya. Aku terpaksa mengalah pada pengacaraku daripada harus menjalani pemeriksaan atas tuduhan kejahatan yang pernah kulakukan di masa lalu.

Matahari tengah mengangkangi kota ini, tatkala aku tiba di terminal bus kota. Sinar matahari terasa perih menyengat kulit kepalaku yang mulai botak. Bergegas aku menerobos kerumunan orang yang berebut menaiki bus entah jurusan mana. Bau keringat bercampur asap knalpot menusuk hidung. Seumur hidup, baru sekarang aku mencium bau tak sedap ini.

Ratusan atau mungkin ribuan kendaraan bergerak merayap seperti semut di atas ranting. Jalan kota ini seperti terlalu kecil untuk menampung kendaraan sebanyak itu. Berbagai jenis kendaraan saling berebut setiap jengkal jalan yang lowong. Tambahan kendaraan baru dan mewah setiap hari seolah-olah mengejek krisis ekonomi berkepanjangan yang melanda desa-desa di seluruh penjuru negeri.

Seorang pengamen cilik lewat di depanku. Mendendangkan lagu gugatan terhadap penguasa dengan suara sumbang. Kurang ajar juga orang yang mengajari anak ini bernyanyi, makiku dalam hati. Masa kecil-kecil sudah pintar mengutuk orang tua? Apakah di sekolah sekarang tidak diajari lagi pelajaran budi pekerti? Atau malah anak ini tidak pernah sekolah karena kemiskinan keluarganya? Kasihan! Ingin juga rasanya aku memberikan uang recehan, tapi aku tidak punya apa-apa.

Kota ini tampaknya semakin sempit saja. Luas bumi yang dihamparkan Tuhan di sini sudah tidak sebanding lagi dengan hasil kebudayaan manusia yang diciptakan secara kreatif dan inovatif. Menurut pemuda gondrong yang bergayut di sebelahku, kota ini sebagai tempat orang-orang serakah memuntahkan seluruh isi perut bumi yang dikuras dari desa-desa di seluruh penjuru tanah air. Orang-orang serakah itu bersenang-senang di sini dengan kegendutannya. Sementara orang-orang desa tetap kurus dan merana. Setelah dihisap sarinya, tanah-tanah di desa ditinggalkan dalam keadaan gersang, layu, pucat dan tidak produktif lagi. Seperti pelacur yang sudah menjadi nenek-nenek!

“Akibat perlakuan tidak adil penguasa kemarin, hari ini banyak rakyat menuntut kemerdekaan daerahnya,” cerita pemuda itu.

“Mengapa baru sekarang?” tanyaku.

“Dulu rakyat masih setengah buta. Selama dalam belenggu penjajahan, rakyat telah merasakan betapa pedihnya ditindas bangsa asing. Maka pada masa-masa awal kemerdekaan, rakyat menganggap masih mendingan kendati dieksploitasi bangsa sendiri. Ketika hasil buminya dirampas dan diangkut ke kota ini, mereka hanya bertanya: masih adakah yang tersisa? Bukan: sudah berapa banyak yang telah dibawa ke kota untuk kesenangan orang-orang serakah itu?”

“Salah rakyat sendiri!”

“Benar, rakyat memang salah. Karena kebodohannya, rakyat tidak sadar bahwa lagu pembangunan top down yang didendangkan penguasa kala itu sebenarnya untuk menidurkan mereka. Agar rakyat tidak berdaya, rakyat dibuat selalu tergantung pada penguasa. Apa-apa harus menunggu perintah. Inisiatif dan kreativitas rakyat dipasung. Meskipun ada kemampuan, rakyat menjadi tidak bisa membangun infrastuktur untuk kepentingannya sendiri. Jalan desa yang rusak dan bandar di depan rumah yang kotor dan buntu selalu dibiarkan, tanpa ada yang berinisiatif memperbaiki dan membersihkannya secara swadaya,” papar pemuda itu panjang lebar dengan penuh semangat.

Aku manggut-manggut saja mendengar ceramah pemuda itu. Kurasa sekali-sekali ada baiknya juga mendengar wejangan anak muda. Paling tidak, sebagai bahan perbandingan. Kuhapus keringat yang membasahi wajahku dengan lengan baju.

“Sumber daya rakyat tidak dimanfaatkan untuk membangun kekuatan ekonomi, sosial maupun politik rakyat,” lanjutnya lagi. “Sebab kalau rakyat kuat, pemerintah menjadi lemah dan tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tetapi berkat dorongan para mahasiswa dan intelektual muda, sekarang rakyat baru terbangun dari tidur panjang dan bangkit berusaha merebut kembali haknya.”

“Asal tidak menimbulkan disintegrasi saja!” gumamku.

Pemuda itu tidak menanggapi lagi. Dia bergegas turun dari bus. Berlari, dan menghilang ditelan keramaian lalu lintas.

Bus yang kutumpangi masih merayap menuju ke arah pusat kota. Dari celah-celah kaca jendela bus, kulihat di depan ada sekelompok pemuda berikat kepala warna-warni membentangkan spanduk. Mereka berorasi bergantian. Tak jelas apa yang mereka tuntut. Para pejalan kaki berkerumun menyaksikan aksi unjuk rasa para pemuda itu. Jalan menuju pusat kota macet total.

Udara makin panas. Aku tak tahan lagi berada di dalam bus yang sesak ini. Sebagian penumpang turun. Ada yang melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Ada pula yang ikut berkerumun.

Aku tidak tahu harus kemana. Sekadar melepas kelelahan dan kepanasan aku berteduh di bawah pohon yang membelah jalur jalan kota ini. Kupikir di sini lebih aman karena agak jauh dari kerumunan massa. Tetapi ternyata tidak. Dalam sekejap saja di bawah pohon tempat aku berteduh sudah dipenuhi manusia.

“Ada mayat!” teriak seseorang.

“Mayat siapa?”

“Entah!”

“Gelandangan barangkali?”

Satu demi satu orang-orang itu memperhatikan mayat yang tergeletak di atas rumput kering. Mereka hanya melihat saja. Tidak ada yang berani menyentuhnya. Sebagian di antara mereka seperti mengenal mayat itu. Tapi tetap tidak melakukan apa-apa. Tidak juga melapor kepada polisi atau memanggil ambulans, misalnya. Mereka malah tampak bersuka-ria.

“Syukurlah, mati seperti itu lebih baik bagi dia!” komentar salah seorang yang baru keluar dari kerumunan.

Aku masih belum tertarik untuk ikut menyaksikan mayat itu dari dekat. Menunggu agak sepi saja, supaya lebih jelas. Melihat perlakuan orang kota terhadap mayat itu aku merasa ngeri juga mati di kota ini. Kalau di desa pasti sudah ada yang mengambil inisiatif, membawa mayat itu ke masjid. Orang desa menganggap mengurus mayat itu merupakan fardhu kifayah. Apabila tidak ada yang sudi mengurus mayat semacam itu, maka seluruh penduduk desa menanggung dosa. Tidak tahu, di kota ini orang masih percaya atau tidak pada dosa.

Seorang lagi keluar dari kerumunan. Dengan suara lantang dia berpidato di depan khalayak:

“Tuhan Maha Adil!” puji orang itu. “Balasan setimpal memang pantas diberikan kepada orang biadab semacam itu. Selama ini dia telah menganiaya banyak orang secara fisik maupun mental. Bertahun-tahun kita dibohongi. Diteror dan diintimidasi.

Hukum manusia dapat dikibulinya dengan mulus. Sekarang baru tahu rasa. Tatkala Tuhan telah bosan melihat tingkahnya yang berlumuran dosa, mayatnya dipertontonkan di muka umum dalam keadaan hina. Sehina-hinanya!”

“Hore!” teriak yang lain sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan.

“Gantung saja supaya tampak lebih jelas!” usul seseorang.

“Lebih baik dibikin mumi untuk dijadikan pelajaran bagi generasi mendatang!” saran yang lain lagi.

Massa mulai berebut mengajukan usul. Masing-masing menganggap pendapat dialah yang paling benar. Perbantahan itu nyaris tak terkendali. Untunglah muncul pemuda yang kujumpai di dalam bus tadi. Dia berhasil menengahi pertikaian pendapat sepele itu.

Aku kagum terhadap pemuda itu. Dia tampak berwibawa dan disegani kaum muda di sekitarnya. Anak ini potensial menjadi pemimpin masa depan. Biasanya seorang pemimpin kharismatik munculnya pada saat-saat genting semacam itu.

“Mengapa orang-orang tadi tega memaki-maki orang yang sudah meninggal?” tanyaku heran pada pemuda yang kukagumi itu.

“Orang yang sudah menjadi mayat itulah penyebab kesengsaraan rakyat sekarang ini. Selama bertahun-tahun dia memimpin perampasan kekayaan alam milik orang desa untuk memperkaya diri, keluarga dan kroni-kroninya. Selain kekayaan alam, orang itu juga telah merampas hak-hak asasi manusia rakyat di seluruh penjuru negeri ini.”

“Oh!”

Setelah orang-orang mulai surut, aku mencoba mendekati tempat tergeletaknya mayat tadi. Aku juga ingin tahu bagaimana rupa manusia biadab yang katanya tidak berprikemanusiaan itu.

Astaga! Setelah melihat mayat itu tiba-tiba ingatanku pulih kembali. Ternyata aku juga mengenalnya. Sangat kenal! Sungguh pilu hatiku jadinya. Tak sanggup aku menatapnya lebih lama lagi. Tanpa kusadari air mata telah membasahi pipiku.

“Kenapa Anda menangis?” tanya pemuda itu.

“Alangkah sampai hatinya kalian memperlakukan mayat ini seperti itu.”

“Anda juga mengenal mayat ini? Apa hubungannya dengan Anda?”

“Itu mayatku!” kataku pelan, nyaris tak terdengar.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun