Mohon tunggu...
Marta Cintia
Marta Cintia Mohon Tunggu... -

cogito ergo sum :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Has Gone

18 Juni 2012   16:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:49 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1340035902495918757

Jalanan begitu sepi. Sangat sepi. Suara jangkrik yang biasanya ramai terdengar pun seolah menghilang. Mungkin mereka migrasi atau bahkan mogok bersenandung. Suara kendaraan lain yang biasanya lalu lalang tak jua menghampiri gendang telinga ini. Sepi seolah semua tertelan bumi.

Sepanjang jalan tak bicara tiba-tiba saja, kesunyian memecah dengan suara mobil yang sengaja di rem mendadak.

Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit. Wanita yang tak terbiasa menggunakan sabuk pengaman itupun terjungkal. Segala maki, dan sumpah serapah seperti hendak diluapkannya pada seorang lelaki paruh baya disebelahnya.

“Aaaaaaa....”

“ apa! Aku sudah tak tahan! Itu siapa? Jadi begitu! Selama aku pergi kau asyik dengan pria lain!”

Apa, apa maksudmu!

Jelas-jelas aku melihatnya kau bercumbu mesra dengan dia!

Kapan!

Sesaat sebelum ku menjemputmu.

“Tapiii.............”

Ah, sudah lah!.

Braaaaaaaak. Terdengar pintu mobil yang ditutup secara kasar.

“Sebenarnya, Mau mu apa hah?”

“Aku tak mau apa-apa!”

“Bisa kau selesaikan dengan kepala dingin?”

“Aku sudah berkepala dingin! “

“Inikah keadaan yang kau sebut dengan kepala dingin!”

Dia kini mendekatkan diri pada wanita malang itu dengan tatapan mata tajam. “Fine, sudah cukup aku menahan diri terhadap perbuatan yang kau lakukan dibelakangku!”

“lagi-lagi kau berfantasi dalam dunia khayalmu, mengubah fakta menjadi fiktif sesuai cara pandangmu!”

“Itu bukan fakta, jelas-jelas aku melihatmu dengan pria lain!”

“Sapa yang kau maksudkan? Si Toni, satpam yang sudah menjadi kewajibannya menemaniku tiap kali aku lembur setiap malam demi keamananku? Si Abdulah, driver yang membawaku berkunjung ke klien? Atau Si Miun, sekretaris yang sudah beranak istri itu? Kau keterlaluan!”

Plook. Sebuah tamparan yang bersarang diwajah wanita malang itu kini meninggalkan bekas.

“Ayo, tampar aku lagi! Kau tak ubahnya seperti lelaki tak berpendidikan!”

“Kau juga wanita tak tau diri. Tak tahu diuntung kau ini!”

Bisa – bisanya kau berkata begitu, tak cukup aku menahan malu atas dirimu? Tiap kali aku melihat kau dirumah, bahkan di club malam engkau tengah asik dengan wanita lain! Belum juga aku menahan diri terhadap semua gunjingan pegawai dikantor atas dirimu. Benar benar keterlaluan.

“Aarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrgh!!! Kau mulai membalikan fakta atas dirimu. Kita sudah pernah bahas ini. Kau memang...!”

Praaaaaak. Kini kaca mobil yang menjadi sasaran amarahnya. Tangannya berdarah.

“Memang apa? Kini air mata menganak sungai di mata anak hawa itu.”

“Jangan menangis dihadapanku. Tangismu takan mengubah fakta bahwa kau telah menghianatiku. Sekarang pergi! Pergi! Aku tak mau bersama lagi!”

Jalanan yang tadinya sunyi kini benaar-benar ramai. Ramai oleh lalu lalang orang yang ingin tau peristiwa yang baru saja terjadi. Ada sebagian yang meramaikan suasana dengan aksi pukul-meukul sebagian lagi memberikan P3K. Namun sia-sia. Darah berhamburan, teriak histeris, peluh kekecewaan dan penyesalan.Dia kini pergi. Pergi untuk selama-lamanya. Terbaring ditengah jalan, tak bernyawa lagi! Dia telah mati!

-the end-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun