BERBAKTI kepada kedua orang tua, adalah kewajiban yang sudah diketahui oleh kaum muslimin. Tidak ada yang mengingkari akan wajibnya berbuat baik kepada keduanya dan tidak ada yang meragukan besarnya dosa durhaka kepada keduanya. Namun, bagaimana jika kedua orang tua pernah berbuat zalim kepada anak-anaknya? Masihkah sang anak berkewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua yang zalim tersebut?
Ada sebuah riwayat dalam Al-adabul Mufradnya al-Imam Bukhari yang bisa dijadikan jawaban atas pertanyaan besar tersebut di atas.
Hajjaj menceritakan kepada kami, ia berkata: Hammad bin Salamah menceritakan kepada kami, dari Sulaiman at-Taimi, dari Sa’id al-Qaisi dari Ibnu Abbas Rodhiyallâhu ‘Anhu, ia berkata,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ لَهُ وَالِدَانِ مُسْلِمَانِ يُصْبِحُ إِلَيْهِمَا مُحْتَسِباً ، إِلَّا فَتَحَ لَهُ اللهُ بَابَيْنِ – يَعْنِي : مِنَ اْلَجَّنةِ – وَإِنْ كَانَ وَاحِدًا فَوَاحِدٌ ، وَإِنْ أَغْضَبَ أَحَدُهُمَا لَمْ يَرْضَ اللهُ عَنْهُ حَتَّى يَرْضَى عَنْهُ ، قِيْلَ : وَإِنْ ظَلَمَاهُ ؟ قَالَ : وَإِنْ ظَلَمَاهُ
“Tidak seorang pun dari kaum Muslimin yang mempunyai kedua orang tua beragama Islam yang berbakti kepada mereka berdua dengan mengharap pahala (dari Allah) melainkan Allah akan membukakan dua pintu –maksudnya pintu Surga- untuknya. Jika tinggal salah satu dari keduanya yang masih hidup, maka yang akan dibukakan adalah satu pintu. Jika dia menjadikan salah satu di antaranya marah, Allah tidak akan ridha (kepadanya) hingga orang tuanya ridha kepadanya.“ Lalu ada yang bertanya, “Meskipun kedua (orang tua)nya itu menzaliminya?” Ibnu Abbas menjawab, “Meskipun keduanya menzaliminya,” (Hasan dengan dua jalan. Said adalah rawi yang majhul) [1]
Menurut Syaikh Dr. Muhammad Luqman as-Salafi, Rektor Universitas Islam Ibnu Taimiyah, Darussalam – India, dalam Syarah Adabul Mufrad [2] menjelaskan beberapa hal terkait dengan hadits tersebut. Diantaranya:
- Maksud dari Wain Dzolamâhu adalah keduanya (orang tua) menzaliminya dalam berbagai perkara dunia.
- Berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua adalah wajib, walaupun keduanya telah menzalimi anak dalam perkara dunia.
- Derajat hadits di atas dhâ’if, akan tetapi makna yang dikandungnya dapat dibenarkan.
Jadi, kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua tetap harus ditunaikan meski kedua orang tua berbuat zalim.
Hal yang serupa juga disampaikan oleh Syaikh ‘Atha bin Khalil, Amir Hizbut Tahrir Ketika ditanya oleh seseorang yang bernama Lamis Sh dengan pertanyaan sebagai berikut:
Assalâmu’alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuhu. Apa hukumnya marah kepada orang tua dan bersuara keras kepada orangtua dan bersuara keras kepada meraka? Terlintas dalam benak, bagaimana jika orangtua telah menyebabkan berbagai kesulitan bagi anaknya? Bukannya mendapatkan pemeliharaan dari kedua orangtuanya pada saat masih kecil, si anak justru harus mandiri dan menyelesaikan persoalannya sendiri. Apakah marah kepada kedua orangtuanya, dan bersuara keras terhadap mereka termasuk tindakan ‘uquq al-walidain (tidak berbakti kepada kedua orangtua) dan menyebabkan seseorang tidak mendapatkan taufik dalam kehidupannya?
Setelah Syaikh ‘atha bin Khalil menyampaikan bahwa seorang anak tidak boleh marah dan bersuara keras kepada kedua orangtuanya berdasarkan firman Allah swt di dalam QS al-Isra [17]:23 yang melarang seorang anak yang mengatakan “ah!” dan juga menyampaikan penjelasan hadits nabi dalam Sahih Muslim dari Abu Hurairah, “Sungguh celaka, sungguh celaka, sungguh celaka, seorang yang masih bertemu kedua orangtuanya yang sudah tua, apakah salah satu atau keduanya, tetapi ia tidak masuk surga” beliau menyatakan:
“Dalam suatu kejadian, jika seseorang tanpa sadar lalai dan “marah” kepada kedua orangtuanya, sebagaimana kasus yang ditanyakan, maka ia harus segera memohon ampun kepada Allah Swt, serta meminta maaf dan keridhaan orangtuanya. Hati orangtua pada umumnya adalah hati yang lemah lembut dan pemurah; maka mereka pun akan mudah memaafkan kelalaian anak-anaknya, jika anak-anaknya tersebut meminta maaf kepada mereka”[3]