Mohon kepada Admin untuk tidak ubah judul tulisan ini karena memang saya sengaja pakai huruf KAPITAL semua. Itu artinya memang judulnya dibacakan dengan TERIAK! Kejadian kerusuhan berbau SARA kembali terjadi di Tanjung Balai. Sudah banyak yang membahas kejadian ini dari berbagai sudut pandang, apa penyebabnya, siapa yang benar dan siapa yang salah dan lain sebagainya. Semua opini tentu sangat tergantung latar belakang dan dari kubu mana opini itu berasal, itu sah-sah saja.Ttetapi selalu ada yang menggelitik saya karena mencoba memelintir berita.
Baiklah saya ralat sedikit bukan sengaja memelintir berita melainkan tidak menegerti Bahasa Indonesia dasar sehingga “mengecilkan suara” diartikan menjadi “melarang” kalau tidak salah tulisan dengan judul bombastis seperti ini masih nangkring di no. 1 Kolom NT yang katanya “dimainkan” admin Kompasiana yang adalah salah satu penulis top Kompasiana yang lupa pakai celana….
Fenomena ini persis seperti ketika Ahok “melarang mewajibkan” yang dipelintir menjadi “melarang” seperti tulisan terakhir saya di kompasiana disini. Karena itu saya himbau sekali lagi Yuk belajar Bahasa Indonesia. Kecuali ente cari makannya jadi kontraktor alias broker kawin kontrak di puncak bro.
Sebenarnya masalah utamanya itu Toa Mesjid (kalau berkembang menjadi kerusuhan SARA sih hanya dimanfaatkan sebagian orang yang hobby jarah-menjarah). Saya kira kita tidak perlu memperdebatkan apakah sang pelaku utama yaitu Ibu Meliana memang adalah seorang psikopat jelmaan Setan Iblis Dajjal paling kejam atau sekedar warga negara Indonesia yang terganggu toa masjid. Pertanyaannya adalah emang ada gak sih peraturan yang mengatur toa masjid?
Ternyata menurut Mbah Gugel ada! Dan Sudah dari Tahun 1978 pulak! Zamannya Eyang saya lagi jaya-jayanya bro. Dasar hukum nya ada di lampiran Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 Tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla (Instruksi Dirjen Bimas 101/1978),
Berikut kutipan sesuai asli yang tertera di website bimas Islam.
(sumber)
Terkait fenomena ini, pada tahun 1978 Dirjen Bimas Islam, Kementerian Agama, telah mengeluarkan Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla. Dalam surat yang ditandatangani Kafrawi, Dirjen Bimas Islam saat itu, terdapat sejumlah aturan mengenai pengunaan pengeras suara di masjid, langgar, atau mushalla. Ini aturan-aturannya:
1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala
2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.
3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya