Reffugee atau yang disebut pengungsi yang masuk ke Indonesia masuk dengan beberapa cara, Â ada yang secara resmi masuk dengan paspor dan visa kunjungan turis, namun kemudian tinggal tanpa ada keinginan kembali ke negara asal dan berharap ditempatkan ke negara ketiga.Ada juga yang masuk dengan melalui jalur tidak resmi yaitu menjadi manusia perahu atau masuk karena menjadi korban perdagangan orang.
Ihwal Pengungsi hanya sedikit disebutkan dalam UU Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.Indonesia sendiri karena belum meratifikasi Konvensi tentang pengungsi tahun 1951 beserta Protokol 1967-nya, landasan hukum menyikapi permasalahan ini menggunakan Perpres No.125 tahun 2016.
Untuk pengungsi yang ada di Indonesia sendiri berbeda-beda kondisinya, ada yang tinggal dengan pengawasan ketat di community house, ada juga yang tidak tinggal di community house dengan bebas dan bergaul dengan penduduk.Untuk pencari suaka, pengungsi maupun deteni kata ini tidak ditemukan dalam UU Keimigrasian Nomor 6 tahun 2011.
Untuk menangani masalah pengungsi ini tahun 2010 keluar Peraturan Dirjen Imigrasi No.IMI-1489.UM.08.05 yang isinya mengatakan " imigran illegal saat diketahui berada di Indonesia dikenakan tindakan keimigrasian, lalu dalam hal imigran illegal menyatakan keinginan mencari suaka dan atau karena alasan tertentu tidak dapat dikenakan pendeportasian, maka dikoordinasikan dengan UNHCR dan atau organisasi yang menangani masalah pengungsi untuk penentuan statusnya, apabila telah mendapat attestation letter atau surat keterangan pencari suaka dari UNHCR atau berstatus pengungsi dapat tidak dipermasalahkan status izin tinggalnya".
Kemudian pada tahun 2016 keluar peraturan Dirjen Imigrasi Nomor IMI-0352.GR.02.07 dimana antara lain menyatakan "bahwa Pencari Suaka dan Pengungsi yang berada di wilayah Indonesia ditempatkan di ruang detensi imigrasi, rumah detensi imigrasi atau tempat lain dengan ketentuan tempat lain adalah dalam hal ruang detensi atau rumah detensi telah, a.melebihi daya tampung, b.sakit dan memerlukan perawatan, c.akan melahirkan, d.anak-anak."
Melihat hal diatas menurut penulis ada beberapa permasalahan.
1. Untuk status, apakah pengungsi ditempatkan di detensi masih menjadi pertanyaan penulis.Secara segi bahasa istilah detention yang berasal dari bahasa inggris yang berarti penahanan mengarahkan bahwa ruang detensi atau rumah detensi imigrasi adalah tempat untuk penahanan WNA yang sedang ditahan karena melanggar aturan keimigrasian sehingga penempatan WNA yang bersangkutan secara hukum dibenarkan karena sedang menunggu proses hukum akan disidang atau akan dideportasi.
Tapi bagaimana mengisi kekosongan hukum terhadap Orang Asing yang berada di dalam wilayah Indonesia sejak masuk sampai dengan yang bersangkutan memperoleh status pengungsi atau pencari suaka.Ada jeda waktu sejak saat yang bersangkutan masuk sampai dengan memperoleh status tersebut.
Apakah izin tinggal yang diberikan kepadanya, mengingat klausa dalam Peraturan DirjenIm tahun 2016 hanya dikenakan kepada yang sudah mendapat persetujuan UNHCR, sementara waktu yang dibutuhkan untuk mendapat status tersebut tidaklah sebentar.Walaupun dengan alasan pada poin a tersebut diatas yaitu Rudenim telah melebihi daya tampung apakah status hukum pengungsi bisa dikatakan sedang ditahan dan kemudian kehilangan kebebasannya?
2. Kekosongan hukum dan masalah sosial budaya di masyarakat, terkait siapa yang bertanggung jawab mengurusi kondisi pengungsi.Mengingat jika hal ini dibiarkan terus berlangsung akan muncul banyak permasalahan social budaya di tengah masyarakat tempat pengungsi berada.beberapa permasalahan seperti bentrok dengan penduduk setempat karena pengungsi yang tidak bekerja akan menjadi beban lingkungan dll.
Belum lagi akan muncul opini negatif dari masyarakat yang menilai pemerintah lebih memilih mengurusi warga negara lain sementara masih banyak rakyat Indonesia sendiri yang berada dalam kemiskinan dan kelaparan.