[caption id="" align="alignnone" width="780" caption="Photo : Kompas.com"][/caption] Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kabarnya telah m engirimkan surat rekomendasi ke Kementerian Dalam Negeri untuk menerbitkan surat penonaktifan Ratu Atut Chosiyah sebagai Gubernur Banten. Alasan KPK dengan dijadikannya Atut sebagai tahanan KPK, maka tugas Atut sebagai Gubernur Banten dirasa tidak akan efektif karena tidak bisa menjalankan roda pemerintahan dari balik penjara. Disamping itu KPK beralasan setiap tahanan KPK pasti akan jadi terpidana, karena KPK tidak mengenal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Langkah KPK inipun mendapatkan kritik dari kuasa hukum Atut, Firman Wijaya. "Tidak ada istilah dinonaktifkan sementara. Kemendagri bisa dianggap menabrak undang-undang," kata Firman di kawasan Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta, Senin (30/12/2013). Menurut Firman, status Atut hingga kini belum menjadi terpidana, sehingga langkah KPK untuk menonaktifkan kliennya itu keliru. "KPK seharusnya juga bisa menjaga keberlangsungan pemerintahan," pungkas Firman. (SUMBER). Tidak hanya kuasa hukum Atut yang geleng kepala dengan langkah KPK ini, Mendagri Gamawan Fauzi juga tidak habis pikir dengan langkah KPK ini. Karena Kemendagri punya alasan, aturan pemberhentian kepala daerah telah diatur dalam UU 32 tahun 2004 dan PP 6 tahun 2005 yang pada intinya pemberhentian hanya bisa dilakukan jika status tersangka menjadi terdakwa. Begitu pula dalam hal pelantikan Bupati Gunung Mas Hambit Bintih, MK sebelumnya memenangkan pemenang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Gunung Mas, yakni Hambit Bintih dan Arton S Dohong, dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Oktober 2013. Putusan itu mementahkan permohonan yang diajukan oleh dua pemohon sekaligus. Rencana pelantikan Hambit Bintih ditentang keras oleh KPK, surat permohonan yang dikirim oleh DPRD Gunung Mas ditolak oleh KPK. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto mengatakan, tak ada aturan bahwa seorang yang menjadi tersangka kasus korupsi dapat dilantik menjadi kepala daerah. KPK pun tidak memberikan izin pada Hambit Bintih untuk menghadiri pelantikannya sebagai Bupati Gunung Mas terpilih. “Tidak ada satu pasal pun dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah, seseorang yang disangka melakukan korupsi boleh dilantik. Enggak ada aturan seperti itu,” kata Bambang di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/12/2013). ujar Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (kompas.com) Dalam dua kasus hukum Kepala Daerah diatas saya kira KPK sudah keterlaluan, karena KPK sudah terlalu jauh masuk ke ranah politik. KPK hendaknya fokus saja terhadap masalah hukum kepada kedua tersangka tersebut dengan mencari bukti-bukti hukum baru atau pengembangan kasus korupsi kedua kepala daerah tersebut. Mencampuradukkan hukum dengan politik akan mengurangi independensi KPK dalam pemberantasan korupsi. Penggabungan hukum dengan politik sama halnya dengan mencampuradukkan Agama dengan politik. Agama dan Hukum tidak akan dapat berjalan diatas relnya jika dicampuradukkan. Sekali ini KPK sungguh keterlaluan, sama seperti tuntutan KPK terhadap LHI untuk mecabut hak politiknya, Hakim yang menangani perkara LHI menganggap tuntutan KPK tersebut 'sungguh terlalu'. Begitu pula dengan Bang Haji Rhoma Irama menyatakan hal yang senada, 'terlalu'. Salam, Mejuah - juah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H