Gili Trawangan penuh wisatawan. Dari warna kulit maupun garis dan warna matanya mudah dikira dari mana berasal. Coklat sawomatang kayak saya, meski ada juga yang lebih terang, jelas turis lokal. Biarpun mengenakan celana pendek, bahkan bikini, tetap saja mudah dibedakan dengan para turis dari Asia Timur. Entah Korea, Jepang, ataupun seputaran Cina daratan. Terlebih dengan ras kulit putih. Entah dari daratan Eropa dari ujung timur ke ujung barat, entah dari Amerika, ataupun dari Australia, meski mereka sudah berjemur diterik matahari disiang bolongpun, tak bisa menyamai warna kulit orang Indonesia, yang sering mereka bilang eksotis !
Setelah lelah mengayuh sepeda sewaan menyusuri setengah putaran pulau, saya berbalik arah, kembali ke dekat pelabuhan untuk mengembalikan sepeda. Selesai urusan sepeda, meneguk air putih kemasan yang tak pernah ketinggalan, terasa menyegarkan. Karena mesti mengejar feri yang akan mengantar kami kembali ke Bali, maka tanpa membuang waktu segera kami menuju loket membeli karcis kapal motor. Murah  aja. Rp13000,00 per orang. Tanpa prosedur yang berbelit, aba untuk menaiki kapal hanya pada didasarkan warna tiket yang dipegang. Jadi tiket satu warna hanya dijual kepada penumpang satu kapal, yaaa....kira-kira 40an oranglah (meski seperti biasa angkutan umum di Indonesia, selalu lebih dari semestinya). Lima menit berlalu belum terdengar aba. Lima menit masih tenang saja, tapi sayanya yang tak lagi tenang, karena rasa ingin buang air kecil mulai mengganggu. Tunggu punya tunggu aba belum juga ada, saya putuskan untuk mencari toilet di kawasan yang nyaris apa saja bisa diperjualbelikan itu. Aha! Ternyata dengan mudah itu saya temukan di belakang kantor penjual tiket. Bergegas saya kesana. Tapi....alamaaakkk....langsung saya pusing karena hidung tertohok aroma yang sungguh aduhai.... Dengan simpati driver saya bertanya, 'Sudah bu?', tidak mampu saya menjawab selain hanya gelengan kepala, sehingga teman saya perlu menjelaskan apa makna gelengan itu. Tanpa banyak bicara pak driver pergi, dan tak lama kemudian datang kembali sembari mempersilahkan saya untuk ke penjual jasa persewaan toilet yang agak jauh dari tempat saya duduk menahan diri, dengan kalimat yang membuat saya tak bisa berkata-kata. 'Sudah ga bau bu, sudah saya siram bersih kok.'. Aduhhh.... Meski ada sedikit rasa tak enak hati, tapi kusyukuri juga karena mulasnya perut segera sirna.
Selesai kami bertiga melepas kebutuhan pribadi itu, aba untuk menaiki kapal terdengar dari pengeras suara. Segera pemegang tiket yang sewarna dengan milik kami, merah muda, satu demi satu menaiki kapal. Tua, muda, lelaki, perempuan, berkerudung seperti saya, ataupun ber tanktop seperti  turis bule, berdempet rapat jadi satu. Kapal penuh, langsung berangkat menuju pulau Lombok. 35 menit sudah merapat, dan dengan tertib tak ada yang berebut ingin lebih dahulu, kami turun. Tanpa membuang waktu, kami sambut cepat ketika pemilik sado menawarkan jasanya. Sepakat Rp10000,00 saja untuk mengantar kami bertiga ke area parkir yang berjarak sekitar 400an meter dari pelabuhan.
Keluar dari area parkir segera kami susuri jalanan menuju Mataram dan selanjutnya ke pelabuhan Lembar. Senggigi siang hari tak seramai malam Sabtu ketika kami kebingungan mencari hotel untuk sekedar merebahkan badan. Jalanan Cakranegara kami lalui dengan menunjuk lagi resto ayam Taliwang Dua M yang semalam kami datangi ditengah derasnya air hujan. Setelah bertanya kepada salah satu penduduk setempat, akhirnya ketemu juga sate rembiga yang direkomendasikan oleh anak saya. Ooooo...ternyata Rembiga itu menunjuk nama kampung dimana warung sate itu berada. Sama seperti nama Taliwang, yang semula saya kira itu nama bumbu masakannya. Sate rembiga, sate lilit, lontong yang dimasak tak seperti yang biasa saya temui di Jawa, dan pelecing kangkung khas Lombok itu, kami beli untuk bekal makan siang di kapal.
Dari Senggigi gerimis mengiring perjalanan kami sampai mendekati Lembar. Sempat kami berhenti membeli  manggis dipinggir jalan. Alhamdulillah...tanpa menunggu lama, bahkan tak lebih dari 5 menit kami sudah bisa memasuki feri menuju Padangbai lagi. Lancar jaya....meski sedikit berawan tapi tidak turun hujan, dan dapat saya lihat sirip beberapa ekor lumba-lumba yang melompat lincah bersama gelombang laut diujung senja.
Untuk jarak penyeberangan yang sama dihari sebelumnya kami memerlukan waktu 4 jam, kali ini lebih singkat. Dalam waktu 3 jam saja lampu dermaga Padangbai sudah nampak jelas. Sudah pasti seluruh penumpang merasa lega.Tetapi kelegaan itu tak berlangsung lama, karena kapal yang sedari tadi lincah melaju, tiba-tiba berhenti tanpa permisi. Mesin tetap menderu tapi kapal tidak melaju !. Berangsur kegelapan datang. Bulan sabit mulai muncul diketinggian. Para penumpang yang tadinya nyaman duduk diruangan satu demi satu keluar menanyakan apa yang terjadi. Lima menit....sepuluh menit...setengah jam...empat puluh menit...tiba-tiba ada dering bel berbunyi, dan dari pengeras suara terdengar semacam pengumuman yang tak bisa saya pahami isinya. Bukan karena gangguan telinga, tapi memang kualitas audionya yang entah KW berapa. Kursi disebelah saya yang tadinya kosong, satu demi satu terisi. Para pria keluar dari ruangan sambil membawa gelas plastik berisi kopi yang dipesan di kantin kapal. Harum... tapi itu tak menghilangkan dinginnya udara yang memaksa saya untuk mengunjungi toilet. Cilakaaaaaa....sudah mulas perut ini, tapi melongok kondisinya ternyata tak lebih baik bila dibanding yang ada di belakang kantor tiket Gili Trawangan! Terpaksa saya menahan membuang isi kandung kemih sampai nanti di daratan !
Satu jam berlalu kapal belum juga beranjak. Teman saya bertanya ke salah satu kru kapal, ini terjadi karena masih mengantri giliran untuk dapat tempat berlabuh. Setelah mendekati satu setengah jam, peluit kapal dibunyikan berulang-ulang, seakan menyuarakan saya yang sudah tak tahan melepas beban yang tak mungkin kutitipkan.
Gili Trawangan yang menangguk rupiah begitu besar dari wisatawan yang datang, juga pengelola kapal penyeberangan yang tak pernah sepi penumpang, ternyata tidak menyediakan fasilitas yang layak dipergunakan.
Begitu kapal merapat segera kendaraan kami keluar dari lambung kapal tanpa menunda begitu giliran tiba. Spontan ucapan syukur terucap ketika tampak stasiun pengisian BBM tak sampai 100 meter dari dermaga. Setengah berlari saya menuju ke ruangan yang diatasnya terpampang papan bertuliskan TOILET. Betul-betul dengan huruf kapital semua. Tetapi, auwww...sekali lagi saya mesti menahan diri ketika menerima penjelasan dari seorang perempuan yang duduk didekat situ bahwa toilet itu belum berfungsi. Dan ketika kami tanya dimana kami bisa menemukan toilet yang saat itu betul-betul kami perlukan, perempuan itu menunjuk seberang jalan. Tak sempat saya berfikir yang lain, kecuali segera berlari kesana. Yaaahhh...kali ini kelegaan yang sebenarnya bisa saya rasakan, meskipun itu ditempat yang dalam kondisi normal sungguh sebisa mungkin saya hindari.
Kandung kemih terkuras habis ternyata mampu menjernihkan pikiran yang tadi sempat kusut. Mengapa negeriku Indonesia yang begini kaya raya, begini berlimpah ruahnya sinar mentari, begitu lincahnya ombak datang silih berganti sehingga mengundang begitu banyak tamu (tentu saja dengan membelanjakan uangnya), tak pandai memuliakan tamu dengan menyediakan fasilitas yang memadai ? Tak perlu mewah, tetapi jumlahnya cukup, mudah ditemui, air bersihnya lancar mengalir, dan kebersihannya dipelihara. Iya, yang saya maksud ya itu, fasilitas TOILET, karena sering para pelancong merasa sudah ga tahan niiiihhh...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H