Mohon tunggu...
Marta Cintia
Marta Cintia Mohon Tunggu... -

cogito ergo sum :D

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sepincuk Kisah

7 Desember 2013   22:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:12 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Clementina – Clementius

Ada berbagai kisah romansa dari yang fiktif, setengah fiktif sampai yang benar nyata. Kini saatnya aku menuturkan kisahku. Ya, kisah yang akan terus ku tuturkan seumur hidupku kepada mereka yang menginginkannya.

Aku hanyalah seorang pengajar TK pada jaman kolonial Belanda. Entah bagaimana aku terjerumus ke dalam dunia ini. Yang jelas aku menikmati detik - demi detik yang ku habiskan bersama anak- anak. Hari - hari penuh keceriaan dimana riuh canda tawa lebur jadi satu. Menyanyi, menari, melompat, berlari dan kadang harus merangkak mengikuti murid - murudku yang juga ingin aku menirukan setiap polah tingkahnya. Harus ku akui, kadang aku melihat diriku sebagai suatu kekonyolan. Konyol benar, benar – benar konyol! Tapi benar - benar bahagia kala itu. Suatu hari saat anak – anak berebut berjabat tangan menyapaku, menggangguku, dan melucu di depanku.

Diusiaku yang masih belasan ini belum terfikir olehku memiliki seorang pendamping. Masih banyak hal yang ingin kurengkuh. Aku autis akan duniaku. Sebuah dunia yang tak terganti oleh apapun. Namun, tak ada sesuatu yang tak mungkin. Entah bagaimana ini terjadi aku justru jatuh hati kepada seseorang yang jauh umur diatasku. Siapa sangka perbedaan 26 tahun tak menjadi penghalang diantara kami. Entah kenapa juga aku rela hati membaptiskan diriku.

“Hidup adalah perjuangan”. Seperti itu jugalah cinta kami. Cinta yang terus kami perjuangkan hingga pada akhirnya kami bersatu diatas banyak perbedaan.

Dia telah tiada dan kini ku kenang dia dalam lagu yang kan terus kudendangkan dan dalam ingatanku yang takan pernah pudar walau aku kini 88 tahun, untuk mengingat dia yang telah berpuluh tahun ada bersamaku.

“Suatu hari di panti wreda saat mendengar kisah seorang eyang diatas kursi roda”

...........................................

Has Gone

Entah apa yang kurasakan, pedih benar hati ini melihat iya kini harus terbaring diatas bed rumah sakit. Infus yang kini terpasang di tangan dan kadang macet itu menambah kepiluanku. Tak dapat kubayangkan betapa perih deritanya. Betapa nyeri saat antibiotik satu-per satu masuk melalui selang infus mengalir mengikuti aliran darah. Nafas yang kadang sesak. Dada yang seakan diikat kuat oleh kekangan tali. Selang yang kini juga terpasang dihidungnya menuju lambung mungkin menambah deritanya. Kata suster itu adalah satu – satunya jalan suamiku bisa memperoleh nutrisi makanan. Mungkin suster juga berbohong, buktinya ia terus saja muntah dan badannya makin kurus kering saja.

Saat ini sungguh tak bisa ku banyangkan. Aku selalu membayangkan bahwa ijab kobul yang telah kujalani berpuluh tahun yang lalu ini akan berakhir sangat bahagia. Aku melalui hari – hari ku dengan dia bahkan sampai cucu –cucu kami lahir. Aku mengendong cucu perempuanku dan dia berlarian mengejar cucu laki-lakinya. Itu impian indah dalam benakku yang kini tak mungkin terwujud.

Nafsu makanku menghilang menghadapi semua derita ini. Aku yang kan terus berada disisinya. Tetap terjaga untuknya sekalipun kadang remuk redam kurasakan badan ini. Aku yang hanya sendiri menjaganya siang dan malam kadang ditemani para suster yang juga mengurus pasien lain.

Teriakku histeris saat kurasakan badannya dingin, nafasnya tak ada. Dokter dan para suster datang dengan berbagai peralatan. Entah apa yang mereka lakukan dadanya terus ditekan mulutnya dibekap dengan benda hitam dan terpasang alat aneh dibadannya. Tak cukup sampai disitu ia juga memasukkan suatu obat ke selang infus suamiku. Tapi apapun yang mereka lakukan dia tetap pergi. Akhirnya mungkin saatnya sudah tiba.

Dia pergi, tapi cintaku dan buah cinta kami tak akan pernah pergi

“Suatu saat dipojok rumah sakit sambil memeluk seorang ibu yang terus menangis merelakan kepergian suaminya”

...........................

Kesalahan

Aku tak tahu bagaimana ini bisa terjadi ini cinta atau bukan. Atau aku hanya diperalat saja. Aku yang bodoh atau dia yang terlalu pintar hingga membodohi aku yang sebenarnya tidak terlalu bodoh.

Awal yang manis, aku menyebutnya cinta. Cinta yang kemudian mengganas hingga menjadi keegoisan. Egois untuk memiliki, melakukan, dan memaksa.

Segalanya begitu terlambat saat ku tahu bahwa aku kini tak sendiri, ada janin dalam ragaku yang butuh perhatian. Ada janin diragaku yang membuatku mual muntah. Ada janin diragaku yang membuat aku harus bertengkar dengan ayahku. Ada janin diragaku yang tak memperbolehkan aku menuntut ilmu di sekolah. Ada janin di ragaku yang harus membuatku menjadi nyonya muda. Ada janin diragaku... diragaku ada janin...

Ada janin diragaku yang merubah cinta menjadi kebencian, penyesalan, dan membuatku kehilangan segalanya.

Dari semua hal yang kubenci, hal terbenci yang bisa kulakukan adalah mencintai kesalahanku, mencintai janinku.

Suatu kali di puskesmas setelah memberikan antenatal care kepada seorang remaja yang beberapa waktu lagi akan menjadi ibu muda

...............................

Pengorbanan

Aku hanya beberapa kali dalam seminggu mengunjungi putra kecilku, buah hatiku. Bukan karena aku tak sempat atau tak ada waktu. Tapi benar-benar tak tega tiap kali melihat tangan kecilnya yang benar – benar kecil. Tak tega melihat kakinya yang kecil, benar - benar kecil. Tak tega melihat badannya yang kecil benar – benar kecil. Tak tega mendengar degup jantungnya yang kadang lirih berdesir tak terdengar bahkan tak terdengar. Tak tega melihat semua peralatan medis yang terpasang di tubuh kecilnya.

Selang di hidungnya, infus dikakinya, inkubator yang melingkupi tubuhnya serta selang oksigen di hidungnya. Bagaimana bisa semua alat aneh itu ada beserta putra kecilku. Bahkan rambutnya pun belum tumbuh subur.

Belum lagi kala aku melihatnya berjuang untuk bernafas, gerakan dadanya, mulutnya yang kadang terbuka untuk memaksa oksigen itu masuk. Jika saja aku dapat menyumbangkan paru – paru ku untuknya pasti sudah ku lakukan. Tapi mengganti paru – paru ku dengan paru –parunya bukan hal yang mungkin untuk dilakukan. Sedihku makin menjadi saat aku menyadari bahwa ASI pun tak dapat ku berikan untuknya.

Kata suster aku hanya bisa menyumbangkan darahku. Darah yang tiap minggu hampir selalu kusumbangkan. Sekitar 20 cc harus diambil dariku kemudian darah segar itu dimasukan ke dalam tubuh kecilnya. Ya jantungnya, sistem peredaran darahnya bahkan pembentukan darah merah dalam tubuhnya belum seperti bayi pada umumnya. Segalanya masih belum sempurna.

Aku yang semula sangat takut dengan jarum apa lagi jarum suntik menghalau ketakutanku. Aku harus bisa. Bisa untuk jagoan kecilku.

Cinta itu kadang membuat sakit. Tapi lebih sakit bila tak bisa melakukan sesuatu untuk orang yang dicintai.

Suatu kali di ruang perinatologi saat membantu memberikan transfusi kepada seorang bayi prematur yang kondisinya terus memburuk.

................................

Peluh cinta

Hari – hari bersama merupakan sesuatu hal yang sangat membahagiakan. Walaupun kata orang kami berkekurangan tapi kami tak pernah benar – benar sekalipun kekurangan. Selalu ada hal yang bisa membuat kami bahagia. Dua jagoan kecilku yang lahir hanya berselang satu tahun. Kenakalan mereka, tingkah lucu mereka, pertengkaran mereka, rengekan mereka bahkan ketika dua jagoan ku itu harus terbaring di rumah sakit yang sama. Sekalipun sedih aku tetap bahagia.

Istriku mengurus si bungsu dan aku mengurus si sulung. Kadang melelahkan kala mereka meminta hal – hal yang diluar kemampuanku. Mainan yang menyita gajiku, sebuah gendongan ketika pundakku lelah, atau berdongeng saat moodku tidak terlalu baik.

Seburuk apapun hariku akulah ayah yang baik. Aku akan memberikan yang terbaik bagi mereka walau itu aku harus menggendong salah satu diantara mereka naik turun tangga sepulang aku bekerja setelah berjerih lelah seharian. Akulah contoh yang baik bagi jagoan kecilku yang suatu saat nanti akan menjadi sosok seorang ayah sepertiku.

“Kebersamaan dan cinta mampu merubah jerih dan lelah menjadi kebahagiaan”

Suatu kali diruang perawatan anak, saat merawat dua kakak adik yang harus diopname.

..............................

Bersyukur

Tak ada yang tahu apa yang akan kita hadapi suatu saat nanti sehat sakit semuanya tak ada yang kita tahu. Hanya yang diatas saja yang Maha Tahu. Sebagai manusia hanya bisa berdoa berserah dan berusaha.

Sakit bukan berarti kehilangan segalanya. Saat sakit banyak hal yang masih bisa dilakukan. salah satunya adalah dengan bersyukur. Bersyukur atas segala nikmat dan karunia yang diberikan selama sehat.

Kekurangan bukan berarti terus merintih dan merana. Menyalahkan nasib bahkan keadaan. Kekurangan berarti harus lebih banyak lagi bersyukur.

Perutku yang seperti ini dan sangat nyeri, kaki ku yang tak bisa digerakkan, aku yang hanya bisa terbaring, bengkak disekujur tubuhku, nafsu makanku yang tak ada sama sekali, tapi aku tetap berserah.

Walau kini sebagian ususku harus terpotong dan kini ada kantung diperutku aku tetap bersyukur. Bersyukur atas perhatian dan cinta kasih seorang wanita yang terus menjagaku, menemaniku sepanjang hidupku bahkan ketika aku sakit dan tak bisa berbuat apa-apa. Bersyukur untuk cinta kasih putra – putriku jauh di tegal sana.

Cinta adalah alasan kenapa aku harus bersyukur

Suatu kali diruang bedah saat berbincang dengan pasien postcolostomy dan istrinya setelah kugunting kukunya, sehari sebelum ia “pergi”.

..............................

Love u mom

Pagi ini aku menangis. Menangis karna mamaku. Aku nggak suka dimarah – marahi, walau kadang aku nakal tapi tak selamanya aku nakal. Kenapa juga semua orang menganggapku nakal. Kadang aku hanya butuh perhatian. Bukan perhatian seperti saat mama marah –marah karna kesalahan yang ku lakukan lalu mengancam tak mau menjemputku pulang sekolah nanti.

Nakal bukan berarti tak bisa menangis. Kalau aku sedih aku juga menangis. Kalau aku jatuh aku juga menangis. Kalau aku sakit aku juga menangis. Kalau aku sakit hati aku juga bisa menangis.

Aku juga memerlukan perhatian seperti yang lainnya. Aku juga pingin dipeluk seperti yang lainnya. Walau aku sudah pintar mewarnai, mengeja huruf, berhitung serta membuat angka aku perlu seseorang untuk mengajariku. Aku mau diajarin menempel. Aku mau diajak main bola. Aku mau diajak main perosotan. Aku mau dibawain bekal. Aku mau diajak main ayunan. Aku mau seseorang membagiku kue. Aku mau seseorang mengajariku bernyanyi. Aku mau ada temen menari. Aku mau berdoa bersama. Aku mau... aku mauu seperti yang lainnya...

Pokoknya tak boleh ada yang deket sama kakak selain aku! Aku sayang kakak!

Cinta itu milik semua orang termasuk anak kecil sekalipun.

Suatu saat di taman kanak-kanak, sambil memeluk dan mendekap tubuh kecilnya serta menghapus air mata di pipinya.

........................

Rela

Aku dan futsal sesuatu yang tak terpisahkan. Futsal adalah duniaku. Futsal adalah kesenanganku. Futsal juga yang harus mengakhiri hariku. Tapi bagaimanapun itu aku tetap bahagia.

Suatu kali saat jantungku tiba – tiba tak kuat bertahan setelah satu jam berjerih lelah. Entah apa yang terjadi. Konon kata orang semua ICU penuh. Tak ada yang menampungku. Beberapa waktu berselang sampai dokter menyebutnya mati batang otak. Sudah terlalu lama otakku tak dapat oksigen. Kini aku hanya terbaring di ICU.

Terpasang ventilator untuk membantu nafasku, elektroda di dadaku untuk menantau degup jantungku, pulse oksimetri dijariku, Naso Gastric Tube di hidungku, kateter dan infus tentunya.

Aku dan semua alat – alat yang kadang berisik. Sangat berisik sekali!

Oh ya kini aku tak bisa bernafas lewat hidungku ada lubang di trakeku, trakeostomi suster menyebutnya. Bicara aku tak mampu, menggerakkan jari pun aku tak kuasa.

Kadang masih menetes air mataku, entah air mata pilu atau bahagia atau derita. Dua bulan dengan kondisi seperti ini siapa yang tahan.

Kadang cinta itu membuat orang tak merelakan seseorang pergi.

Suatu kali di ICU, saat melakukan suction kepada seorang pasien yang telah berbulan disitu.

..................

Untuk putriku

Baru saja ia bermain-main dengan ku dan merasa bahagia. Bisa kulihat senyum tersungging di pipinya. Baru saja ia tertidur dengan nyenyak tanpa demam. Baru saja ia makan bakso dengan lahap.

Rasanya tak percaya ketika ia sekian detik yang lalu ia harus bersusah payah bernafas. Padahal semuanya baik baik saja beberapa saat yang lalu. Apa yang terjadi? Aku tetap tidak rela kalu harus melepasnya. Walau ini telah kesekian kalinya putri sulungku masuk rumah sakit tapi aku akan selalu percaya bahwa Tuhan itu maha kuasa. Maha menyembuhkan dan Maha Segalanya.

Mungkin harus bersabar ketika petugas rumah sakit yang menjaganya memutuskan untuk memberikan perawatan ekstra kepada dia di suatu ruang khusus. Saat saat mengantarkan dia yang kini kehilangan kesadarannya momentum berat dalam hidupku. Ia yang kini harus bernafas melalui masker Oksigen menjauh dari ku. Deru suara bed yang berisik pecah bersama tangisku hingga pintu ruang ICU. Doa doa dan doa yang kini kupanjatkan untuknya. Semoga kesembuhan ada padanya.

Selalu ada doa untuk dia yang tercinta.

Suatu kali di pintu ICU, saat terakhir kali bertemu gadis kecilku yang penuh semangat.

.....................

Is this love?

Apa yang orang lain pikirkan. Apa yang para perawat pikirkan. Dan apa pula yang suamiku pikirkan. Mungkin semua hal negatif mungkin tentang masa laluku dan juga mungkin kapan aku tiada.

Aku dengan semua hal yang kini harus kutanggung apa pula yang bisa kulakukan semua telah terjadi. Bibirku yang terus berdarah, sariawan terus menerus, batuk tak kunjung sembuh, nafsu makanku yang turun, ibu dan suamiku yang kini tak pernah menyentuhku dengan tangan telanjang, luka sampai ke tulang yang bersarang dibagian punggungku. Semua ini ya semua ini.

Bisakah bersukur? Bisa? Sulit menyukuri setiap kesalahan dimasa lalu. Kasian suamiku, kasian anakku, kasian keluargaku. Aku hanya bisa terdiam. Diam seribu bahasa menghadapi ini semua sambil tetap berharap mereka melakukan semua ini, terus merawatku karena cinta.

Cinta mampu menerima setiap kondisi yang terjadi.

Suatu kali diruang penyakit dalam, saat memberikan perawatan luka kepada seorang pasien HIV

...................

Rasa sakitku telah kualami semenjak 4 jam yang lalu, kini nyeri punggung bawah benar – benar semakin menjadi kala calon bayiku ini bergerak – gerak. Mungkin inilah hari bahagiaku menyambut dia yang telah kunanti 9 bulan.

Aku yang harus kuat, tak seperti suamiku yang hampir pingsan. Huuuh, bagaimana bisa aku yang kesekitan dia yang hampir pingsan hingga aku putuskan mengijinkannya untuk menunggu diluar sambil memintanya tetap berdoa. Berdoa untuk aku dan putra kami.

Apapun yang boleh kurasakan hari ini memang menyakitkan tapi buah cinta ini juga merupakan kebahagianan.

Suatu kali di puskesmas, saat ikut membantu proses persalinan seorang ibu muda.

Ada berbagai kisah yang telah kudengar, lihat, dan saksikan

Bagaimana kisahku sendiri? Ga tau.. hahaha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun