Seringkali, saya merasa buruk tentang banyak hal yang kerap terjadi dalam kehidupan saya setiap hari. Rekan kerja yang begitu menyebalkan, lalu lintas yang tidak pernah bersahabat, hari demi hari rutinitas yang melelahkan, belum lagi ditambah berbagai macam urusan yang hinggap di keseharian saya sebagai manusia modern di zaman serba cepat. Siapa dari kita yang tidak pernah minimal sekali saja dalam hidupnya mengalami satu hari yang buruk.
Mengeluh (*atau dalam bahasa yang lebih halusnya bisa juga disebut curhat) merupakan salah satu ekses dari kekacauan yang begitu depresif yang ditimbulkan oleh sebuah hari yang buruk (*tentu berikut kelipatannya).
“Ah, kamu seharusnya lebih banyak bersyukur atas apa yang sudah kamu terima saat ini, lihat itu harusnya ke bawah bro, tidak baik selalu melihat ke atas....” Hmm.. beberapa orang, setelah mendengar curhatan saya, malah bilang begitu. Saya jadi wondering, memangnya salah ya kalau misalnya saya mengeluh saat ditimpa kemalangan. Nah, bertolak belakang dengan ucapan tersebut, beberapa yang lain, yang lebih ekstrim, justru bilang kalau bersyukur itu tak ubahnya seperti candu yang membuat kita mudah puas akan segala sesuatu yang kita terima, cepat bersyukur itu seringkali malah membuat kita menjadi tumpul dan cenderung menutup diri terhadap perkembangan diri kita yang (mungkin) bisa lebih baik lagi..
Di tengah kebingungan, dikala ada sedikit jeda diantara jadwal meeting marathon yang begitu padat, saya menyempatkan diri untuk menyelinap di sudut balkon yang sepi dan menghisap selinting ganja puntung yang kerap saya selipkan di antara tumpukan buku dalam kabinet meja kerja saya. Jaga-jaga siapa tau ada sebuah kebutuhan mendesak untuk “tetap tenang dan fokus” di tengah ketergesaan. Dalam asapnya yang begitu halus namun bertenaga, saya asyik sendiri berkutat dengan pemikiran tentang apa sesungguhnya makna bersyukur. Asap yang tidak pernah gagal untuk memberikan saya cukup waktu untuk memikirkan hal-hal sepele yang dianggap kurang produktif dalam kehidupan manusia-manusia modern seperti saya ini, saya mulai merancu tentang apa itu bersyukur.
Bersyukur itu mungkin seperti menerima. Tapi sebuah “menerima” yang bersifat aktif. Menerima yang bersifat bergerak terus. Bukan menerima yang bersifat diam atau pasif. Kalau misalnya menerima yang bersifat diam itu namanya pasrah. Bersyukur itu "menerima yang sebetulnya tidak menerima juga", namun sebaliknya "tidak menerima tetapi sebetulnya menerima juga". Menerima tetapi tetap memiliki suatu keinginan yang halus sekali untuk merubah keadaan atau mempertahankan keadaan yang sedang diterima saat ini. Itu sebabnya, mengapa kita diminta tetap bersyukur, saat ditimpa kemalangan, atau saat sedang berbahagia sekalipun. Bersyukur saat ditimpa kemalangan, tentu bukan berarti kita oke-oke saja dengan kemalangan yang merundung, tidak salah juga kalau sesekali kita merasa sedih, kecewa, atau bahkan kesal dan marah dengan kondisi kemalangan yang tengah menimpa kita. Bersyukur yang saya maksud berarti meresapi dan menerima “saat ini” dengan kesadaran penuh. Dan dengan kesadaran penuh juga, berusaha untuk tetap bergerak. Bersyukur tidak harus selalu berbau "merayakan".
Tidak ada dendam dalam bersyukur. Tidak ada kebencian kepada Tuhan karena telah memberikan “saat ini” kepada kita. Bersyukur itu menerima saat ini namun tetap menginginkan suatu saat yang lain. Bersyukur berarti tidak membiarkan diri berdiam di kondisi yang sedang di terima saat ini. Sehingga dalam bersyukur biasa ditambahkan suatu bentuk kerja untuk terus bergerak. Bergerak berubah dari keadaan yang diterima saat ini atau bergerak untuk terus mempertahankan keadaan yang diterima saat ini. Apapun, yang jelas berubah dan bergerak terus.
Kalau bicara saat ini yang sedang buruk, tentu jelas “bergerak” nya adalah untuk merubah saat ini dari kondisi buruk menjadi saat nanti yang berkondisi baik. Nah, tapi jika saat ini sudah dalam kondisi baik, apakah kita harus tetap bergerak dan berubah? Bukankah sebaiknya kita menetap di dalam saat ini yang dalam kondisi baik? Jawabnya ya. Karena dalam menerima saat ini yang baik, kita tetap harus melakukan sebuah “gerakan” untuk mempertahankan saat nanti, minimal tetap sama baiknya seperti saat yang tengah kita alami saat ini.. Atau "bergerak" untuk berusaha membuat saat nanti menjadi lebih baik dari pada saat baik yang sedang kita alami sekarang. Tentu tidak bisa dikatakan bersyukur, ketika kita tidak menerimanya secara aktif. Menerima haruslah bergerak terus, berputar dan berjalan mengimbangi perubahan saat.
Bersyukur itu menerima saat ini dan sekaligus menerima apapun “saat” yang berkaitan dengan perubahan dari saat ini. Menerima dengan kesadaran penuh bahwa suatu saat nanti , “saat Ini” juga akan berubah menjadi “saat” yang lain. Dan saya akan menerima perubahan “saat” apapun itu ketika dia datang kepada saya. Apakah itu saat yang lebih baik atau saat yang lebih buruk sekalipun.
Bersyukur itu seperti menerima 99 % namun tetap menyisakan 1 % penolakan. Menerima tetapi ingin tetap terjaga. Menerima tetapi tidak ingin terlena juga. Menerima tetapi tidak ingin berdiam dan terlarut. Menerima dengan tetap ingin bergerak terus walaupun halus. Bersyukur itu, menerima dalam resah, menerima resah dan berteman baik dengannya. Dalam bersyukur tidak ada penyesalan.. yang ada hanyalah sebuah sikap yang (boleh di bilang ekstrim) dalam mengafirmasi perubahan. Saat ada perubahan, tentulah akan ada “pilihan” sebagai ekses yang muncul dari perubahan. Bersyukur itu adalah memilih untuk menerima, sepenuhnya menerima, memahami dan kemudian bereaksi terhadap apa yang diterima. Bersyukur itu aktif dan dinamis. Tidak kaku.
Seperti (misalnya) dalam sebuah kondisi, dimana kita diharuskan untuk terlebih dahulu masuk kedalam sebuah semak belukar berisi tanaman rambat yang dipenuhi duri-duri tajam, untuk dapat tiba di tempat tujuan kita. Tidak ada pilihan lain, kecuali masuk kedalamnya. Tentu ketimbang panik, dan lalu spontan berlari kencang menabrak semak belukar dengan kekakuan sambil menutup mata. Mungkin, ada baiknya, berdiam diri terlebih dahulu, huff... menghela nafas panjang (*kalau memungkinkan bisa bakar dulu selinting), menetralisir luapan perasaan manic dan flight of ideas, kemudian menerima dan sepenuhnya memahami keterkondisian saat itu, lalu berusaha menemukan cara terbaik untuk melewati kondisi yang tidak diinginkan tersebut. (Misalnya), menembus belukar itu dengan perlahan meliuk dan mengerakan badan kita menghindari duri-duri tajam. Berusaha semaksimal mungkin memperkecil kontak dengan duri, meskipun harus diakui, tetap akan sangat sulit rasanya untuk keluar dari sana, tanpa luka atau tergores sama sekali. (*ahh, tapi toh mungkin dalam luka ada rangkuman kesungguhan upaya yang pada akhirnya menjadi bahan pertimbangan bagi sang kuasa, untuk menentukan pantas atau tidaknya kita tetap berada di realitas kehidupan hingga saat ini.)
Dan kegiatan meliuk-liuk menghindari duri ini, entah dalam perspektif tertentu, di iringi soundtrack musik tertentu, dalam imajinasi tertentu, mungkin akan terlihat seperti sebuah kegiatan “menari”...
Bersyukur itu seperti Amorfati. Seperti sikap penari yang menari merespon (apapun) alunan musik yang dimainkan untuknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H