Mohon tunggu...
Mac Arif Hamdanas
Mac Arif Hamdanas Mohon Tunggu... lainnya -

I am just me. The REAL me. macariflc@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Something about Pare

14 Mei 2015   22:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:02 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah Anda mendengar suatu kampung bernama Pare? Kampung Inggris yang ngajarin kita untuk pandai berbahasa Bule? Nah, kali ini saya akan mengajak Anda untuk mengeksplor Pare dengan mengawali kisah ini dari seorang bernama Jae.

Yes, He’s Jae

Sosok makhluk sejenis manusia bernama Jae ini sudah saya kenal sekitar empat tahun lalu. Dia sosok yang periang, baik, dan juga lucu. Karena kelucuannya itu, akhirnya saya terjebak dalam sebuah bus ekonomi Jogja – Kediri yang berjalan seperti siput lumpuh. Lelet, tapi cukup seru.

Berjam-jam saya harus menahan kebelet pipis. Saat saya minta berhenti sejenak di terminal bus, sang sopir tidak menggubris. Karena kecewa, akhirnya kami turun di Madiun agar ginjalku tidak kena penyakit menahun. Saya garansi, kalau Anda bersama Jae, Anda tidak akan pernah manyun. Selain lucu, seru, dia juga santun.

Bahasa Inggrisku yang amburadul itu, sudah cukup untuk jadi modal sebagai tamu bagi Jae yang mengajar di Kampung Inggris yang tersohor itu. Jae mengajar di Briliiant English Course, sebuah lembaga kursus yang menerimaku sebagai volunteer sehingga episode hidupku berjalan terus. Dan di Brilliant inilah, kisah ini bermula…

Rona-rona Pare

Pare adalah sebuah kecamatan di kabupaten Kediri, Jawa Timur. Ada banyak destinasi wisata di Pare dan sekitarnya yang menghibur. Pare sebenarnya something banget untuk berlibur. Strategis. Nyaman. Dan bisa jadi destinasi wisata hingga edukasi. Apa-apa disini serba murah pake ‘sekali’. Murah sekali.

Bukan alam yang menjadikan Pare punya corak dan kesan bagiku. Rona-ronanya lebih dari sekedar itu. Mengayuh sepeda petang hari di Pare adalah rona indah. Muda-mudi berlalu lalang dengan bahasa Bule dalam aksen khas Indonesia.

Warna Pare bagaikan Little English di sebuah kampungkecil tempat banyak orang menggantungkan asa dan cita buat dilukis. Karena jaman ini, Bahasa Inggris adalah multak. Bukan sekedar untuk jadi orang berlagak tapi agar kita bisa lebih bersaing dan berdiri tegak.

Okay… okay… Ini cerita, bukan ceramah. Kita tinggalkan dulu Pare dan rona-ronanya yang masih belum terkuak semua. Next is this…

Kamu, Aku, dan Kelas Bambu

“Welcome” begitu tulisan pada signpost di depan office Brilliant menyambut setiap orang yang bertamu. Di langit-langit teras office, bergelantungan jejeran bendera berbagai negara. Kesan yang sangat bagus ketika saya pertama kali melihatnya.

Jae mengajakku masuk ke kelas yang katanya next level. Kupikir akan ada banyak manusia yang berjubel, ternyata hanya ada tiga siung makhluk Tuhan yang menunggu dengan sebel. Jae datang terlambat karena menungguku yang mandinya tidak bisa cepat-cepat. Tiga siung makhluk itu adalah Nia, Tiok, dan Kak Yose.

Dari kelas ini kemudian jalinan antara kami semakin terkait. Kak Yose adalah the real Kakak bagiku. Selain usianya memang sudah jauh lebih meluncur ke depan, dia seorang penyayang dan perhatian. Keseruan di antara kami tak bisa kuuraikan satu-satu karena keterbatasan ruang tulis, tapi kesan bersama mereka sangat indah dan tak akan gampang terkikis meski memori otakku sudah tipis.

Di kelas lainnya aku mengenal sosok-sosok hebat yang jauh lebih banyak dari tiga siung manusia tadi. Yusuf adalah sosok “manusia berisi” dengan suara indah yang selalu ingin kusimak hingga kini. Tipikal wajah cewek Jawa Timur yang cantik, Yusfia juga kukenal di kelas ini. Selain mereka, ada Yuni dan Lizbeth yang selalu bersama. Tito dan Mace yang kece. Ada sangat banyak nama yang sudah memberi warna bagiku saat itu. Humaid, Nadia, Andini, Andy, Kak Ismail, Dimas, Bli Wisnu, Irham, Taufik, Sardo, Vira, Ina, Febby, Ariyani, Livvia, Yohana, Eky, Franton, Meisa, Niko, Ak Agus, Benny, dan beberapa nama yang agak susah kuingat hingga tulisan ini publish. Maafin pliss…

Di deretan mentor, Mak Muji adalah nama yang wajib kutulis pertama kali. Mak Muji adalah sosok wanita setengah baya yang sangat bersahaja. Beliau bagaikan Ibu, guru_ibu guru_sahabat dan teladan. Miss Cumay yang manis adalah perempuan muda yang paling tegar dalam berjuang yang pernah kukenal, masuk ke deretan kedua. Di urutan ketiga ada Syahid yang sudah kukenal tahun lalu saat pertama kali aku kesitu. Inta, Anca, Arif, masuk di deretan berikutnya.

Selain merekam nama-nama baru itu, kisah bersama mereka juga selalu kuingat dengan lekat. Melantunkan berbagai senandung dengan petikan gitar yang Andri atau Irham mainkan, adalah kesan yang paling romantic yang pernah ada selama aku disana.

Sebenarnya, kehadiranku disana bukan untuk berlibur atau menghibur apalagi menjadi mentor yang harus banyak bertutur. Jujur saja, aku dalam futur. Sebagai pengidap kanker otak, banyak kenyataan yang ingin kutolak. Aku berontak. Tapi di Pare, khususnya di Brilliant, aku bisa memutar otak.

Banyak sekali kisah anak-anak disana yang menginspirasiku. Dari mereka ada yang sudah lulus kuliah sekian tahun lalu, sudah bekerja, hingga mereka yang sedang mengejar S2. Demi hidup yang ingin mereka jalani, mereka mau tinggal di sebuah kampung dengan fasilitas yang tak akan senyaman di rumah.

Di kelas bambu Brilliant terdengar suara-suara riang yang menyenangkan. Semangat mereka seolah tertularkan. Semangat hidup kembali kukibarkan. Karena kematian bukanlah sesuatu yang harus aku risaukan melainkan sudah kehendak Tuhan.

Dari mereka aku belajar banyak hal. Cita-cita yang masih ingin mereka raih adalah mimpi yang terus mewarnai hingga esok hari. Aku sadar bahwa selagi aku masih hidup, aku harus tetap hidup hingga usia menutup.

Ini adalah kisah aku, kamu, dan kelas bambu.

Brook, Piggy, dan Bola Basket

Dua hari sebelum aku meninggalkan Brilliant, mereka merayakan hari lahirku yang ke 26. Aduh, akhirnya usiaku ketahuan. Perayaan dengan siram-siraman ini bukan sakramen, tapi lumayan lah. Apaan sih?

Hari itu hari Sabtu, dimana aku duduk di office untuk menulis surat perpisahan. Pada Andini surat itu aku titipkan. Dan malamnya, di rumah Mak Kali yang sangat kucinta, hadir Bli Wisnu, Yusuf, Tito dan Tio. Mereka memberikan aku cindera mata.

Entah siapa yang tegah memberikan aku boneka piggy PINK. Tapi itu hadiah indah yang pernah kuterima. Benar-benar indah. Aku suka piggy sejak aku masih usia lima. But not pink please…

Boneka bola basket membuatku selalu lengket. ‘Cause for me, basketball is kind of my identity.

Yusuf memberikan aku action figure Brook. Dia memberikan filosofi dari pemberiannya itu, “Mac, itu action figure-nya Brook. Brook itu mayat hidup yang belum mau pergi sampai tujuan hidupnya tercapai. Dia kurus, lucu, dan baik. Dan dia penghibur semua orang yang berada di dekatnya.”

Iih… kok gua banget sih.

Di Brilliant, aku seperti membuka lembaran semangat hidup yang harus tetap kulanjutkan. Bagai buku, aku tak akan pernah tahu kisahnya bila laman demi lamannya tidak kubaca. Dari mereka aku belajar bahwa hidup memang tidak seindah mawar mekar di cakrawala. Tidak juga seperti lembayung jingga di langit Pare yang merona. Tapi hidup adalah perjuangan dimana kita boleh jatuh oleh sandungan jalanannya yang penuh onak berduri, namun bangkit lagi untuk melanjutkan kisah hidup di sebuah destinasi. Dan bagiku, destinasi itu adalah kebahagiaan. Dan sejumput dari kebahagiaan itu, sudah kutemukan di Brilliant.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun