Alkisah, di sudut sebuah gerbong commuter line dari-dan menuju pusat kota yang hampir punah, terdapatlah sebuah palu pemecah kaca yang terkurung di dalam sebuah kotak kaca, yang mana untuk mengambil palu tersebut, terlebih dahulu kita harus memecahkan sebuah kaca. Lalu bagaimana mungkin dapat memecahkan kaca, ketika palu yang seharusnya digunakan untuk memecahkan kaca tersebut, justru ada di dalam kotak kaca.
(a). Palu itu seperti kehilangan dirinya sendiri. Dia terasing dari niscayanya sebuah palu pemecah kaca, yakni sebagai alat yang digunakan untuk memecahkan kaca. Menurut Martin Heidegger, alat-alat disebut dengan kata bentukan zuhandenes, yang secara harfiah berarti : siap – untuk – tangan. Cara mengada alat-alat adalah untuk “sesuatu”, seperti korek untuk membuat api, gunting untuk memotong, kursi untuk diduduki, dan lain sebagainya. “Ada” nya mereka adalah untuk sesuatu. Zuhandenes yang kehilangan kemampuannya sebagai “untuk sesuatu” akan otomatis kehilangan “ada” nya sebagai zuhandenes. Biasanya mereka akan disebut rongsokan (barang yang sudah tidak bisa dipakai sesuai fungsinya lagi). Nah, soal si palu pemecah kaca ini, kalau boleh saya bilang kisah hidupnya cukup tragis. Dia seperti sudah dihilangkan fungsi hidupnya bahkan sebelum dia mampu menunjukan bahwa dirinya pantas hidup untuk menjalankan fungsi yang telah dipilihkan untuknya. Dia seperti telah dipensiunkan bahkan sebelum dapat memulai fungsi kerjanya. Diberi cap sebagai barang rongsokan, meskipun baru saja tercipta. Kotak kaca yang mengurungnya secara otomatis meluruhkan kemampuannya untuk menjadi niscayanya sebuah palu pemecah kaca. Kasihan dia..
(b). Tidak ada jalan lain bagi palu tersebut, untuk mampu menemukan kesejatian dirinya sebagai palu pemecah kaca, selain memecahkan kaca yang selama ini mengurungnya. Tidak ada yang bisa memberikan jawaban pasti terhadap penemuan kesejatian dirinya selain dirinya sendiri (si palu). Kaca itu harus dipecahkan dari dalam, dengan seluruh jerih payah dan segenap kemampuan si palu tersebut. Barulah palu, akan mampu menemukan hakikat seutuhnya dari eksistensi dirinya sebagai sebuah palu pemecah kaca di semesta yang tak berbatas.
(c). Palu itu seperti tengah diberi sebuah kebebasan artifisial lewat fungsinya sebagai “pemecah kaca”. Karena toh tetap dia tidak akan memperoleh “kebebasannya” untuk dapat digunakan sebagai pemecah kaca, karena sesungguhnya kaca yang mengurungnya, membuat si palu pemecah kaca itu tidak dapat digunakan sebagai alat pemecah kaca. Kalau boleh, meminjam sedikit istilah dalam novel berjudul “Rumah Kaca” yang ditulis oleh sang maestro, Pramoedya Ananta Toer, palu tersebut seolah tengah “dirumah-kacakan”. Tenang ya dik, kamu tetap dapat memperoleh kebebasanmu untuk menjadi "ada" sebagai sebuah palu pemecah kaca. Tapi tetap, tak akan ada kaca yang bakal dipecahkan oleh mu. Tentulah, karena seluruh pergerakanmu berada dalam kontrol kami (* rezim kaca)..
Setengah meracau, saya jadi ingat penggalan lirik lagu milik Landon Pigg yang sempat nge-hits banget berkat menjadi soundtrack di film 500 Days of Summer. "And you can't lose what you never had.. I don't understand why I feel sad.. Every time I see you out with someone new...." Seperti kehilangan, tapi toh bagaimana bisa merasa kehilangan kalau dari awal memang tidak pernah memiliki.. (*ehem. kebebasan). Ini mirip-mirip, seperti kebebasan artifisial yang ditawarkan oleh gerai-gerai waralaba seperti 711, dalam memberikan kemudahan mengakses ruang-ruang publik berbayar. Disana, kebebasan hanya akan kamu dapatkan, ketika kamu mampu membayarkan sejumlah nominal tertentu (*yang telah ditetapkan) untuk bertukar dengan produk-produk jualan yang mereka tawarkan. Dan saat kamu kehilangan kemampuan “membayar”, maka seketika itu pula, kebebasan, bukanlah lagi menjadi milikmu.
*Politik ‘perumah-kacaan’ adalah dimana setiap tindak yang digiatkan oleh para aktivis pergerakan akan dimonitor dan diawasi. Pemerintah kolonial menebar mata radar mereka disetiap sudut manapun untuk merekam seluruh aktivitas dan pemikiran-pemikiran yang ditulis-sebar melalui surat kabar oleh para aktivis tersebut untuk kemudian diarsipkan, hingga pada kalanya apabila suatu aktivitas telah difatwa mengancam, maka dapat segera dilibas dan dihabisi.
(d). Kisah palu tersebut mengandung filosofi, bahwa dalam keadaan darurat, kita (manusia), secara instingtif akan menggunakan segala cara untuk mempertahankan hidupnya. Meskipun terpaksa harus melukai tangan dalam proses memecahkan kaca untuk mengambil palu tersebut. Seringkali sebuah keselamatan memang hanya pantas bertukar dengan sebuah pengorbanan. Kita mungkin keluar dari sana hidup-hidup, tapi hampir tak mungkin, keluar tanpa luka. (*dan sesungguhnya, dalam luka ada rangkuman kesungguhan upaya yang pada akhirnya menjadi bahan pertimbangan bagi sang kuasa, untuk menentukan pantas atau tidaknya kita tetap berada di realitas kehidupan hingga saat ini..)
(e). Dan entah, se-aneh apapun kisah tentang si palu malang ini, tetaplah terasa lebih "juara" anehnya, menyoal mereka-mereka yang entah (*iseng banget atau begitu kurang kerjaan) masih saja punya cukup waktu untuk memikirkan hal-hal kurang penting dan kurang produktif semacam ini di tengah dera rutinitas yang dikebiri ketergesaan hidup setiap hari. Para pembangkang kelas menengah yang tetap ingin "membandel" dari aturan rezim keseharian dan kepantasan-kepantasan manusia modern.
(f). Kamu bisa isi sendiri bagian ini, semau kamu.
.......................................................................................................