Mohon tunggu...
Machin Muhammad
Machin Muhammad Mohon Tunggu... wiraswasta -

saya adalah saya, bukan kamu, kalian atau mereka.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tarian Puncak Rembulan

14 Juli 2011   21:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:40 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

catatan kecil

Dalam puncak kesempurnaannya, rembulan itu bermain sendirian di dinding-dinding Rumah sakit Dr. Soetomo, meloncat dari gedung satu ke gedung lainnya, kemudian bergelayutan dikerangka reklame.

Rembulan itu berwajah bening dalam puncak kesempurnaannya, tetap sendirian. setelah bergayut sebentar dikerangka reklame seperti monyet yang bermain-main diranting dan dahan pepohonan, rembulan itu menyusup dirimbunnya bangunan-bangunan, tiang listrik serta kabel-kabel yang menjuntai sambung menyambung, dan akhirnya sampai juga di taman yang tak terlalu luas akan tetapi sangat rimbun, dengan hanya diterangi cahaya redup beberapa lampu-lampu bulat sebesar kepala orang dewasa. Seperti ketangkasan seekor kidang dia menyusup kesana kemari, tetap bermain sendirian, dan tiba-tiba dia berhenti, digerak-gerakkan telinganya seperti kelinci yang sedang menangkap desir suara paling halus, akan tetapi bagi rembulan itu tidak hanya mendengar lamat-lamat denyut jantung yang kurang wajar, dia juga mendengar bagaimana denyut jantung itu tidak hanya sebagai sebuah nada atau semacam ketukan yang tak terlalu keras, akan tetapi ejawantah dari do’a dan harapan, ya detak jantung itu lebih menyerupai geremangan mantra atau do’a dari para penyembah yang berhadapan dengan Junjungannya.

dengan berusaha tanpa meninggalkan bunyi, dia melangkah kearah sumber suara itu,

suara itu ada dibelakang gerumbul bunga melati ini

Katanya dengan sedikit menyibakkan gerumbul bunga melati, kemudian jongkok dan mengintip melalui celah gerumbul, dilihatnya seoarang lelaki duduk terpekur sendirian diatas dampar panjang sebelah jalan yang mirip lorong, lampu-lampu diatas langit-langit berderet disepanjang jalan yang mirip lorong itu membantu mengenali lebih tegas wajah itu, ya wajah lelaki itu yang pucat, beberapa kali berdesah karena himpitan dadanya, juga berkali-kali lelaki itu berdiri, berjalan mondar-mandir kemudian duduk lagi, wajahnya yang layu jelas terlihat oleh rembulan yang sengaja mengintipnya. Dihentakkannya nafasnya, dagunya yang tirus ditopang dengan kepalan kedua tangannya seolah sudah tak kuat lagi menyangga segala pikiran yang yang bersilang-sengkarut dalam tempurung kepalanya.

Setelah cukup mengamati laki-laki, pandangan rembulan bergeser kearah tulisan diatas papan kecil yang menempel tepat diatas pintu masuk salah satu ruang; RUANG BERSALIN.

Entah kenapa rembulan itu tiba-tiba berwajah cerah, lebih cerah dari puncak kesempurnaannya. Sesungging senyum terlontar begitu saja dengan paduan pandangan mata yang bening dan berseri-seri.

aku sebentar lagi punya teman bermain

Bisiknya dalam hati, diapun tergesa-gesa beringsut dari gerumbul-gerumbul kemudian meloncat begitu saja tepat disamping lelaki itu, sengaja dengan hati-hati dan tanpa suara, sehingga tidak mengagetkan laki-laki yang duduk sendiri sambil menunduk. Dengan senyum masih menghiasi bibirnya, dia melenggang kearah pintu ruang bersalin kemudian menyusup begitu saja melalui celah pintu. serta merta didapatinya seorang perempuan muda dengan posisi duduk agak sedikit rebah, punggung sebelah atas sampai kepalannya diganjal beberapa bantal, kedua kakinya direntang lebar-lebar dengan sedikit ditekuk lutunya ke bawah, menjejak kuat-kuat tempat tidur yang bertilam putih, perempuan muda itu sedang berjuang melahirkan anak pertamannya, beberapa suster sedang sibuk menolong mengeluarkan bayi itu dari gua garba, akan tetapi masih belum ada indikasi si bayi meloncat keluar,.

tarik nafas melalui hidung kemudian hembuskan melalui mulut sambil perut bagian bawah ditekan keluar

Kata suster yang berjongkok tepat didepan perempuan itu, memberi aba-aba

iya sudah betul begitu, ayo ditekan lagi lebih keras

Begitulah kesibukan yang luar biasa diruangan itu, rembulan masih berdiri dengan mulut terperangah, dilihatinya saja wajah perempuan itu yang berusaha mengeluarkan bayi dalam perutnya, sesekali nafas rembulan ikut dihentakkan seperti yang dia lihat, dilain saat dia juga meremas-remas tangannya sendiri karena gemas, saat dia melihat kepala yang mungil tersembul keluar.

Tapi dia tiba-tiba tertegun, hamper tidak percaya dengan yang didengarnya, dengan sedikit beringsut mendekat, dia berusaha mendengar apa yang dibicarakan suster-suster itu dibalik penutup hidung dan mulutnya,

lehernya terjerat usus

Kata salah satu suster dengan wajah yang cemas sambil tangannya menahan kepala bayi yang sudah setengah keluar. Semburat merah tiba-tiba wajah rembulan saat mendengarkan apa yang terucap melalui mulut salah satu suster itu. Dengan membayang kekawatiran yang tak kalah besarnya dari suster-suster, rembulan bergeser setapak lebih dekat, kemudian berdiri diantara suster yang tangannya masih menopang kepala bayi dengan si perempuan yang masih berjuang dengan bernafas dan mendorong seperti yang disarankan oleh suster.

kalau seperti ini terus bayi ini akan menghadapi bahaya

Desis suster itu tetap dengan wajah yang semakin cemas, kedua suster yang ikut membantunya juga tidak kalah cemasnya, sehingga mereka berdua hanya berdiri saja dengan dada yang berdegupan, bingung, tak tahu harus melakukan apa.

jangan diam dan berdiri saja disitu, cepat lakukan sesuatu untuk menyelamatkan bayi ini

Bentak suster, yang geram melihat kedua temannya tidak berbuat apa-apa, rembulanpun tersentak, sedari tadi dia hanya melihat sambil termangu, karena sama seperti kedua suster pambantu tadi, bingung apa yang harus dilakukan untuk segera menyelamatkan bayi itu dari bahaya.

apa boleh buat, mungkin ini akhir dari tarian puncak rembulanku malam ini

Desis rembulan sebelum akhirnya menyusup kedalam perut perempuan itu melalui celah antara kepala dengan gua garba, sekilas dalam perut itu terlihat semburat cahaya, hanya sekilas kemudian terdengarlah teriakkan tertahan perempuan itu, tak sebegitu lama disusul dengan tangisan bayi yang tinggi melengking-lengking memecah malam yang sudah tua, mau akan beranjak pagi.

Semua suster hanya terperanga dan menggeleng-gelengkan kepala, dalam pikiranya terlukis antara percaya dengan tidak, akan tetapi kedua matanya memandang kenyataan yang jelas-jelas terlihat didepan ujung hidungnya. sementara suster yang menopang bayi itu hanya menghembuskan nafas dalam-dalam dengan titik-titik keringatnya menetes tepat dipipi bayi yang masih merah itu sambil berkata lirih disela deru nafasnya yang mulai reda ;

perempuan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun